Oleh : Ahmad Sastra
Jika BPIP adalah representasi pengamalan pancasila, apakah pelarangan pemakaian jilbab oleh Paskibraka Putri berarti merupakan ajaran pancasila itu sendiri. Jika benar demikian, maka pancasila bertentangan dengan Islam, karena melarang perbuatan yang diwajibkan oleh Allah. Jika pelarangan pemakaian jilbab justru pelanggaran pancasila, maka untuk apa ketua BPIP yang justru tidak paham pancasila menjadi ketua ?.
Memang ironi di negeri mayoritas muslim yang berketuhanan yang maha esa, berbhineka tunggal ika dan mengakui HAM ini yang justru mempersoalkan atribut dan identitas seorang muslimah, yakni busana yang menutup aurat. Ketua BPIP malah berapologi bahwa tidak boleh memakai jilbab bagi paskibraka putri sudah sesuai aturan. Nah aturan siapa, sementara dalam UUD 45 justru dijamin beragama dan berkeyakinan. Gimana sih ?.
Memang ironis negeri ini, dulu juga pernah adalah kampanye no hijab day. Tentu saja kampanye ini adalah bentuk kemungkaran dan kejahatan teologis. Jika muslimah belum berhijab, berarti dia bermaksiat, tapi jika sudah mengajak orang lain untuk tidak berhijab, berarti kemungkaran karena telah membangkang perintah Allah. Tidak sepatutnya kelompok muslim manapun, atas nama apapun, mengkampanyekan menanggalkan hijab. Kampanye ini sama saja mengundang murka Allah, mestinya bangsa ini mengundang rahmat Allah.
Perintah memakai hijab bagi muslimah atau menutup aurat bagi muslim secara umum adalah adalah pasti dan berdasar dalil Al Qur'an dan As Sunnah. Semua ulama mazhab bersepakat akan kewajiban itu. Selain itu hijab juga bagian dari hak asasi setiap muslimah dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Sekelas presidenpun haram hukumnya melarang jilbab, sebab peraturan Allah tetap tertinggi dibandingkan peraturan siapapun di dunia ini. Pemimpin yang melanggar aturan Allah haram ditaati. Islam mengajarkan ketaatan mutlak kepada Allah dan ketaatan bersyarat kepada pemimpin, yakni taat jika pemimpin itu taat kepada Allah.
Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisaa : 59)
Karena itu polemik soal yang kini tengah terjadi tidak harus terjadi, baik melalui kampanye no hijab day maupun melalui paskibraka. Pelarangan memakai jilbab di sekolah-sekolah bagi muslimah juga tidak semestinya terjadi, dimanapun sekolahnya. Sebab selain sebagai hak setiap muslimah, jilbab juga menyangkut keimanan dan ketaqwaan seorang muslim kepada Tuhannya yang dijamin konstitusi negeri ini.
Jika ada seorang muslimah tidak memakai jilbab, maka Islam mengajurkan kepada muslim lainnya untuk memberikan nasehat dan ajakan untuk memakainya. Berdakwah untuk kesadaran hidup di jalan Allah adalah kewajiban setiap muslim. Maka tidak elok jika ada muslim yang justru mengkampanyekan dan mengajak para muslimah untuk menanggalkan jilbab.
Negara ini melalui para pemimpin mestinya justru mengajak kaum muslimah untuk memakai jilbabnya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, bukan malah melarangnya. Jangan sampai negeri ini mendapatkan murka dan azab Allah ketika melarang kewajiban jilbab dan membolehkan alat kontrasepsi bagi remaja dan pelajar. Apakah ini yang katanya merdeka itu ?. Bagaimana negeri ini dikatakan merdeka, jika memakai jilbab saja dilarang ?.
Memakai jilbab bagi seorang muslimah adalah setiap hari saat berada di ruangan umum. Menanggalkan jilbab termasuk kategori maksiat, sebab merupakan bagian dari ketidaktaatan kepada perintah Allah. Mengajak muslimah agar menanggalkan jilbab juga bagian dari maksiat dan kemungkaran.
Sementara jika ada seorang muslimah yang sudah mukalaf namun tidak menutup aurat, maka terkategori perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa. Sebaliknya, jika menutup aurat sebagai bentuk ketundukan kepada perintah Allah, maka menjadi amal sholih dan mendapatkan pahala.
Siapapun yang menyelisihi perintah Allah dan mengajak orang lain, maka wajib ditolak, meski dia seorang raja sekalipun. Bahkan jika ada orang tua yang menyuruh anaknya untuk berbuat maksiat, maka anak itu wajib menolaknya, apalagi kalau Cuma BPIP. Sebab Islam mengajarkan seorang muslim untuk tidak tunduk kepada perintah manusia dalam kemaksiatan.
Jika benar BPIP telah menyusun aturan yang di dalamnya melarang muslimah memakai jilbab saat paskibraka, maka BPIP telah melakukan kemaksiatan, haram ditaati. Kepada para peserta paskibraka muslimah, tetaplah pakai jilbab, jika dilarang, tinggalkan tugas paskibraka, kembalilah kepada aturan Allah, agar kelak di akhirat tidak menyesal.
Dalil menutup aurat sudah sangat jelas. Sejauh mana kewajiban menutup aurat bagi seorang muslim, maka batasan aurat laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Perbedaan keduanya yang berdasarkan dalil Al Qur'an memiliki persamaan bahwa Islam mewajibkan seorang muslim, baik laki-laki maupun perempuan untuk menutup auratnya.
Allah berfirman, " dan janganlah mereka menampakkan perhiasan (aurat), kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya" (QS An Nur : 31). Secara khusus Allah mewajibkan menutup aurat bagi perempuan sebagaimana firman Allah, " Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS Al Ahzab : 59)
Mengenai batasan aurat wanita, Rasulullah juga pernah bersabda, berdasarkan hadis Abu daud dari 'Aisyah ra, beliau berkata, " Asma' binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah SAW dengan memakai pakaian yang tipis. Rasulullah pun berpaling darinya dan bersabda, "Wahai Asma, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (baligh) tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini". Beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.
Dalam sejarah, kaum kafir dan munafik selalu berusaha menghalang-halangi kaum muslim dalam ketundukan kepada hukum dan syariat Allah. Keduanya saling bahu-membahu dalam memusuhi agama Allah, yang pertama karena kekufurannya, sementara yang kedua karena kepentingan duniawi semata. Allah telah menegaskan dalam firmanNya.
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu Lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS Annisa : 61)
Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai Pelindung. (QS Al Ahzab : 48).
Seorang muslim harus meyakini, seyakin-yakinnya bahwa apa yang diperintahkan oleh Allah adalah sebuah kebenaran, kebaikan dan kemuliaan. Sebaiknya apa yang dilarang oleh Allah adalah sebuah kemungkaran, keburukan dan kehinaan. Maka menutup aurat adalah kemuliaan bagi seorang muslim, membukanya adalah kehinaan.
Jilbab sebagai perintah Allah tidak dipengaruhi oleh budaya tertentu. Budaya hanya bisa diterima saat tidak bertentangan dengan syariat. Jika bertentangan, maka perintah Allah lah yang harus dikedepankan. Maka, wahai muslimah, berjilbablah untuk kemuliaan dan jangan pernah menanggalkannya.
Taatlah kepada Allah sepenuh hati adalah kemerdekaan yang sesungguhnya. Jika muslimah dilarang memakai jilbab, maka artinya masih terjajah oleh manusia. Mau merdeka, taatlah kepada Allah sepenuh ketaatan.
(AhmadSastra,KotaHujan,15/08/24 : 07.07 WIB)