PARADIGMA PENDIDIKAN SEKSUAL DALAM JERAT SEKULERISME - Ahmad Sastra.com

Breaking

Sabtu, 22 Juni 2024

PARADIGMA PENDIDIKAN SEKSUAL DALAM JERAT SEKULERISME



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Salah satu visi besar sistem pendidikan nasional adalah membentuk generasi yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia dengan cara mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara ini dengan tegas telah menyatakan sebagai negara hukum dna negara yang Berketuhanan yang Maha Esa. Namun, faktanya negeri ini menggunakan paradigma sekuler dalam membangun sistem pendidikan, utamanya rancangan Kurikulum.

 

Dalam Kurikulum, nilai-nilai keagamaan justru tidak dijadikan sebagai landasan paradigm. Akibatnya, paradigma sekuler yang lebih mendominasi. Paradigama sekuler ini telah melakukan kesalahan besar dalam memandang perkembangan anak. Sekulerisme memandang perkembangan manusia hanya dibatasi sejak lahir hingga mati, tidak memandang sebelum lahir dan setelah mati. Akibatnya adalah kesalahan pandangan dalam berbagai faktor lainnya, utamanya dalam memandang seksualitas manusia.

 

Adalah kesalahan paradigma, memandang perkembangan manusia menjadi balita, anak-anak, remaja dan dewasa. Sebab dalam pandangan Islam, perkembangan manusia bisa dimulai dari alam ruh, alam kandungan, pra baligh dan baligh hingga kehidupan setelah kematian. Pada QS A’ A’raf ayat 172 seluruh manusia bahkan telah berjanji bahwa Allah adalah Tuhannya. Paradigma ini akan menjadikan perkembangan manusia selalu dihubungkan dengan aspek spiritualitas.

 

Begitupun kurikulum pendidikan yang berkaitan dengan perkembangan seksualitas peserta didik. Jika dengan dalih pendidikan, lantas banyak menampilkan berbagai gambar dan narasi yang vurgar, maka sama saja dengan merangsang libido seksualitas yang pada akhirnya akan menimbulkan disorientasi seksual, baik penyimpangan maupun seks bebas. Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah media online tertangkat beberapa anak SMP yang bolos sekolah hanya karena ingin membuat konten vido porno di sebuah rumah kosong. Ada sekitar delapan siswa dan dua siswi.

 

Kesalahan paradigma pendidikan akan menjadi bencana kemanuisaan dimana yang akan datang. Sekulerisasi seksual akan menimbulkan berbagai bentuk persoalaan seksual di kalangan usia baligh. Penyimpangan seksual banyak yang telah menjerumuskan remaja dalam perilaku menyimpang LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) yang diantara penyebabnya adalah karena kecanduan drama korea dan mengikuti perilaku menyimpang seksual.  Globalisasi serta teknologi komunikasi menjadi salah satu penyebab utama masuknya budaya K-Pop di Indonesia.

 

Salah satunya konten homoseksual boy love boy di media tiktok yang menampilkan hubungan romantis antara idol pria dengan idol pria lain. Konten homoseksual boy love boy yang mendapat banyak dukungan dari para penggemar. Hal ini dirasa mengkhawatirkan, mengingat konten homoseksual sendiri adalah salah satu bagian dari LGBT serta maraknya upaya normalisasi LGBT saat ini.

 

Nyatanya, komunitas LGBT terus berkembang, baik di skala nasional maupun global. Dikutip dari laman Statista, sebuah survei global yang dilakukan pada 2021 di 27 negara mengungkap bahwa hanya 70 persen responden yang tertarik secara seksual kepada lawan jenis. Bagaimana dengan Indonesia? Sebuah studi yang diterbitkan di Jurnal Kewarganegaraan Volume 18, Nomor 2 (2021) memaparkan data peningkatan kelompok LGBT di Indonesia. Khususnya, kalangan gay di daerah perkotaan seperti Bali, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. (Laporan HU. Republika.onlie berjudul : Survei: Komunitas LGBT Terus Berkembang di Skala Nasional Maupun Global, oleh Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda, Rabu 24 May 2023 15:00 WIB)

 

Ketiga, disorientasi psikologis remaja bisa juga berupa kecanduan pornografi. Pornografi masih merajai konten negatif di Indonseia dengan aduan statistik terbanyak di tahun 2022 (Kominifo, 2022). Survei menyatakan bahwa setiap tahunnya ada 72 juta pengunjung website pornografi. dalam setiap detiknya 28000 pengguna internet mengakses konten pornografi. 66,67% adalah laki-laki dan sisanya adalah perempuan. Dengan konsumen terbesar kelompok usia 12-17 tahun (Yankes kemkes, 2022).

 

Di penghujung tahun 2022 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan transaksi konten pornografi tembus Rp 114 M dengan menggunakan dompet digital untuk pembayaran konten tersebut, yang lebih mengejutkan lagi yang melakukan transaksi konten pornografi adalah anak dibawah umur (Detik.com, 2022).

 

Dampak kecanduan pornografi dikalangan remaja: a. Mendorong remaja untuk meniru dan melakukan tindakan seksual b. Membentuk sikap, nilai dan perilaku yang negatif c. Menyebabkan sulit konsentrasi belajar hingga terganggu jati dirinya Perilaku seksual menyimpang pada orang lain (Haidar, 2020: 136-143). Pecandu pornografi juga bisa menderita ansietas yaitu gangguan kejiwaan yang berupa kecemasan, ketakutan, merasa tidak berdaya dan tidak nyaman. (Jurnal yang ditulis Mariyati Dkk (2017) berjudul Intervensi Cognitive Behavior Therapy dan Self Help Group untuk menurunkan kecemasan pada remaja yang kecanduan pornografi: Case Series).

 

Perilaku amoral kaum LGBT semakin menyeruak. Terbongkarnya sindikat  praktek prostitusi gay yang melibatkan anak-anak usia 13-17 tahun menambah deretan panjang kerusakan moral di negeri ini. Sebanyak 99 anak laki-laki berhasil diselamatkan Bareskrim Polri dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari tangan  AR (41) yang berperan sebagai germo. Mereka adalah korban prostitusi gay di Cipayung Puncak Bogor  yang dipekerjakan sebagai budak seks bagi laki-laki penyuka sesama jenis. Kasus ini sudah terjadi agak lama, namun belum lama ini juga ada kasus penggerebekan pesta gay di bilangan ibu kota.

 

Kasus prostitusi atau pelacuran adalah tindakan menyalurkan libido seks seseorang dengan menghiraukan etika dan adab. Setiap manusia, bahkan hewan memang telah diberikan dorongan seksual oleh Allah, namun pola penyalurannya banyak yang menyimpang dari aturan-aturan agama. penyimpangan itu bisa berupa aksi pemerkosaan, perzinahan, pedopilia, homoseksual atau lesbian, dan pelacuran.

 

Pola manusia yang menyelurkan dorongan seksual dalam dirinya tanpa mengikuti adab dan nilai agama telah terjangkiti virus sekulerisme. Virus sekulerisme memandang dorongan seksual adalah alamiah dan harus disalurkan secara alamiah pula tanpa harus terikat dengan nilai-nilai agama. Pandangan seperti ini berkembang pesat di dunia Barat yang memang sekuler. Tokoh pencetus sekulerisasi seksualitas adalah Sigmund  Freud dengan teori psikoanalisanya. Manusia, dalam pandangan filsafat komunisme tak ubahnya sebagai binatang ekonomi [economic animals].

 

Psikoanalisa Freud mengawali asumsinya  tentang hukum kausalitas atau psychological determination. Teori ini menyatakan bahwa segala sebab pasti ada akibatnya dan segala akibat pasti ada sebabnya. Tidak ada suatu aktivitas yang dibuat oleh manusia kecuali ada sebab yang mendorongnya melakukan tindakan tersebut. Mungkin sebab itu nyata dan bisa jadi tidak nyata. Mungkin sebab itu logis dan bisa jadi tidak logis.

 

Dalam prinsip psikoanalisa pertama ini, kasus prostitusi gay dengan korban sejumlah anak laki-laki yang dijajakan kepada para pria homoseksual setidaknya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama karena adanya motif ekonomi yang ditangkap oleh sang germo ketika ada peluang permintaan para lelaki homoseksual untuk melampiaskan libido seksualnya. Kedua karena adanya penyimpangan seksual para kaum homo yang oleh semua agama di larang. Ketiga ketidakberdayaan anak-anak untuk menolak tekanan orang dewasa. Keempat sebagai faktor utama adalah tidak adanya kesadaran spiritual dalam diri sang germo, anak-anak korban prostitusi dan para lelaki kaum homoseksual. 

 

Psikoanalisa Freud juga mengenal istilah psychological forces atau kekuatan psikologis. Prinsip ini mengasumsikan bahwa terdapat kekuatan asas dalam alam nyata dan kekuatan psikologis adalah salah satu jenisnya. Dari berbagai makanan yang dikonsumsi, prinsip kekuatan psikologi mengasumsikan akan menimbulkan semacam kekuatan yang diekspresikan dalam bentuk tindakan seperti tanggapan, pernafasan dan aktivitas gerak. Kekuatan  ini juga bisa terekspresikan dalam bentuk psikologis seperti penanggapan, pemikiran, dan ingatan.

 

Paradigma  sekuler yang menjauhkan nilai-nilai etis agama dalam kehidupan manusia mendorong orang untuk berfikir dan bertindak sekuleristik  dalam segala hal. Setiap pikiran dan tindakan yang diekspresikan bukanlah lahir dari kesadaran agama seseorang, melainkan berakar dari nafsu dan keinginan untuk mendapatkan manfaat pragmatis. Sebab paradigma sekulerisme tidak menimbang tindakan berdasarkan hala dan haram, melainkan berdasarkan manfaat pragmatis yang akan didapatkan. Dari sinilah munculnya dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan amoral yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. 

 

Dalam kasus prostitusi gay ini yang disebut dengan dorongan dalam diri adalah dorongan untuk mendapatkan manfaat pragmatis berupa kepuasan seksual oleh kaum homoseks dan manfaat pragmatis ekonomis oleh sang germo. Keduanya adalah orang yang telah terlepas dari kesadaran agama demi meraih manfaat pragmatis, tanpa mengindahkan hukum halal dan haram. Sekulerisme telah menjadi energi kuat bagi perilaku menyimpang. 

 

Psikoanalisa Freud beranggapan bahwa manusia telah dipersiapkan dengan kesanggupan untuk memberikan reaksi terhadap berbagai perangsang yang menimpanya, baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Kesanggupan merespons setiap rangsangan ini merupakan hal istimewa yang dimiliki makhluk hidup, bukan hanya manusia. Ketika manusia dihadapkan dengan perangsang, maka ia berada dalam kondisi terangsang dan risau dan mengalami ketidakseimbangan psikologis.

 

Pada saat risau inilah manusia ada yang berusaha untuk dapat menurunkan tingkat rangsangan hingga mencapai kondisi seimbang kembali, meski ada yang tidak mampu melakukannya. Prinsip inilah yang disebut sebagai prinsip ketetapan dan keseimbangan (constancy and equilibration).

 

Dalam kondisi ketidakseimbangan  psikologis, manusia mencoba mendapatkan tingkat keseimbangan dirinya dengan berada pada posisi sebelum mendapat rangsangan. Upaya ini bisa berupa tindakan jasmani atau intelektual tertentu sehingga ia mampu melepaskan dirinya dari kondisi risau karena berhadapan dengan rangsangan. Kerisauan akibat ketidakseimbangan ini membuat kesal dan jengkel, sementara kondisi keseimbangan  akan menimbulkan kegembiraan. Prinsip ini dalam psikoanalisa Freud disebut sebagai pleasure.

 

Ketidakseimbangan psikologis akibat tingginya dorongan seksual (libido) seseorang akan mengakibatkan kondisi ketidaknyamanan hingga ada katarsitas yang dilakukan. Katarsitas psikologis dalam paradigma sekuler adalah upaya penyaluran kegalauan psikologis tanpa disandarkan oleh etika. Sandaran katarsitas psikologis sekuleristik hanya bertumpu kepada kepuasan psikologis. Sekulerisme menganggap psikologi seseorang berdiri sendiri tanpa ikatan etika agama tertentu.

 

Dengan demikian upaya katarsitas psikologisnya tanpa terlebih dahulu menimbang dengan etika agama. Dalam kondisi inilah manusia akan lebih banyak dikuasai oleh nafsu dibandingkan keimanan dalam dirinya. Ketiadaan kesadaran etika agama mendorong manusia untuk melanggar nilai-nilai agama. Meski kadang mereka tidak menyadari itu. Meskipun ada kesadaran, namun jika dorongan nafsu lebih mendominasi, maka tindakan amoralpun akan dilakukan. Jika masih ada sedikit kesadaran etika agama, biasanya setelah melakukan tindakan amoral, mereka akan mengalami penyesalan dan kegelisahan yang semakin mendalam.

 

Berbeda dengan orang yang tidak memiliki kesadaran etika agama sama sekali. Mereka akan melakukan tindakan apapun demi memenuhi dorongan nafsunya, meskipun bertentangan dengan hati nuraninya. Dalam belenggu paradigma sekulerisme dan tiadanya kesadaran etika agama dalam diri seseorang terbukti akan menimbulkan berbagai keruskan moral dan berpotensi  menghancurkan peradaban manusia.

 

Orientasi ekonomi yang sekuleristik akan melahirkan perilaku ekonomi yang melanggar etika agama. orientasi seksual yang sekuleristik akan melahirkan perilaku seksual yang amoral dan menyimpang dari kodrat manusia itu sendiri. Penguatan sistem etika agama dan membuang jauh-jauh paradigma sekulerisme adalah langkah awal untuk menyelesaikan berbagai kasus penyimpangan seksual di negeri ini. Selanjutnya tentu saja menjadikan agama (Islam) sebagai tolok ukur setiap pemikiran dan tindakan.

 

Islam dengan tegas melarang hubungan manusia sesame jenis. Islam menganjurkan hubungan normal antara laki-laki dan perempuan. Terkait dengan hubungan manusia dengan sesama manusia, terlebih hubungan antara laki-laki dan perempuan, Islam telah menggariskan hukum yang tegas dan jelas. Allah telah menciptakan makhluk-makhlukNya dengan berpasang-pasangan.

 

Hukum Allah terkait hubungan laki-laki dan perempuan terikat dengan hukum perkawinan yang hanya berlaku bagi manusia. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk mendapatkan keturunan, berkembang dan demi kelestarian hidupnya. Dengan catatan masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.

 

Perkawinan merupakan pokok dari pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sebab dengan berlangsungnya sebuah perkawinan, maka akan melahirkan hubungan kebapakan, hubungan keibuan, hubungan suami dan istri dan hubungan yang lainnya. Hubungan perkawinan dengan demikian merupakan hubungan pokok dan hubungan kebapakan dan keibuan merupakan derivasi sebagai hubungan cabang dari hubungan perkawinan.

 

Pada awalnya pernikahan dimulai dari adanya naluri manusia yang mesti dipenuhi, yakni naluri seksual (gharizah an naw’). Naluri seksual membutuhkan pemenuhan yang bergerak menurut pergerakan aspek keibuan atau kekanakan, sebagimana juga menuntut pemenuhan sesuai dengan pergerakan penampakan dari pertemuan yang bersifat seksual. Penyaluran kebutuhan seks yang islami adalah melalui pernikahan, bukan perzinahan sebagaimana dianjurkan oleh sekulerisme.

 

Islam memberikan jawaban yang tuntas terkait dengan dorongan seksualitas seseorang yakni melalui lembaga pernikahan. Islam juga sangat tegas memberikan sanksi bagi kaum homoseksual atau lesbian. Islam juga telah menjadikan seorang pezina sebagai pendosa besar dan layak dihukum berat.

 

Kesemuanya itu bukan untuk menghambat dorongan seksualitas seseorang, namun Islam pola penyaluran dorongan seksualitas manusia agar sejalan dengan nilai-nilai ilahi yang jelas akan mendatangkan kebaikan manusia. Sebaliknya sekulerisasi seksualitas akan mendatangkan berbagai kerusakan dan bencana kemanusiaan.  Saatnya Islam diterapkan secara kaffah, agar segala problematika manusia bisa diselesaikan secara menyeluruh menuju kebahagiaan dan keberkahan hakiki. 

 

Peta jalan (roadmap) pendidikan Islam adalah pengenjawantahan dari blueprint  yang tercantum dalam Al Qur’an dan Al Hadist. Al Qur’an sebagai wahyu Allah kepada Rasulullah diperinci melalui seluruh perilaku Rasulullah yang kemudian disebut sunnah Nabi. Ujung dari peta jalan pendidikan Islam adalah lahirnya manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak, berilmu yang kemudian menjadi khalifah di muka bumi dengan menegakkan peradaban Islam yang mulia. Dalam hegemoni ideologi sekulerisme, pendidikan Islam mampu menyelematkan generasi dari berbagai kerusakan.

 

Paradigma pendidikan pada hakekatnya adalah pemikiran tentang manusia, alam dan kehidupan. Dalam pendidikan, manusia adalah pelaku pendidikan sekaligus obyek pendidikan. Seluruh filsafat dan praktek pendidikan dari berbagai ideologi yang ada di dunia tertuju kepada  manusia, alam dan kehidupan. Perbedaan paradigma pendidikan antara Islam, sosialis, dan kapitalis sekuler terletak pada perbedaan paradigmanya (wordlview)  mengenai manusia, alam dan kehidupan ini. Kegagalan pendidikan dimulai dari kegagalan mendefinisikan manusia : dari mana manusia datang, untuk apa hidup di dunia dan hendak kemana setelah kematian.  

 

Pandangan Islam tentang manusia tentu berbeda dengan pandangan sekulerisme tentang manusia, begitu juga tentang alam dan kehidupan.  Keberhasilan sebuah pendidikan terletak pada ketepatan memaknai manusia, alam dan kehidupan. Kesalahan memaknai ketiga realitas tersebut, maka praktek pendidikan itu hanya akan merusak manusia dan kemanusiaan bahkan akan menyebabkan kerusakan alam semesta dan kehidupan manusia.

 

Pandangan sekulerisme terhadap hakekat manusia didasarkan pandangan antroposentrisme Socrates, bahwa manusia itu mengatur dirinya, ia membuat peraturan untuk itu, manusia adalah pusat kehidupan. Manusia mengurus dirinya dan alam berdasarkan  manusia itu sendiri. Manusia adalah sentral segalanya. Sementara Plato berpendapat bahwa manusia terdiri dari tiga dimensi utama yakni ruh, nafsu dan rasio. Rasio digunakan manusia untuk dapat mengendalikan kedua dimensi yang lain.

 

Ibarat seorang kusir kereta yang mengendalikan dua ekor kuda yang hitam dan putih sebagai gambaran nafsu dan ruh. Berdasarkan ketiga unsur tadi, Plato membagi manusia menjadi tiga golongan. Pertama, manusia yang didominasi oleh rasio yang hasrat utamanya adalah meraih pengetahuan. Kedua, manusia yang didominasi oleh ruh yang hasrat utamanya adalah meraih reputasi. Ketiga, manusia yang didominasi oleh nafsu yang hasrat utamanya adalah meraih materi. Tugas rasio (logika) adalah mengontrol roh dan nafsu. Dari sinilah sebenarnya genealogi sekulerisasi epistemologi dimulai yang kelak melahirkan peradaban Barat.

 

Epistemologi Barat yang  sekuleristik dan ateisitik telah melahirkan manusia-manusia jahat, rakus dan  perusak demi memenuhi kehausan duniawi dan kekuasaan. Hasilnya adalah sebuah peradaban anti Tuhan yang lebih mengedepankan kebebasan tanpa batas di semua bidang kehidupan. Sains dan teknologi ala Barat sekuler hanya berorientasi materialisme dan mengabaikan nilai dan moral. Dari paradigma sains sekuler inilah awal dari kerusakan bumi dengan  sumber daya alamnya hingga kerusakan manusia dengan pemikiran, jiwa dan perilakunya. Allah dengan tegas telah memberikan ilustrasi fakta ini dalam surat ar Ruum : 41, “ telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

 

Jika orang-orang Barat yang sekuleristik dan ateistik merusak bumi, itu lumrah adanya, memang sudah dari sononya. Ironisnya adalah jika kaum muslimin yang secara normatif  telah memiliki basis teologis kuat, justru ikut terjerembab dalam kubangan pemikiran sekuleristik ini. Pengaruh sekulerisme terhadap umat Islam telah melahirkan dua tipologi utama di kalangan umat Islam hari ini dalam memahami dan mengekspresikan  Islam. 

 

Zakiah Daradjat sebagai seorang ilmuwan muslim yang memiliki spesialisasi masalah kejiwaan manusia, mengawali pemikiran pendidikannya dengan menelaah secara mendalam hakekat manusia sebagai obyek pendidikan. Sebab baginya, manusia adalah muara dari proses pendidikan, yakni membentuk manusia yang seutuhnya. Zakiah Daradjat sangat menyadari bahwa manusia memiliki berbagai aspek atau dimensi yang secara keseluruhan harus menjadi obyek penyelenggaraan  pendidikan, baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat. Membicarakan manusia dalam perspektif pendidikan berarti membicarakan manusia secara utuh menyeluruh tidak secara parsial dan terpisah-pisah.

 

Bila membicarakan tentang pembentukan manusia di Indonesia seutuhnya, maka seharusnya membentuk  manusia dari berbagai aspek atau dimensi yang dimiliki manusia itu sendiri, tidak boleh ada yang diabaikan atau ditinggalkan dan juga sebaliknya tidak boleh ada yang terlalu diunggulkan dan disanjung tinggi. Intinya tidak ada dimensi yang dilupakan. Keberhasilan pendidikan bisa  diukur apakah pendidikan itu telah menyentuh semua dimensi manusia atau belum.

 

Allah tidak memisahkan antara satu dimensi dengan dimensi yang lain pada diri manusia. Tidak  ada dimensi tubuh yang terbebas dari dimensi kejiwaan, akal dan ruh. Jika Allah memanggil manusia, maka yang dimaksud adalah manusia dari semua dimensinya, fisik, akal dan ruhnya sekaligus. Setiap dimensi mesti mendapat perlakukan pendidikan yang khusus namun tidak memisahkan dengan dimensi lainnya. Karena itu sistem pendidikan Islam akan membentuk pola pikir dan pola sikap islami bagi guru dan muridnya.

 

Konsepsi manusia yang utuh dengan berbagai dimensi yang menjadi satu dalam diri manusia sebagai obyek pendidikan sejalan dengan pendapat Al Faruqi yang mengungkapkan bahwa manusia merupakan kajian yang paling menarik dalam pendidikan, sebab manusia merupakan mahakarya Allah SWT terbesar.

 

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan dan menjadi sejarah dan ia makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan. Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan raga dalam hubungan timbal balik dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya dan dengan manusia lainnya.

 

Dengan kesejatian inilah manusia menunaikan baktinya kepada Allah sebagaimana fitrahnya. Al Qur'an telah banyak mengungkapkan tentang apa dan siapa manusia sebenarnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Ar Ruum : 30).  

 

Karena itu peta jalan pendidikan Islam setidaknya mencakup tiga dimensi yang mesti dicapai. Pertama, dimensi kehambaan (QS Adz Dzariyat : 56), yakni bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mewujudkan hamba-hamba Allah yang selalu taat dan terikat dengan hukum Allah dengan penuh keimanan.

 

Kedua, dimensi intelektual (QS Ali Imran : 110), yakni pendidikan Islam hendak mewujudkan para ulama atau ilmuwan yang beriman yang dengan  ilmunya dijadikan bekal untuk berdakwah dan berkarya membangun peradaban mulia. Muslim adalah umat terbaik yang lahirkan untuk manusia.

 

Ketiga, dimensi kekhalifahan (QS Al Anbiyaa : 107), yakni bahwa pendidikan Islam sebagai refleksi amanah kekhalifahan (kepemimpinan peradaban)  seorang muslim di bumi yang harus menata dan memelihara bumi berdasarkan syariah Allah untuk mewujudkan misi menebar rahmat bagi alam semesta.

 

Dari tiga dimensi inilah yang kemudian dirumuskan menjadi peta jalan pendidikan Islam yang mencakup delapan aspek sistem pendidikan Islam yakni visi, misi, tujuan, kurikulum, guru, siswa, pembiayaan, sarpras dan metode pendidikan yang kesemuanya didasarkan oleh paradigma Islam. Islam tidaklah sebatas akhlak mulia, melainkan juga mencakup aqidah dan syariahnya. Sistem pendidikan Islam pada masa keemasan Islam bisa dijadikan inspirasi dan aspirasi bagi konstruksi sistem pendidikan Islam masa modern ini.  

 

Sementara konsepsi kehidupan kapitalisme bersifat sekuleristik, dimana kehendak Tuhan tidak dilekatkan dalam mengatur kehidupan. Sementara komunisme berpaham ateistik dimana eksistensi Tuhan tidak diakui. Paham kehidupan komunisme didasarkan oleh dialektika materialisme, dimana segala sesuai berasal dari materi dan akan kembali menjadi materi melalui sebuah proses yang disebut evolusi materi.

 

Karena itu membangun Indonesia yang adil dan beradab yang akan melahirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus didasarkan oleh paradigma Islam ini. Sebab kata adab, beradab dan peradaban berasal dari akar kaya yang sama yakni kemuliaan pola pikir dan pola sikap berlandaskan tauhid. Masyarakat beradab adalah masyarakat yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Kecanggihan teknologi bagi masyarakat beradab akan menambah kemajuan dan keberkahan kehidupan, bukan malah menjadi malapetaka.

 

(AhmadSastra, KotaHujan, 21/06/24 : 12.47 WIB)

 

 


__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories