Oleh : Ahmad Sastra
Salah satu visi
besar sistem pendidikan nasional adalah membentuk generasi yang beriman,
bertaqwa dan berakhlak mulia dengan cara mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara
ini dengan tegas telah menyatakan sebagai negara hukum dna negara yang
Berketuhanan yang Maha Esa. Namun, faktanya negeri ini menggunakan paradigma
sekuler dalam membangun sistem pendidikan, utamanya rancangan Kurikulum.
Dalam Kurikulum,
nilai-nilai keagamaan justru tidak dijadikan sebagai landasan paradigm.
Akibatnya, paradigma sekuler yang lebih mendominasi. Paradigama sekuler ini
telah melakukan kesalahan besar dalam memandang perkembangan anak. Sekulerisme
memandang perkembangan manusia hanya dibatasi sejak lahir hingga mati, tidak
memandang sebelum lahir dan setelah mati. Akibatnya adalah kesalahan pandangan
dalam berbagai faktor lainnya, utamanya dalam memandang seksualitas manusia.
Adalah kesalahan
paradigma, memandang perkembangan manusia menjadi balita, anak-anak, remaja dan
dewasa. Sebab dalam pandangan Islam, perkembangan manusia bisa dimulai dari
alam ruh, alam kandungan, pra baligh dan baligh hingga kehidupan setelah
kematian. Pada QS A’ A’raf ayat 172 seluruh manusia bahkan telah berjanji bahwa
Allah adalah Tuhannya. Paradigma ini akan menjadikan perkembangan manusia
selalu dihubungkan dengan aspek spiritualitas.
Begitupun
kurikulum pendidikan yang berkaitan dengan perkembangan seksualitas peserta
didik. Jika dengan dalih pendidikan, lantas banyak menampilkan berbagai gambar
dan narasi yang vurgar, maka sama saja dengan merangsang libido seksualitas
yang pada akhirnya akan menimbulkan disorientasi seksual, baik penyimpangan maupun
seks bebas. Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah media online tertangkat
beberapa anak SMP yang bolos sekolah hanya karena ingin membuat konten vido
porno di sebuah rumah kosong. Ada sekitar delapan siswa dan dua siswi.
Kesalahan
paradigma pendidikan akan menjadi bencana kemanuisaan dimana yang akan datang.
Sekulerisasi seksual akan menimbulkan berbagai bentuk persoalaan seksual di
kalangan usia baligh. Penyimpangan seksual banyak yang telah menjerumuskan remaja
dalam perilaku menyimpang LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) yang
diantara penyebabnya adalah karena kecanduan drama korea dan mengikuti perilaku
menyimpang seksual. Globalisasi serta
teknologi komunikasi menjadi salah satu penyebab utama masuknya budaya K-Pop di
Indonesia.
Salah satunya
konten homoseksual boy love boy di media tiktok yang menampilkan hubungan
romantis antara idol pria dengan idol pria lain. Konten homoseksual boy love
boy yang mendapat banyak dukungan dari para penggemar. Hal ini dirasa
mengkhawatirkan, mengingat konten homoseksual sendiri adalah salah satu bagian
dari LGBT serta maraknya upaya normalisasi LGBT saat ini.
Nyatanya,
komunitas LGBT terus berkembang, baik di skala nasional maupun global. Dikutip
dari laman Statista, sebuah survei global yang dilakukan pada 2021 di 27 negara
mengungkap bahwa hanya 70 persen responden yang tertarik secara seksual kepada
lawan jenis. Bagaimana dengan Indonesia? Sebuah studi yang diterbitkan di
Jurnal Kewarganegaraan Volume 18, Nomor 2 (2021) memaparkan data peningkatan kelompok
LGBT di Indonesia. Khususnya, kalangan gay di daerah perkotaan seperti Bali,
Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. (Laporan HU. Republika.onlie berjudul :
Survei: Komunitas LGBT Terus Berkembang di Skala Nasional Maupun Global, oleh
Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda, Rabu 24 May 2023 15:00 WIB)
Ketiga,
disorientasi psikologis remaja bisa juga berupa kecanduan pornografi. Pornografi masih merajai konten negatif di
Indonseia dengan aduan statistik terbanyak di tahun 2022 (Kominifo, 2022).
Survei menyatakan bahwa setiap tahunnya ada 72 juta pengunjung website
pornografi. dalam setiap detiknya 28000 pengguna internet mengakses konten
pornografi. 66,67% adalah laki-laki dan sisanya adalah perempuan. Dengan
konsumen terbesar kelompok usia 12-17 tahun (Yankes kemkes, 2022).
Di
penghujung tahun 2022 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
melaporkan transaksi konten pornografi tembus Rp 114 M dengan menggunakan
dompet digital untuk pembayaran konten tersebut, yang lebih mengejutkan lagi
yang melakukan transaksi konten pornografi adalah anak dibawah umur (Detik.com,
2022).
Dampak
kecanduan pornografi dikalangan remaja: a. Mendorong remaja untuk meniru dan
melakukan tindakan seksual b. Membentuk sikap, nilai dan perilaku yang negatif
c. Menyebabkan sulit konsentrasi belajar hingga terganggu jati dirinya Perilaku
seksual menyimpang pada orang lain (Haidar, 2020: 136-143). Pecandu pornografi
juga bisa menderita ansietas yaitu gangguan kejiwaan yang berupa kecemasan,
ketakutan, merasa tidak berdaya dan tidak nyaman. (Jurnal yang ditulis Mariyati
Dkk (2017) berjudul Intervensi Cognitive Behavior Therapy dan Self Help Group
untuk menurunkan kecemasan pada remaja yang kecanduan pornografi: Case Series).
Perilaku amoral kaum
LGBT semakin menyeruak. Terbongkarnya sindikat
praktek prostitusi gay yang melibatkan anak-anak usia 13-17 tahun
menambah deretan panjang kerusakan moral di negeri ini. Sebanyak 99 anak
laki-laki berhasil diselamatkan Bareskrim Polri dan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) dari tangan AR (41)
yang berperan sebagai germo. Mereka adalah korban prostitusi gay di Cipayung
Puncak Bogor yang dipekerjakan sebagai
budak seks bagi laki-laki penyuka sesama jenis. Kasus ini sudah terjadi agak
lama, namun belum lama ini juga ada kasus penggerebekan pesta gay di bilangan
ibu kota.
Kasus prostitusi atau
pelacuran adalah tindakan menyalurkan libido seks seseorang dengan menghiraukan
etika dan adab. Setiap manusia, bahkan hewan memang telah diberikan dorongan
seksual oleh Allah, namun pola penyalurannya banyak yang menyimpang dari
aturan-aturan agama. penyimpangan itu bisa berupa aksi pemerkosaan, perzinahan,
pedopilia, homoseksual atau lesbian, dan pelacuran.
Pola manusia yang
menyelurkan dorongan seksual dalam dirinya tanpa mengikuti adab dan nilai agama
telah terjangkiti virus sekulerisme. Virus sekulerisme memandang dorongan
seksual adalah alamiah dan harus disalurkan secara alamiah pula tanpa harus
terikat dengan nilai-nilai agama. Pandangan seperti ini berkembang pesat di
dunia Barat yang memang sekuler. Tokoh pencetus sekulerisasi seksualitas adalah
Sigmund Freud dengan teori
psikoanalisanya. Manusia, dalam pandangan filsafat komunisme tak ubahnya
sebagai binatang ekonomi [economic animals].
Psikoanalisa Freud mengawali asumsinya tentang hukum kausalitas atau psychological determination. Teori ini
menyatakan bahwa segala sebab pasti ada akibatnya dan segala akibat pasti ada
sebabnya. Tidak ada suatu aktivitas yang dibuat oleh manusia kecuali ada sebab
yang mendorongnya melakukan tindakan tersebut. Mungkin sebab itu nyata dan bisa
jadi tidak nyata. Mungkin sebab itu logis dan bisa jadi tidak logis.
Dalam prinsip
psikoanalisa pertama ini, kasus prostitusi gay dengan korban sejumlah anak
laki-laki yang dijajakan kepada para pria homoseksual setidaknya disebabkan
oleh tiga faktor. Pertama karena
adanya motif ekonomi yang ditangkap oleh sang germo ketika ada peluang
permintaan para lelaki homoseksual untuk melampiaskan libido seksualnya. Kedua karena adanya penyimpangan seksual
para kaum homo yang oleh semua agama di larang. Ketiga ketidakberdayaan anak-anak untuk menolak tekanan orang
dewasa. Keempat sebagai faktor utama
adalah tidak adanya kesadaran spiritual dalam diri sang germo, anak-anak korban
prostitusi dan para lelaki kaum homoseksual.
Psikoanalisa Freud
juga mengenal istilah psychological
forces atau kekuatan psikologis. Prinsip ini mengasumsikan bahwa terdapat
kekuatan asas dalam alam nyata dan kekuatan psikologis adalah salah satu
jenisnya. Dari berbagai makanan yang dikonsumsi, prinsip kekuatan psikologi
mengasumsikan akan menimbulkan semacam kekuatan yang diekspresikan dalam bentuk
tindakan seperti tanggapan, pernafasan dan aktivitas gerak. Kekuatan ini juga bisa terekspresikan dalam bentuk
psikologis seperti penanggapan, pemikiran, dan ingatan.
Paradigma sekuler yang menjauhkan nilai-nilai etis agama dalam kehidupan manusia mendorong orang untuk berfikir dan
bertindak sekuleristik dalam segala hal.
Setiap pikiran dan tindakan yang diekspresikan bukanlah lahir dari kesadaran
agama seseorang, melainkan berakar dari nafsu dan keinginan untuk mendapatkan
manfaat pragmatis. Sebab paradigma sekulerisme tidak menimbang tindakan
berdasarkan hala dan haram, melainkan berdasarkan manfaat pragmatis yang akan
didapatkan. Dari sinilah munculnya dorongan dalam diri seseorang untuk
melakukan tindakan amoral yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Dalam kasus prostitusi
gay ini yang disebut dengan dorongan dalam diri adalah dorongan untuk
mendapatkan manfaat pragmatis berupa kepuasan seksual oleh kaum homoseks dan
manfaat pragmatis ekonomis oleh sang germo. Keduanya adalah orang yang telah
terlepas dari kesadaran agama demi meraih manfaat pragmatis, tanpa mengindahkan
hukum halal dan haram. Sekulerisme telah menjadi energi kuat bagi perilaku
menyimpang.
Psikoanalisa Freud beranggapan bahwa manusia telah dipersiapkan
dengan kesanggupan untuk memberikan reaksi terhadap berbagai perangsang yang
menimpanya, baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Kesanggupan merespons
setiap rangsangan ini merupakan hal istimewa yang dimiliki makhluk hidup, bukan
hanya manusia. Ketika manusia dihadapkan dengan perangsang, maka ia berada
dalam kondisi terangsang dan risau dan mengalami ketidakseimbangan psikologis.
Pada
saat risau inilah manusia ada yang berusaha untuk dapat menurunkan tingkat
rangsangan hingga mencapai kondisi seimbang kembali, meski ada yang tidak mampu
melakukannya. Prinsip inilah yang
disebut sebagai prinsip ketetapan dan keseimbangan (constancy and equilibration).
Dalam kondisi
ketidakseimbangan psikologis, manusia
mencoba mendapatkan tingkat keseimbangan dirinya dengan berada pada posisi
sebelum mendapat rangsangan. Upaya ini bisa berupa tindakan jasmani atau
intelektual tertentu sehingga ia mampu melepaskan dirinya dari kondisi risau
karena berhadapan dengan rangsangan. Kerisauan akibat ketidakseimbangan ini
membuat kesal dan jengkel, sementara kondisi keseimbangan akan menimbulkan kegembiraan. Prinsip ini
dalam psikoanalisa Freud disebut sebagai pleasure.
Ketidakseimbangan
psikologis akibat tingginya dorongan seksual (libido) seseorang akan mengakibatkan
kondisi ketidaknyamanan hingga ada katarsitas yang dilakukan. Katarsitas psikologis dalam paradigma sekuler
adalah upaya penyaluran kegalauan psikologis tanpa disandarkan oleh etika.
Sandaran katarsitas psikologis sekuleristik hanya bertumpu kepada kepuasan
psikologis. Sekulerisme menganggap psikologi seseorang berdiri sendiri tanpa
ikatan etika agama tertentu.
Dengan demikian upaya
katarsitas psikologisnya tanpa terlebih dahulu menimbang dengan etika agama.
Dalam kondisi inilah manusia akan lebih banyak dikuasai oleh nafsu dibandingkan
keimanan dalam dirinya. Ketiadaan kesadaran etika agama mendorong manusia untuk
melanggar nilai-nilai agama. Meski kadang mereka tidak menyadari itu. Meskipun
ada kesadaran, namun jika dorongan nafsu lebih mendominasi, maka tindakan
amoralpun akan dilakukan. Jika masih ada sedikit kesadaran etika agama,
biasanya setelah melakukan tindakan amoral, mereka akan mengalami penyesalan
dan kegelisahan yang semakin mendalam.
Berbeda dengan orang
yang tidak memiliki kesadaran etika agama sama sekali. Mereka akan melakukan
tindakan apapun demi memenuhi dorongan nafsunya, meskipun bertentangan dengan
hati nuraninya. Dalam belenggu paradigma sekulerisme dan tiadanya kesadaran
etika agama dalam diri seseorang terbukti akan menimbulkan berbagai keruskan
moral dan berpotensi menghancurkan
peradaban manusia.
Orientasi
ekonomi yang sekuleristik akan melahirkan perilaku ekonomi yang melanggar etika
agama. orientasi seksual yang sekuleristik akan melahirkan perilaku seksual
yang amoral dan menyimpang dari kodrat manusia itu sendiri. Penguatan sistem etika agama dan membuang
jauh-jauh paradigma sekulerisme adalah langkah awal untuk menyelesaikan
berbagai kasus penyimpangan seksual di negeri ini. Selanjutnya tentu saja
menjadikan agama (Islam) sebagai tolok ukur setiap pemikiran dan tindakan.
Islam dengan tegas
melarang hubungan manusia sesame jenis. Islam menganjurkan hubungan normal
antara laki-laki dan perempuan. Terkait dengan hubungan manusia dengan sesama
manusia, terlebih hubungan antara laki-laki dan perempuan, Islam telah
menggariskan hukum yang tegas dan jelas. Allah telah menciptakan
makhluk-makhlukNya dengan berpasang-pasangan.
Hukum Allah terkait
hubungan laki-laki dan perempuan terikat dengan hukum perkawinan yang hanya
berlaku bagi manusia. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah
sebagai jalan bagi manusia untuk mendapatkan keturunan, berkembang dan demi
kelestarian hidupnya. Dengan catatan masing-masing pasangan siap melakukan
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Perkawinan merupakan
pokok dari pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sebab dengan
berlangsungnya sebuah perkawinan, maka akan melahirkan hubungan kebapakan,
hubungan keibuan, hubungan suami dan istri dan hubungan yang lainnya. Hubungan
perkawinan dengan demikian merupakan hubungan pokok dan hubungan kebapakan dan
keibuan merupakan derivasi sebagai hubungan cabang dari hubungan perkawinan.
Pada awalnya
pernikahan dimulai dari adanya naluri manusia yang mesti dipenuhi, yakni naluri
seksual (gharizah an naw’). Naluri
seksual membutuhkan pemenuhan yang bergerak menurut pergerakan aspek keibuan
atau kekanakan, sebagimana juga menuntut pemenuhan sesuai dengan pergerakan
penampakan dari pertemuan yang bersifat seksual. Penyaluran kebutuhan seks yang
islami adalah melalui pernikahan, bukan perzinahan sebagaimana dianjurkan oleh
sekulerisme.
Islam memberikan
jawaban yang tuntas terkait dengan dorongan seksualitas seseorang yakni melalui
lembaga pernikahan. Islam juga sangat tegas memberikan sanksi bagi kaum
homoseksual atau lesbian. Islam juga telah menjadikan seorang pezina sebagai
pendosa besar dan layak dihukum berat.
Kesemuanya itu bukan
untuk menghambat dorongan seksualitas seseorang, namun Islam pola penyaluran
dorongan seksualitas manusia agar sejalan dengan nilai-nilai ilahi yang jelas
akan mendatangkan kebaikan manusia. Sebaliknya sekulerisasi seksualitas akan
mendatangkan berbagai kerusakan dan bencana kemanusiaan. Saatnya Islam diterapkan secara kaffah, agar
segala problematika manusia bisa diselesaikan secara menyeluruh menuju
kebahagiaan dan keberkahan hakiki.
Peta jalan (roadmap)
pendidikan Islam adalah pengenjawantahan dari blueprint yang tercantum dalam Al Qur’an dan Al Hadist.
Al Qur’an sebagai wahyu Allah kepada Rasulullah diperinci melalui seluruh
perilaku Rasulullah yang kemudian disebut sunnah Nabi. Ujung dari peta jalan
pendidikan Islam adalah lahirnya manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak,
berilmu yang kemudian menjadi khalifah di muka bumi dengan menegakkan peradaban
Islam yang mulia. Dalam
hegemoni ideologi sekulerisme, pendidikan Islam mampu menyelematkan generasi
dari berbagai kerusakan.
Paradigma pendidikan pada hakekatnya adalah pemikiran tentang manusia, alam dan kehidupan. Dalam
pendidikan, manusia adalah pelaku pendidikan sekaligus obyek pendidikan.
Seluruh filsafat dan praktek pendidikan dari berbagai ideologi yang ada di
dunia tertuju kepada manusia, alam dan
kehidupan. Perbedaan paradigma pendidikan antara Islam, sosialis, dan kapitalis
sekuler terletak pada perbedaan paradigmanya (wordlview) mengenai manusia, alam dan kehidupan ini. Kegagalan pendidikan dimulai dari kegagalan
mendefinisikan manusia : dari mana manusia datang, untuk apa hidup di dunia dan
hendak kemana setelah kematian.
Pandangan
Islam tentang manusia tentu berbeda dengan pandangan sekulerisme tentang
manusia, begitu juga tentang alam dan kehidupan. Keberhasilan sebuah pendidikan terletak pada
ketepatan memaknai manusia, alam dan kehidupan. Kesalahan memaknai ketiga
realitas tersebut, maka praktek pendidikan itu hanya akan merusak manusia dan
kemanusiaan bahkan akan menyebabkan kerusakan alam semesta dan kehidupan
manusia.
Pandangan
sekulerisme terhadap hakekat manusia didasarkan pandangan antroposentrisme Socrates, bahwa manusia itu mengatur dirinya, ia
membuat peraturan untuk itu, manusia adalah pusat kehidupan. Manusia mengurus dirinya dan alam berdasarkan manusia itu sendiri. Manusia adalah sentral
segalanya. Sementara Plato
berpendapat bahwa manusia terdiri dari tiga dimensi utama yakni ruh, nafsu dan
rasio. Rasio digunakan manusia untuk dapat mengendalikan kedua dimensi yang lain.
Ibarat
seorang kusir kereta yang mengendalikan dua ekor kuda yang hitam dan putih
sebagai gambaran nafsu dan ruh. Berdasarkan ketiga unsur tadi, Plato membagi
manusia menjadi tiga golongan. Pertama, manusia yang didominasi oleh rasio yang
hasrat utamanya adalah meraih pengetahuan. Kedua, manusia yang didominasi oleh
ruh yang hasrat utamanya adalah meraih reputasi. Ketiga, manusia yang
didominasi oleh nafsu yang hasrat utamanya adalah meraih materi. Tugas rasio
(logika) adalah mengontrol roh dan nafsu. Dari sinilah sebenarnya genealogi
sekulerisasi epistemologi dimulai yang kelak melahirkan peradaban Barat.
Epistemologi Barat
yang sekuleristik dan ateisitik telah
melahirkan manusia-manusia jahat, rakus dan
perusak demi memenuhi kehausan duniawi dan kekuasaan. Hasilnya adalah
sebuah peradaban anti Tuhan yang lebih mengedepankan kebebasan tanpa batas di
semua bidang kehidupan. Sains dan teknologi ala Barat sekuler hanya
berorientasi materialisme dan mengabaikan nilai dan moral. Dari paradigma sains
sekuler inilah awal dari kerusakan bumi dengan
sumber daya alamnya hingga kerusakan manusia dengan pemikiran, jiwa dan
perilakunya. Allah dengan tegas telah memberikan ilustrasi fakta ini dalam
surat ar Ruum : 41, “ telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar)”.
Jika orang-orang Barat
yang sekuleristik dan ateistik merusak bumi, itu lumrah adanya, memang sudah
dari sononya. Ironisnya adalah jika kaum muslimin yang secara normatif telah memiliki basis teologis kuat, justru ikut
terjerembab dalam kubangan pemikiran sekuleristik ini. Pengaruh sekulerisme
terhadap umat Islam telah melahirkan dua tipologi utama di kalangan umat Islam
hari ini dalam memahami dan mengekspresikan
Islam.
Zakiah
Daradjat sebagai seorang ilmuwan muslim yang memiliki spesialisasi masalah
kejiwaan manusia, mengawali pemikiran pendidikannya dengan menelaah secara
mendalam hakekat manusia sebagai obyek pendidikan. Sebab baginya, manusia
adalah muara dari proses pendidikan, yakni membentuk manusia yang seutuhnya.
Zakiah Daradjat sangat menyadari bahwa manusia memiliki berbagai aspek atau
dimensi yang secara keseluruhan harus menjadi obyek penyelenggaraan pendidikan, baik di keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Membicarakan manusia dalam perspektif pendidikan berarti membicarakan
manusia secara utuh menyeluruh tidak secara parsial dan terpisah-pisah.
Bila
membicarakan tentang pembentukan manusia di Indonesia seutuhnya, maka
seharusnya membentuk manusia dari
berbagai aspek atau dimensi yang dimiliki manusia itu sendiri, tidak boleh ada
yang diabaikan atau ditinggalkan dan juga sebaliknya tidak boleh ada yang
terlalu diunggulkan dan disanjung tinggi. Intinya tidak ada dimensi yang
dilupakan. Keberhasilan pendidikan bisa
diukur apakah pendidikan itu telah menyentuh semua dimensi manusia atau
belum.
Allah
tidak memisahkan antara satu dimensi dengan dimensi yang lain pada diri
manusia. Tidak ada dimensi tubuh yang
terbebas dari dimensi kejiwaan, akal dan ruh. Jika Allah memanggil manusia,
maka yang dimaksud adalah manusia dari semua dimensinya, fisik, akal dan ruhnya
sekaligus. Setiap dimensi mesti mendapat perlakukan pendidikan yang khusus
namun tidak memisahkan dengan dimensi lainnya. Karena itu sistem pendidikan
Islam akan membentuk pola pikir dan pola sikap islami bagi guru dan muridnya.
Konsepsi
manusia yang utuh dengan berbagai dimensi yang menjadi satu dalam diri manusia
sebagai obyek pendidikan sejalan dengan pendapat Al Faruqi yang mengungkapkan
bahwa manusia merupakan kajian yang paling menarik dalam pendidikan, sebab
manusia merupakan mahakarya Allah SWT terbesar.
Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi
dari kehendak Tuhan dan menjadi sejarah dan ia makhluk kosmis yang sangat
penting, karena dilengkapi dengan pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan.
Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan raga dalam hubungan timbal balik
dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya dan dengan manusia lainnya.
Dengan
kesejatian inilah manusia menunaikan baktinya kepada Allah sebagaimana
fitrahnya. Al Qur'an telah banyak mengungkapkan tentang apa dan siapa manusia
sebenarnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Ar Ruum : 30).
Karena itu peta jalan pendidikan
Islam setidaknya mencakup tiga dimensi yang mesti dicapai. Pertama, dimensi kehambaan (QS Adz
Dzariyat : 56), yakni bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mewujudkan
hamba-hamba Allah yang selalu taat dan terikat dengan hukum Allah dengan penuh
keimanan.
Kedua, dimensi intelektual (QS Ali
Imran : 110), yakni pendidikan Islam hendak mewujudkan para ulama atau ilmuwan
yang beriman yang dengan ilmunya
dijadikan bekal untuk berdakwah dan berkarya membangun peradaban mulia. Muslim
adalah umat terbaik yang lahirkan untuk manusia.
Ketiga, dimensi kekhalifahan (QS Al
Anbiyaa : 107), yakni bahwa pendidikan Islam sebagai refleksi amanah
kekhalifahan (kepemimpinan peradaban)
seorang muslim di bumi yang harus menata dan memelihara bumi berdasarkan
syariah Allah untuk mewujudkan misi menebar rahmat bagi alam semesta.
Dari tiga dimensi inilah yang
kemudian dirumuskan menjadi peta jalan pendidikan Islam
yang mencakup delapan aspek sistem pendidikan Islam yakni visi, misi, tujuan,
kurikulum, guru, siswa, pembiayaan, sarpras dan metode pendidikan yang
kesemuanya didasarkan oleh paradigma Islam. Islam tidaklah sebatas akhlak
mulia, melainkan juga mencakup aqidah dan syariahnya. Sistem pendidikan Islam
pada masa keemasan Islam bisa dijadikan inspirasi dan aspirasi bagi konstruksi
sistem pendidikan Islam masa modern ini.
Sementara konsepsi
kehidupan kapitalisme bersifat sekuleristik, dimana kehendak Tuhan tidak
dilekatkan dalam mengatur kehidupan. Sementara komunisme berpaham ateistik
dimana eksistensi Tuhan tidak diakui. Paham kehidupan komunisme didasarkan oleh
dialektika materialisme, dimana segala sesuai berasal dari materi dan akan
kembali menjadi materi melalui sebuah proses yang disebut evolusi materi.
Karena itu membangun
Indonesia yang adil dan beradab yang akan melahirkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia harus didasarkan oleh paradigma Islam ini. Sebab kata
adab, beradab dan peradaban berasal dari akar kaya yang sama yakni kemuliaan
pola pikir dan pola sikap berlandaskan tauhid. Masyarakat beradab adalah masyarakat
yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Kecanggihan teknologi bagi
masyarakat beradab akan menambah kemajuan dan keberkahan kehidupan, bukan malah
menjadi malapetaka.
(AhmadSastra, KotaHujan,
21/06/24 : 12.47 WIB)