Oleh : Ahmad Sastra
Siapapun yang menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai pijakan dalam berpikir dan bertindak, mengabaikan pijakan wahyu, maka akan terjerumus pada kebingungan dan kesengsaraan, dan berputar-putar pada permasalahan yang tidak bertemu ujungnya, bahkan terjerembab pada permasalahan yang lebih besar lagi. Dalam istilah filsafat disebut logical fallacy. Itulah kalimat yang tepat untuk memberikan tanggapan terhadap kebijakan pemerintah yang baru-baru ini diteken.
Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dengan PP Nomor 28 Tahun 2024. PP tersebut, salah satunya mengatur tentang upaya mewujudkan kesehatan reproduksi dengan menyediakan alat kontrasepsi bagi remaja dan pelajar agar mereka tidak beresiko seks yang tak aman. Penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja dan pejar adalah untuk menjamin save sex. Bukannya mencari akar penyebabnya, keputusan ini justru akan menyuburkan perzinahan, inilah letak logical fallacynya.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Alifudin, dalam keterangan pers menyatakan keprihatinannya terkait kebijakan tersebut. Ia menilai penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar bukanlah solusi yang tepat untuk masalah kehamilan remaja dan penyakit menular seksual. (Kompas.com, 8/8)
Ormas Hidayatullah, menyatakan penolakannya terhadap beberapa pasal yang dinilai bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia yang religius dan berakhlakul karimah. (Hidayatullah.or.id, 5/8).
Lebih tegas lagi, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Aceh mendorong semua ormas Islam untuk menolak ketentuan penyediaan alat kontrasepsi sebagaimana ketentuan Pasal 103 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Lebih lanjut Sekretaris ICMI Aceh menegaskan bahwa ketentuan penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah tidak sesuai dengan moral bangsa ini yang menganut Pancasila. Begitu juga dengan pelayanan kesehatan reproduksi bagi anak sekolah, dinilai sebagai ketentuan "aneh" yang seakan melegalkan zina. (Antaranews.com, 9/8)
Sebagimana diketahui bersama bahwa permasalahan anak-anak dan remaja di Indonesia kian hari kian mengkhawatirkan. Dari mulai permasalahan kompetensi pelajar yang rendah, terjerumus pinjaman online dan judi online, prostitusi online, sampai pergaulan bebas dan turunannya berupa hamil di luar nikah dan aborsi serta penyakit HIV/AIDS.
Dalam hal pergaulan, sudah menjadi budaya di kalangan remaja saat ini berkaitan dengan pergaulan bebas (free sex). Pacaran, berpakaian seksi, hubungan seksual sebelum nikah, dan akhirnya berujung pada aborsi sudah menjadi fakta keseharian mereka.
Berdasarkan Peradilan Agama Mahkamah Agung (2023), data perkara isbat nikah tahun 2020-2022 mengalami peningkatan. Sementara pengajuan dispensasi kawin juga meningkat tajam dari tahun 2020 ke 2021, yaitu dari 28,57% menjadi 37,50% dan menurun sedikit menjadi 36,36% pada tahun 2022. Pengajuan dispensasi tersebut disebabkan salah satunya oleh alasan kehamilan (PUSKAPA, 2023). Di Jawa Timur, BKKBN Jatim menyebut sepanjang tahun 2022, sebanyak 15.212 ada pengajuan dispensasi nikah. 80 Persen di antaranya hamil duluan dan 20 Persen sisanya banyak sebab. (detik.com)
Hamil di luar nikah akibat seks bebas juga berujung pada aborsi. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2023) memperkirakan bahwa kasus aborsi setiap tahunnya mencapai 2,4 juta jiwa, dimana sekitar 700.000 kasus terjadi pada remaja. Sedangkan penularan penyakit HIV akibat seks bebas juga tidak kalah memprihatinkan. Menurut Kementerian Kesehatan tahun 2022, sekitar 1.929 remaja berusia 15-24 tahun diperkirakan terinfeksi HIV, meningkat 3,8% dari tahun sebelumnya.
Logical fallacy dalam bahasa Indonesia disebut juga sebagai "kesesatan logika" atau "kesalahan logika." Ini merujuk pada kesalahan dalam penalaran yang dapat melemahkan argumen. Kesesatan logika seringkali tampak meyakinkan pada pandangan pertama, tetapi jika diteliti lebih lanjut, terdapat kelemahan yang signifikan dalam argumen tersebut.
Argumen penyebaran alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja karena banyaknya kasus kehamilan di luar nikah adalah sebuah kesesatan logika yang sangat membahayakan. Semestinya yang dilakukan adalah bagaimana agar seks bebas itu bisa dihentikan dengan pendekatan multi disiplin seperti psikologi, sosial, ekonomi, politik dan hukum, bukan malah membagikan alat kontrasepsi. Logical fallacy seputar PP 28/24 ini bisa berkaibat fatal, yakni kerusakan masa depan generasi bangsa.
Ada istilah straw man dalam logical fallacy. Argumen yang menyatakan bahwa penyebaran kondom akan efektif untuk mencegah kehamilan adalah sebuah kesalahan, sebab kondom tidak 100% efektif mencegah kehamilan. Dalam kasus seks bebas, maka semestinya yang dipikirkan adalah bahwa seks bebas itu merupakan perbuatan terlarang, apakah pakai alat kontrasepsi maupun tidak pakai. Ini baru logika yang benar.
Argumen tentang seks bebas yang dikembangkan barat yang didasarkan oleh Comprehensive Sexuality Education dimana aktivitas seksual dilandaskan oleh hak asasi manusia dengan dasar suka sama suka, tanpa harus terikat dengan ikatan pernikahan jelas sebuah logical fallacy. Seks bebas ala barat ini sering kali melibatkan beberapa kesesatan logika.
Argumen yang mendukung seks bebas dengan menyatakan bahwa jika seks bebas dibolehkan atau diterima, maka tidak akan menyebabkan degradasi moralitas, peningkatan kriminalitas, atau kehancuran masyarakat secara umum, bisa termasuk dalam kesesatan slippery slope. Sebab pada faktanya banyak terjadi berbagai kerusakan dan serangkaian kejadian buruk yang tidak terhindarkan yang disebabkan oleh kehidupan bebas ala binatang.
Ketika seseorang menyederhanakan atau mendistorsi posisi yang mendukung seks bebas dengan mengatakan, misalnya, bahwa pendukung seks bebas "hanya mementingkan kesenangan dan tidak peduli pada konsekuensi moral atau kesehatan," ini adalah kesesatan straw man. Argumen ini tidak secara adil merepresentasikan pandangan orang yang mendukung seks bebas, yang mungkin sebenarnya memiliki pandangan yang lebih kompleks tentang kebebasan individu, kesehatan reproduksi, dan tanggung jawab.
Pendukung seks bebas sering kali menggunakan beberapa jenis logika yang keliru atau logical fallacies untuk mendukung pandangan mereka. Beberapa contoh logical fallacies yang mungkin mereka gunakan, pertama, Ad Hominem. Mengalihkan kritik dari argumen ke pribadi yang menentang seks bebas. Misalnya, "Orang yang menentang seks bebas hanya berpikiran sempit dan tidak terbuka. Kedua, strawman. Menyalahartikan atau mendistorsi argumen lawan untuk membuatnya lebih mudah diserang. Misalnya, "Mereka yang menentang seks bebas berpikir bahwa semua orang harus hidup selibat."
Ketiga, False Dilemma (Bifurkasi). Mengasumsikan bahwa hanya ada dua pilihan ekstrem dan mengabaikan alternatif lain. Misalnya, "Entah kamu mendukung kebebasan seksual sepenuhnya, atau kamu mendukung represi seksual total. Keempat, Appeal to Popularity (Argumentum ad Populum). Menganggap sesuatu benar hanya karena banyak orang melakukannya. Misalnya, "Seks bebas adalah hal yang normal karena banyak orang melakukannya."
Kelima, Appeal to Nature. Berargumen bahwa sesuatu yang alami pasti baik atau benar. Misalnya, "Seks bebas adalah wajar dan alami, jadi tidak ada yang salah dengan itu." Keenam, Slippery Slope. Mengklaim bahwa satu langkah kecil akan menyebabkan serangkaian peristiwa buruk tanpa bukti yang jelas. Misalnya, "Jika kita tidak mendukung seks bebas, kita akan kembali ke zaman puritan di mana orang tidak punya kebebasan pribadi sama sekali.
Sebagai seorang muslim, jika Allah telah melarang suatu perbuatan, maka wajib meninggalkan, khususnya masalah zina atau seks bebas ini. Banyak ayat yang menegaskan keharaman zina, meski dibarat justru didukung dengan berbagai logika rasional.
Pertama, Surah Al-Isra' (17:32): "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." Kedua, Surah An-Nur (24:2): "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman."
Ketiga, Surah Al-Furqan (25:68-69): "Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yaitu) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina."
Zina, atau perbuatan hubungan seksual di luar pernikahan, memiliki dampak yang merusak pada masyarakat. Zina merusak ikatan pernikahan dan kepercayaan antara suami dan istri. Ketidaksetiaan dalam pernikahan sering kali berujung pada perceraian, yang pada gilirannya menghancurkan keluarga dan menimbulkan trauma bagi anak-anak.
Hubungan seksual di luar pernikahan meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS, sifilis, dan gonore. Penyakit ini tidak hanya membahayakan individu yang terlibat tetapi juga dapat menular kepada pasangan yang tidak bersalah dan bahkan kepada anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut.
Zina sering kali mengakibatkan kelahiran anak di luar nikah, yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan anak tersebut. Anak-anak ini mungkin menghadapi stigma sosial, ketidakjelasan status hukum, dan ketidakpastian dalam hak waris.
Zina melemahkan nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat. Ketika zina menjadi lazim dan diterima, norma-norma moral menjadi terdegradasi, yang mengakibatkan penurunan standar perilaku yang diharapkan.
Perselingkuhan dan zina sering kali memicu konflik, kekerasan dalam rumah tangga, dan bahkan pembunuhan. Selain itu, kecemburuan dan dendam akibat zina dapat menyebabkan berbagai bentuk kejahatan lain.
Zina menimbulkan ketidakpercayaan dan kecurigaan dalam masyarakat, menghancurkan hubungan sosial, dan menyebabkan perpecahan dalam komunitas. Orang mungkin menjadi lebih tertutup dan kurang mempercayai orang lain, yang mengarah pada disintegrasi sosial.
Individu yang terlibat dalam zina, baik pelaku maupun korban, sering kali mengalami tekanan psikologis seperti rasa bersalah, malu, depresi, dan kecemasan. Selain itu, korban dari perselingkuhan atau zina mungkin merasa dikhianati, yang dapat menyebabkan trauma emosional jangka panjang.
Di beberapa negara dan komunitas, zina dianggap sebagai pelanggaran hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana. Ini dapat mengakibatkan individu yang terlibat menghadapi hukuman seperti penjara, denda, atau bahkan hukuman fisik.
Jika zina menjadi umum, masyarakat mungkin mulai menganggap perilaku ini sebagai hal yang biasa atau dapat diterima, yang akan menyebabkan penyimpangan sosial lebih lanjut dan melemahkan struktur sosial yang sehat.
Secara keseluruhan, zina atau seks bebas tidak hanya merusak kehidupan individu yang terlibat, tetapi juga membawa dampak negatif yang luas pada masyarakat secara keseluruhan, menciptakan lingkungan yang tidak sehat secara moral, sosial, dan emosional. Meski ada argument rasional yang mendukung karena berbasis HAM dan sekulerisme, namun jika Allah melarang, maka sudah pasti sebuah keburukan.
(AhmadSastra,KotaHujan,11/08/24 : 22.22 WIB)