DEMOKRASI : PARTAI MILIK INVESTOR, RAKYAT JADI PENONTON


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Demokrasi yang sejak awal dibangun diatas asas pragmatisme transaksional menjadikan partai politik sebagai mesin uang bagi investor atau pendiri partai. Ada pengamat yang mengatakan banyak parpol tak sanggup terjun di medan pemilu, mati sebelum berlayar, karena basis konstituennya lemah. Sebab banyak corak partai di sini terkonsentrasi pada figure pendiri partai sekaligus pemiliknya, sehingga punya legitimasi sebagai pemilik turunan.

 

Afiliasi partai tak bisa ditebak, pada satu episode mereka bisa demikian berseberangan, tetapi pada momen sebentar saja seteru menjadi sekutu. Wajar jika muncul para politikus sibuk mencari rasa aman dan keuntungan diri, pemikir mendedikasikan diri pada idealisme. Rakyat hanya sebagai penonton, korban Kebijakan dan bahkan tumbal politik, sementara keputusan sepenuhnya berada di tangan elite partai?

 

Dalam sistem demokrasi, partai politik idealnya dimiliki oleh rakyat dan berfungsi sebagai perwakilan dari aspirasi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, pengaruh investor atau pemodal sering kali menjadi faktor yang signifikan dalam pembiayaan partai politik dan kampanye mereka.

 

Ketergantungan pada dana besar akan menjadikan partai-partai politik bergantung pada sumbangan dari investor atau pemodal besar mungkin lebih cenderung memperjuangkan kepentingan kelompok kaya daripada rakyat secara umum. Investor sering kali mendukung partai yang berpotensi menjaga atau memperluas kepentingan bisnis mereka. Terlebih jika investor utama adalah pendiri partai yang jadi ketua umum, ini akan lebih ruwet lagi.

 

Partai itu butuh dana besar, besar sekali untuk menjalankan roda organisasi. Partai yang didukung oleh pemodal kuat mungkin memiliki lebih banyak sumber daya untuk menjalankan kampanye yang besar dan agresif. Ini dapat menciptakan ketimpangan di mana partai dengan dukungan keuangan lebih kecil sulit bersaing secara adil. Partai kecil biasanya hanya menumpang partai besar, sekedar untuk mencari sesuap nasi.

 

Setelah terpilih, politisi mungkin merasa berkewajiban untuk memenuhi keinginan para penyumbang besar. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan bisa lebih menguntungkan para pemodal daripada masyarakat luas.

 

Partai politik sering kali menjadi sumber praktek korupsi di berbagai negara, terutama dalam sistem demokrasi di mana partai memiliki peran penting dalam pemerintahan. Partai politik membutuhkan dana besar untuk kampanye, operasional, dan mempertahankan dukungan politik.

 

Sumber dana yang tidak jelas atau bergantung pada pihak-pihak berkepentingan membuka ruang untuk praktik korupsi. Ketika donatur besar atau perusahaan memberikan sumbangan, partai bisa tergoda untuk membalasnya dengan memberikan akses atau keuntungan politik setelah berkuasa, seperti kontrak bisnis atau kebijakan yang menguntungkan.

 

Partai yang memiliki kendali atas pemerintahan sering kali menyalahgunakan anggaran negara untuk membiayai kegiatan partai atau kampanye mereka. Ini termasuk praktik seperti menggunakan dana publik untuk membiayai iklan politik, menyalahgunakan proyek-proyek pemerintah untuk keuntungan politik, atau memberikan posisi di pemerintahan sebagai imbalan atas dukungan politik.

 

Partai-partai sering terlibat dalam praktik politik patronase, di mana posisi atau proyek pemerintah diberikan kepada individu atau kelompok yang setia kepada partai. Nepotisme juga umum terjadi, dengan anggota partai atau keluarga mereka mendapatkan akses eksklusif ke posisi berpengaruh atau keuntungan bisnis. Ini menciptakan budaya korupsi yang sistemik, di mana kepentingan pribadi dan partai lebih diutamakan daripada kepentingan publik.

 

Ketika partai politik memiliki kendali atas kebijakan, ada potensi besar untuk perdagangan pengaruh, di mana kekuatan politik digunakan untuk memengaruhi keputusan pemerintah demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Ini bisa terjadi di berbagai tingkatan, mulai dari pemberian izin bisnis hingga kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

 

Hal lain yang membuat parpol hari ini berat memperjuangkan Islam dan umat adalah karena sistem demokrasi berbiaya besar. KPK pernah menyebutkan untuk Pilkada tingkat gubernur bisa menelan ongkos Rp 60-100 miliar. Akibatnya, banyak parpol menerima sumbangan resmi maupun tidak resmi dari kaum kapitalis agar tetap bisa maju ke Pilkada. Prof. Mahfud MD pernah mengatakan 84 persen calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada dibiayai para cukong.

 

Akibatnya, setelah terpilih, mereka terikat kontrak politik dengan para bohir politik tersebut. Kekuasaan pun tidak lagi jadi milik rakyat, tetapi milik oligarki. Parpol, eksekutif dan legislatif hanya menjadi perpanjangan tangan para kapitalis. Wajar jika kemudian muncul berbagai aturan yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi malah berpihak kepada para oligarki asing maupun aseng.

 

Partai politik yang berkuasa cenderung melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, termasuk cara-cara yang tidak sah. Ini bisa berupa penyalahgunaan lembaga negara, manipulasi pemilu, atau pemberian "imbalan" kepada pemilih dan anggota partai untuk memastikan kemenangan dalam pemilu.

 

Korupsi dalam partai sering kali tumbuh subur di negara-negara yang memiliki sistem hukum dan pengawasan yang lemah, seperti di Indonesia. Kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme penegakan hukum yang efektif membuat partai dan politisi merasa aman untuk melakukan tindakan korupsi tanpa takut dihukum.

 

Seharusnya pemerintah mewajibkan partai politik untuk melaporkan sumber pendanaan mereka secara transparan dan mendorong pengawasan publik. Memperkuat sistem hukum dan mekanisme anti-korupsi yang independen untuk memastikan bahwa setiap tindakan korupsi diusut dan dihukum. Mengatur batas maksimum dana kampanye yang dapat diterima dan digunakan oleh partai politik, untuk mencegah ketergantungan pada donatur besar. Meningkatkan peran lembaga-lembaga pengawas independen yang dapat mengaudit dan memonitor aktivitas partai politik dan pejabat publik.

 

Dalam sistem Islam, konsep partai politik seperti yang kita kenal dalam demokrasi modern tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an atau Hadis. Al Qur'an hanya menyinggung masalah hizbullah dan hizbusyaithon dalam surat Al Maidah. Namun, prinsip-prinsip pemerintahan dan pengaturan kehidupan masyarakat dalam Islam berfokus pada keadilan, syura (musyawarah), akhlak, dan tanggung jawab kepada Allah SWT melalui amar ma'ruf nahi munkar yakni menasehati, mengawasi dan mengoreksi penguasa agar tetap jalan di atas syariat Allah. . Oleh karena itu, pemikiran tentang partai politik dalam konteks Islam dapat dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip ini.

 

Dalam sistem Islam, pengambilan keputusan berdasarkan syura atau musyawarah adalah salah satu prinsip utama, khususnya dalam hal-hal yang sifatnya mubah. Syura merupakan proses konsultasi di antara para pemimpin dan masyarakat untuk mencapai keputusan yang adil dan baik. Namun, musyawarah dalam Islam tidak harus melibatkan partai politik yang terorganisir seperti di negara-negara demokrasi modern. Musyawarah bisa dilakukan oleh komunitas yang lebih kecil atau oleh para pemimpin yang dipilih berdasarkan kompetensi dan kesalehan (majlis syuro).

 

Dalam sistem Islam, kekuasaan politik tidak boleh dimonopoli oleh kelompok tertentu. Kepemimpinan harus didasarkan pada keadilan dan kemampuan untuk melayani umat, bukan atas dasar kekayaan, keturunan, atau kekuatan politik. Islam mengajarkan bahwa pemimpin harus bertanggung jawab kepada Allah dan kepada rakyatnya.

 

Dalam sistem Islam klasik, seperti yang terlihat dalam sejarah Khilafah, pemimpin negara dipilih melalui proses konsultasi dan bai'at (sumpah kesetiaan) dari umat. Meskipun tidak ada partai politik dalam bentuk modern, pemilihan pemimpin tetap melibatkan representasi dan musyawarah dari masyarakat. Pemimpin (khalifah) bertanggung jawab untuk menegakkan syariat Islam dan melindungi kesejahteraan umat.

 

Dalam konteks modern, beberapa gerakan Islam mengadvokasi pembentukan kembali Khilafah sebagai sistem politik, yang berbeda dengan konsep partai politik dalam demokrasi modern. Gerakan ini percaya bahwa sistem Khilafah lebih sesuai dengan ajaran Islam dibandingkan dengan sistem multi-partai yang ada saat ini.

 

Partai politik ini kemudian bergerak menyadarkan umat Islam akan pentingnya memperjuangkan tegaknya khilafah. Fungsi amar ma'ruf nahi munkar sangat dominan pada partai politik Islam. Berbeda dengan partai politik dalam demokrasi yang berasaskan sekulerisme.

 

Pembentukan partai politik Islam didasarkan oleh firman Allah : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imran : 104)

 

Maksud kata ummah dalam ayat di atas adalah kelompok/jamaah/partai di tengah-tengah kaum Muslim. As-Sa'di dalam tafsirnya menjelaskan, "Hendaklah di antara kalian, wahai kaum Mukmin yang telah Allah kokohkan dengan iman dan terikat dengan tali (agama)-Nya, ada satu ummah, yakni jamaah yang menyerukan al-khayr (Islam)..." (As-Sa'adi, Taysiir al-Kariim ar-Rahmaan fii Tafsiir Kalaam al-Manaan, 1/42)."

 

Islam membolehkan jumlah kelompok/jamaah/partai ini boleh lebih dari satu. Hanya saja, kelompok/jamaah/partai ini haruslah berlandaskan aqidah Islam. Pasalnya, mereka memiliki dua fungsi politik yakni: mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.

 

Sebagaimana diketahui, politik (siyaasiyah) dalam Islam bermakna ri'aayah syu'uun al-ummah bi ahkaam al-Islam, yakni pengaturan urusan umat dengan hukum-hukum Islam. Dengan demikian partai politik dalam Islam adalah partai yang bergerak untuk memastikan urusan umat selalu diatur sesuai dengan ketentuan syariah Islam.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 15/09/24 : 09.24 WIb)

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories