DARI INTELLECTUAL SAMPAI POLITICAL DISHONESTY

 


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Penelitian yang dilakukan oleh Vit Machachek dan Martin Srholec  dari Republik Ceko, terhadap jurnal-jurnal para akademikus yang terbit sepanjang 2015-2017. Tiga besar negara yang paling tidak jujur dalam hal akademik adalah, pertama, Kazakstan dengan jumlah 17%, kemudian Indonesia 16,73%, disusul Irak 12,94%.

 

Menurut Colby (2006) dalam Sagono (2013) kategori kecurangan akademik dibagi menjadi lima klasifikasi, yaitu pragiat, pemalsuan data, penggandaan tugas, menyontek saat ujian dan kerjasama yang salah. Di Indonesia sering terjadi plagiarisme yang dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen dan sempat menghebohkan jagad akademik.

 

Ketidakjujuran intelektual merujuk pada tindakan dengan sengaja menghindari kebenaran atau logika yang benar demi mempromosikan kepentingan pribadi, keyakinan tertentu, atau agenda tertentu. Berbeda dengan ketidaktahuan atau kesalahan yang tidak disengaja, ketidakjujuran intelektual melibatkan manipulasi informasi, argumen, atau pemikiran secara sadar untuk menipu orang lain atau memutarbalikkan fakta. Perilaku ini merusak debat yang jujur, penelitian, dan diskusi karena lebih mengutamakan memenangkan argumen atau mempertahankan posisi daripada mencari kebenaran.

 

Ketika seseorang atau kelompok memiliki kepentingan pribadi yang besar, seperti kekuasaan, keuntungan finansial, atau reputasi, mereka cenderung mengabaikan fakta atau logika yang bertentangan dengan kepentingan tersebut. Misalnya, seorang ilmuwan yang disponsori oleh perusahaan tertentu mungkin menyembunyikan hasil penelitian yang merugikan perusahaan tersebut.

 

Bias kognitif, seperti bias konfirmasi, membuat seseorang lebih cenderung mencari dan mempercayai informasi yang mendukung keyakinan yang sudah ada, sambil menolak atau mengabaikan informasi yang berlawanan. Ini bisa terjadi tanpa disadari, tetapi dalam ketidakjujuran intelektual, bias ini seringkali disengaja.

 

Tekanan dari lingkungan sosial, politik, atau budaya dapat memaksa seseorang untuk menyesuaikan argumen atau pendapat mereka, meskipun hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Mereka mungkin merasa perlu menyesuaikan diri dengan norma atau harapan kelompok untuk mempertahankan status atau hubungan.

 

Seseorang yang kurang memiliki prinsip moral atau etika akan lebih cenderung memanipulasi fakta atau mengabaikan kebenaran demi mencapai tujuan pribadi. Ketidakjujuran ini bisa muncul karena rasa tidak peduli terhadap nilai kejujuran dan integritas dalam proses intelektual.

 

Dalam diskusi atau debat, ada orang yang lebih peduli untuk "menang" daripada mencari kebenaran. Keinginan untuk terlihat superior atau benar di depan orang lain sering kali memotivasi penggunaan taktik manipulatif atau pengabaian fakta yang sebenarnya.

 

Seseorang mungkin tidak jujur secara intelektual karena takut terlihat salah atau tidak kompeten. Hal ini bisa terjadi dalam konteks akademik, profesional, atau politik, di mana kesalahan atau kekurangan dapat merusak reputasi atau status seseorang.

 

Kadang-kadang, ketidakjujuran intelektual bisa terjadi karena kurangnya pemahaman yang mendalam tentang suatu topik. Meskipun seseorang mungkin tampak berbohong atau manipulatif, mereka sebenarnya mungkin tidak menyadari sepenuhnya kebenaran atau kompleksitas dari masalah yang sedang dibahas.

 

Ketika seseorang sangat terikat pada keyakinan ideologis, agama, atau politik tertentu, mereka mungkin menolak bukti yang bertentangan dengan keyakinan tersebut. Fanatisme dapat mendorong seseorang untuk mengabaikan atau mengubah fakta demi melindungi ideologi mereka.

 

Ketidakjujuran akademik terjadi ketika seseorang melanggar integritas dan etika dalam dunia pendidikan atau penelitian. Banyak siswa, mahasiswa, atau akademisi menghadapi tekanan yang besar untuk mendapatkan nilai tinggi, lulus dengan cepat, atau mendapatkan pengakuan akademik. Tekanan ini dapat berasal dari harapan keluarga, institusi, atau masyarakat. Akibatnya, mereka mungkin merasa terpaksa mencontek, melakukan plagiat, atau memanipulasi hasil penelitian demi mencapai tujuan akademik.

 

Siswa dan akademisi sering menghadapi tenggat waktu yang ketat untuk menyelesaikan tugas, penelitian, atau publikasi. Ketika mereka tidak mampu mengatur waktu dengan baik, atau terlalu banyak beban kerja, mereka mungkin tergoda untuk melakukan tindakan curang seperti menyalin karya orang lain atau memalsukan data.

 

Tidak semua individu memahami sepenuhnya apa yang dianggap sebagai ketidakjujuran akademik. Misalnya, beberapa orang mungkin tidak menyadari bahwa mengutip sumber tanpa memberikan kredit yang tepat atau menyalin sebagian besar teks dari sumber lain tanpa modifikasi adalah tindakan plagiat.

 

Jika institusi pendidikan tidak memiliki pengawasan yang ketat terhadap ujian, tugas, atau penelitian, atau jika sanksi terhadap pelanggaran etika akademik terlalu ringan, siswa dan akademisi mungkin merasa bisa lolos dari ketidakjujuran tanpa konsekuensi. Ini dapat meningkatkan insentif untuk melakukan kecurangan.

 

Banyak mahasiswa dan peneliti bersaing untuk mendapatkan beasiswa, penghargaan, atau pendanaan untuk proyek penelitian. Persaingan ini dapat mendorong individu untuk melakukan plagiarisme atau manipulasi hasil demi memperoleh keuntungan material atau pengakuan.

 

Siswa atau akademisi yang merasa kurang mampu dalam bidang akademik tertentu mungkin merasa tidak percaya diri untuk menghasilkan karya yang baik secara mandiri. Akibatnya, mereka memilih jalan pintas dengan menyontek, menggunakan karya orang lain, atau bahkan membeli tugas dari pihak ketiga.

 

Dalam beberapa kasus, ketidakjujuran akademik bisa terjadi karena pengaruh dari teman atau kelompok. Jika teman sekelas atau kolega sering melakukan kecurangan tanpa terdeteksi, seseorang mungkin merasa terdorong untuk mengikuti perilaku tersebut agar tidak tertinggal.

 

Bagi akademisi, persyaratan untuk mendapatkan publikasi ilmiah atau gelar sering kali sangat ketat. Ambisi untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi, promosi, atau pendanaan penelitian dapat membuat akademisi tergoda untuk memalsukan data, mengklaim hasil penelitian yang belum terbukti, atau menyembunyikan kekurangan dalam riset mereka.

 

Dalam beberapa kasus, mahasiswa merasa kurang mendapat bimbingan atau arahan yang memadai dari dosen atau pembimbing mereka. Ketika mengalami kebingungan atau kesulitan dalam menyelesaikan tugas atau penelitian, mereka mungkin merasa tidak punya pilihan lain selain curang.

 

Apakah ada korelasi antara tingginya tingkat ketidakjujuran intelektual dan akademik dengan ketidakjujuran politik yang dilakukan oleh para pejabat ?. Ketidakjujuran politik merujuk pada tindakan atau perilaku para aktor politik yang dengan sengaja memanipulasi informasi, menyembunyikan kebenaran, atau menyampaikan informasi yang salah guna mencapai tujuan politik, mempertahankan kekuasaan, atau mempengaruhi opini publik.

 

Disinformasi adalah penyebaran informasi palsu atau menyesatkan dengan sengaja untuk memanipulasi opini publik. Politisi atau partai politik sering menggunakan taktik ini untuk menciptakan narasi yang menguntungkan mereka, meskipun bertentangan dengan fakta yang ada.

 

Banyak politisi membuat janji-janji selama kampanye untuk menarik pemilih, namun setelah terpilih, mereka gagal atau tidak berniat untuk memenuhi janji-janji tersebut. Hal ini adalah bentuk ketidakjujuran politik yang sering kali mengecewakan publik dan mengurangi kepercayaan terhadap sistem politik.

 

Penggunaan data atau statistik yang tidak akurat atau sengaja dipilih untuk mempromosikan agenda politik tertentu sering terjadi dalam kampanye politik. Dengan memanipulasi informasi ini, politisi mencoba membentuk pandangan publik yang mendukung kepentingan mereka.

 

Politisi sering kali menghindari tanggung jawab atas kebijakan yang gagal atau keputusan yang merugikan dengan mencari kambing hitam atau menyalahkan pihak lain, baik lawan politik maupun keadaan eksternal.

 

Propaganda adalah penyebaran informasi atau narasi yang sangat bias dan dirancang untuk mengarahkan opini publik ke arah tertentu. Ini sering melibatkan penyederhanaan masalah yang kompleks, menyesatkan atau manipulasi emosional untuk membangkitkan dukungan tanpa menyediakan informasi yang berimbang.

 

Ketidakjujuran politik juga mencakup tindakan korupsi, di mana politisi menggunakan jabatan mereka untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Konflik kepentingan yang tidak diungkapkan juga merupakan bentuk ketidakjujuran, di mana keputusan yang dibuat tidak transparan dan merugikan kepentingan publik.

 

Menggunakan isu-isu identitas seperti suku, agama, atau ras untuk memecah belah masyarakat dan mendapatkan dukungan politik. Politisi sering kali menyalahgunakan sentimen identitas untuk memanipulasi emosi massa, meskipun hal itu dapat memicu ketegangan sosial.

 

Banyak politisi terlibat dalam ketidakjujuran karena ambisi untuk mempertahankan atau mendapatkan kekuasaan. Dalam upaya menjaga posisi mereka, mereka mungkin merasa perlu memanipulasi informasi atau membuat janji palsu demi memenangkan pemilu atau mempertahankan dukungan.

 

Politisi sering menghadapi tekanan dari partai politik mereka atau kelompok kepentingan yang memiliki agenda tertentu. Ketika ada konflik antara kebenaran dan tuntutan kelompok-kelompok ini, politisi mungkin memilih untuk mengabaikan kebenaran demi mendapatkan dukungan atau dana.

 

Di banyak negara, sistem politik yang lemah dalam hal akuntabilitas memungkinkan politisi bertindak tanpa takut akan konsekuensi. Kurangnya mekanisme pengawasan yang kuat dapat mendorong ketidakjujuran karena politisi tidak merasa ada hukuman yang cukup berat untuk pelanggaran mereka.

 

Ketika polarisasi politik tinggi, politisi cenderung memanfaatkan ketidakjujuran untuk memperkuat basis dukungan mereka dengan menyebarkan informasi yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Hal ini membuat mereka lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan daripada memberikan informasi yang objektif kepada masyarakat.

 

Di beberapa negara, kontrol terhadap media oleh pihak-pihak yang berkuasa memungkinkan manipulasi informasi secara besar-besaran. Media yang dikuasai oleh politisi atau oligarki dapat menyebarkan narasi yang menyesatkan atau bahkan menyembunyikan fakta penting dari masyarakat.

 

Ketika masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang proses politik dan etika, mereka lebih mudah dimanipulasi oleh politisi yang tidak jujur. Kurangnya pengetahuan ini membuat publik kurang mampu mengidentifikasi atau melawan ketidakjujuran politik.

 

Persaingan yang ketat dalam politik dapat mendorong politisi untuk menggunakan segala cara, termasuk ketidakjujuran, demi memenangkan pemilu. Ketika kemenangan menjadi tujuan utama, etika politik sering kali diabaikan, maka muncullah ketidakjujuran politik ini.

 

Rasulullah mengingatkan akan pentingnya kejujuran dengan bersabda, "Hendaklah kamu semua berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke sorga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong" (HR. Muslim).

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 14/09/24 : 21.13 WIB) 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories