Oleh : Ahmad
Sastra
Paham moderasi
beragama adalah isme yang sangat membahayakan aqidah umat Islam. Paham moderasi
beragama tidak dikenal dalam khasanah Islam. Paham moderasi beragama dengan
dalih toleransi atas fakta pluralitas telah hanyalah kedok, sebab pada faktanya
paham ini cenderung berpaham pluralisme.
Pluralisme
mengajarkan bahwa semua agama sama benarnya dan sama-sama akan masuk surga. Jika
hal ini terus digencarkan, utamakan kepada anak-anak, maka akan mengancam
aqidahnya. Dimulai dengan sesat pikir bahwa semua agama sama benarnya, maka
akan dengan ringan pindah agama (murtad) karena menganggap semua agama adalah
benar dan baik yang akan mengantarkan kepada surga. Inilah bahaya dibalik
propaganda paham moerasi beragama.
Untuk memberikan
pemahaman moderasi beragama dengan kedok toleransi dan keragaman, bisa jadi aka
nada program kunjungan anak-anak sekolah ke tempat ibadah agama lain untuk ikut
serta mengikuti tata cara ibadah agama lain. Anak-anak sekolah dasar tidak akan
memahami maksud program ini, namun dalam pikirannya akan tertanam bahwa semua
agama mengajarkan kebaikan.
Jika paham pluralisme
telah tertanam dalam pikiran mereka, maka cara pandang terhadap aqidah Islampun
akan pudar. Pluralisme akan menjadikan pencampuradukan antara Islam dengan
ajaran agama lain. Padahal Islam dengan tegas melarang mencampur aduk antara
yang haq dan yang batil. Allah berfirman : Dan janganlah kamu campur adukkan
yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang
kamu mengetahui (QS Al Baqarah : 42)
Islam sebagai
agama tauhid yang memiliki misi utama mentauhidkan masyarakat tidak pernah
berubah sedikitpun meski dibawa oleh Nabi yang berbeda-beda, sejak Nabi Adam
as. hingga Rasulullah SAW. Dengan demikian, tauhid adalah inti dakwah para Nabi
utusan Allah. Ajaran tauhid inilah yang akan melahirkan keimanan yang murni dan
ketaqwaan yang kaffah, tidak bercampur dengan aqidah agama lainnya.
Hal ini
ditegaskan oleh Allah dalam firmannya : Dan Kami tidak mengutus seorang
Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku" (QS Al Anbiyaa : 25).
Allah menegaskan
bahwa misi tauhid yang dibawa oleh Nabi Nuh termaktub dalam QS. Al A’raf : 59).
Sementara misi tauhid yang dibawa oleh Nabi Hud terdapat pada QS. Al A’raf :
65). Begitupun Nabi Shalih menyerukan tauhid tertulis dalam QS.Al A’raf : 73.
Sementara misi tauhid yang diajarkan Nabi Syu’aib ditegaskan dalam QS. Al A’raf
: 85. Sedangkan misi tauhid yang dibawa Nabi Musa tertera dalam QS. Al A’raf :
127. Seruan tauhid Nabi Isa termaktub di QS. Al Maidah : 177, seruan tauhid
Nabi Ibrahim di QS. Al Ankabut : 16 dan seruan tauhid Rasulullah Muhammad SAW
tertulis di QS Az Zumar : 11).
Misi tauhid
sejalan dengan tujuan Allah menciptakan manusia, yakni agar menjadi hamba-hamba
Allah yang hanya menyembah Allah (QS Adz Dzariyat : 56), dimana keseluruhan aktivitas
hidup hingga kematian tiba semata lillah karena Allah SWT (QS. Al An’am : 162).
Penyimpangan utama ajaran tauhid adalah berbagai bentuk kemusyrikan dari zaman
ke zaman. Karenanya, Allah sangat mengharamkan kemusyrikan dan tak akan
mengampuni dosanya (QS An Nisa’ : 48) dan di akhirat tak akan bisa masuk surga
(QS Al Kahfi : 110).
Seruan dakwah
tauhid yang dilakukan pada Nabi dalam sejarahnya tetap menyisakan kaum yang
menyimpang karena tidak mendapatkan petunjuk dari Allah. Hal ini ditegaskan
Allah dalam QS An Nahl : 36 : Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk
oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan
baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
Kemusyrikan
modern yang kini tengah menyerang tauhid umat Islam, sebagaimana terjadi sejak
dulu hanyalah sebuah kelanjutan masa lalu. Semisal paham pluralisme hanyalah
sebuah transformasi bahasa, sementara secara substansial adalah kemusyrikan.
Paham pluralisme sebagaimana telah dinyatakan haram oleh fatwa MUI 2005 adalah
paham yang mencampur aduk haq dan batil dengan menyatakan bahwa semua agama
sama yang membawa kebenaran dan kebaikan. Secara genealogis, paham pluralisme
ini berasal dari luar ajaran Islam. Paham pluralisme teologis yang diserukan
kaum kafir Quraisy dengan tegas dibantah oleh Rasulullah melalui firman Allah
QS Al Kafirun : 1 -6.
Katakanlah:
"Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembahdan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".
Tujuan utama kaum
kafir Quraisy saat itu adalah untuk mencoba menghentikan dakwah tauhid yang
diserukan Rasulullah SAW dengan cara yang halus, yakni mencoba mengkompromikan
dan mencampuradukkan ajaran-ajaran jahiliyah saat itu dengan ajaran Islam.
Upaya ini akan terus dilakukan hingga zaman dimana kita hidup hari ini, yang
berbeda hanya perubahan bahasa yang digunakan dan orang yang mempropagandakan.
Salah satu
kebenaran Islam justru ditunjukkan melalui berbagai istilah-istilah yang khas
dengan makna yang khas pula. Berbagai istilah
khas Islam misalnya kata kaffah, rahmatan lil’alamin dan washatiyah. Ketiganya
memiliki pengertian khas yang sahih karena berasal dari Allah langsung.
Sementara istilah moderasi, sekulerisme, pluralisme dan radikalisme adalah
istilah yang berasal dari epistemologi Barat.
Bahkan Barat yang
tidak suka dengan Islam menginginkan keterpecahan kaum muslimin dengan strategi
adu domba. Barat menginginkan polarisasi muslim dengan memberikan lebel dan
kampling-kapling Islam sehingga menimbulkan berbagai friksi intelektual hingga
fisik sesama muslim. Upaya-upaya semacam ini sesungguhnya hanyalah pengulangan
sejarah semata. Karena itu umat Islam harus cerdas dan mampu membaca dengan
cepat dan tepat.
Beberapa postulat
berikut merupakan ‘Islam’ buatan Barat yang dibangun oleh epistemologi Barat
dan tentu tidak ditemukan dalam ajaran Islam. Diantara ‘Islam’ buatan Barat itu
adalah : Islam moderat, Islam radikal, Islam Fundamentalis, Islam Nusantara, Islam
progresif, Islam Liberal, Islam sekuler, Islam demokratis, Islam sosialis,
Islam teroris, Islam tradisional dan
Islam modern yang yang kini sedang dipropagandakan adalah istilah
moderasi beragama. Ragam Islam inilah hasil dari gerakan imperialisme
epistemologi [ghozwul fikr] Barat ke dunia Islam.
Jika dalam kajian
gender, Barat meluncurkan narasi pengarusutamaan gender dengan tujuan
liberalisasi sosiologis. Sedangkan dalam bidang agama, memunculkan narasi
pengarusutamaan moderasi agama dengan tujuan mengaburkan hakekat Islam,
mencampur aduk kebenaran Islam dengan agama lain, mengkerdilkan ajaran Islam,
mendegradasi aqidah umat Islam dan melumpuhkan dakwah tauhid serta menghadang
kebangkitan Islam. Narasi moderasi agama adalah indikasi kecil dari
islamophobia.
Narasi moderasi
beragama jika ditilik lebih dalam adalah bagian dari proyek deradikalisasi.
Peristiwa runtuhnya WTC di New York City Amerika pada 11 September 2001 pukul
08.45 karena ditabrak pesawat American Airlines Boing 767 yang konon merupakan rekayasa selalu dijadikan argumen
program deradikalisasi. Pasca runtuhnya WTC, presiden Amerika menyerukan :
bersama Amerika atau bersama teroris. Program war on terrorism dan dilanjutkan
dengan war on radicalism tak lebih dari upaya serangan terhadap Islam itu
sendiri. Dari sinilah program moderasi beragama bisa ditemukan jejak historis,
politis dan ideologis. Siapa yang mendanai proyek deradikalisasi ini ?.
Genealogi perang pemikiran ini telah berlangsung
sekitar 3 abad hingga hari ini. Perang asimetrsi ini terbukti efektif, buktinya
banyak kalangan intelektual muslim yang terpapar sekulerisme, liberalisme dan
pluralisme. Ketiga paham ini adalah produk epistemologi barat untuk
mendekonstruksi ajaran Islam. Itulah mengapa tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa
haram atas ketiga paham di atas. Secara epistemologi, Islam adalah kebenaran,
sedangkan moderasi agama (beragama) adalah kekacauan berfikir.
Karena itu
tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat, sementara
propaganda moderasi agama adalah racun aqidah. Istilah washatiyah berasal dari
Al Qur’an, sementara istilah moderat berasal dari epistemologi Barat. Meskipun
banyak cendekiawan muslim memaksakan diri untuk menyamakannya. Menyamakan
keduanya akan melahirkan epistemologi oplosan yang menyesatkan umat.
Pengarusutamaan moderasi agama adalah sia-sia karena merupakan produk gagal
paham, dan karenanya pasti akan gagal pula, setidaknya umat tidak boleh diam,
terus bersuara untuk membungkam sesat pikir ini.
Tanpa diberikan
embel-embel moderat, Islam adalah agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil
dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Tanpa ada narasi moderasi beragama,
Islam adalah agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk
agama lain. Hanya paham demokrasi sekuler yang diterapkan saat inilah yang
justru menuduh Islam sebagai agama radikal dan anti keragaman. Islam memberikan
ruang pengakuan atas fakta pluralitas sosiologis, namun tidak dengan pluralisme
teologis.
Toleransi seagama
[tasamuh] sejak awal dibangun oleh Rasulullah, Sahabat, tabiin, atba tabiin,
imam mujtahid dan kekhilafahan. Toleransi antaragama dalam Islam terbangun
indah saat, di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen
hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Di India sepanjang kekuasaan Bani
Ummayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, muslim dan hindu hidup rukun selama ratusan
tahun. Di Mesir umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak
khulafaur Rasyidin.
Secara etimologi,
makna al wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya
sebanding, pertengahan [Mufradat al Fazh Al Qur’an, Raghib Al Isfahani jil II
entri w-s-th]. Bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih.
Karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau : tengah kota [At Tahrir
wa At Tanwir jil II hal 17].
Umat wasath yang
dimaksud adalah umat terbaik dan terpilih
karena mendapatkan petunjuk dari Allah. Jalan lurus dalam surat al
Fatihah adalah jalan tengah diantara jalan orang yang dibenci [yahudi] dan
jalan orang sesat [nasrani] [Tafsir Al Manar jil. II hal 4]. Karakter umat
washtiyah ada empat : Umat yang adil, Umat pilihan [QS Ali Imran : 110],
Terbaik dan Pertengahan antara ifrath [berlebihan] dan tafrith
[mengurangi] [Tafsir Al Rari, jil. II hal 389-390]. Makna washatiyah dalam
perspektif tafsir ini tidak sama dengan makna moderat atau moderasi yang kini
terus dipropagandakan.
Ironisnya,
propaganda narasi beragama itu cenderung menyasar agama Islam, bukan agama
lainnya. Indikator yang terus dipropagandakan terkait narasi moderasi beragama
adalah soal komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan atas
tradisi. Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai negara karena Allah dengan
cara mengelola berdasarkan hukum yang telah Allah turunkan. Islam jelas
melarang umatnya untuk berhukum kepada selain hukum Allah. Hal ini merupakan
persoalan fundamental dalam ajaran Islam, sebab terkait dengan keimanan dan
kekafiran, keadilan dan kezaliman, serta komitmen dan kefasikan. (lihat QS. Al
Maidah :44, 45 dan 47, QS Al An’am : 57
dan121, QS At Taubah : 31, QS Yusuf : 40, QS Asy Syura : 21).
Di awal tulisan
juga sudah ditegaskan bahwa Islam adalah agama yang justru paling toleran atas
keragaman sosial maupun agama sekalipun. Namun Islam jelas mengharamkan
toleransi yang digagas Barat yang berpaham pluralisme. Islam juga merupakan
agama perdamaian yang disebarkan dengan penuh kasih sayang dan kelemahlembutan,
Islam melarang kekerasan dan pemaksaan (lihat QS Al Baqarah : 256). Dalam
dakwah mewujudkan perubahan, Islam juga melarang penggunaan berbagai cara
kekerasan.
Sementara soal
tradisi, Islam bisa menerima seluruh tradisi masa lalu yang tidak bertentangan dengan
aqidah, sementara tradisi agama lain dibiarkan dilakukan oleh pemeluknya,
sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Dengan demikian, jika moderasi agama
ditujukan kepada Islam, selain salah alamat juga gagal paham atas ajaran Islam
itu sendiri.
Islam adalah
agama yang penerapan hukumnya dilakukan dengan adil dan damai, tidak menzalimi
dan juga tidak mencederai masyarakat. Islam dengan tegas juga meluruskan
berbagai hukum yang tidak adil di tengah-tengah masyarakat. Islam memandang
ayat suci diatas konstitusi, oleh sebab itu Islam senantiasa memiliki peran
dalam memperbaiki suatu bangsa dengan perbaikan hukum dan konstitusi yang lebih
baik. Sebab, Islam anti kezaliman, penjajahan, kebodohan, kerusakan dan
kemungkaran.
Islam sejatinya
adalah agama sempurna yang tidak memerlukan lagi intervensi paham dari luar
dirinya. Islam jika diterapkan secara kaffah akan mewujudkan kebaikan manusia
seluruhnya (rahmatan lil’alamin). Islam juga akan mampu mewujudkan peradaban
mulia sebagaimana telah terjadi di zaman keemasan. Muslim sebagai umat
wasatiyah akan menjadi rakyat yang adil dan pilihan serta saksi kebenaran.
Islam adalah
agama damai dan mendamaikan serta sangat memahami keragaman sosiologis maupun
teologis untuk tetap hidup berdampingan. Islam sebagai agama anti penjajahan
juga terbukti paling berkomitmen membela negara dari segala bentuk penjajahan.
Dengan begitu, maka Islam tidak membutuhkan paham moderasi agama yang justru
kontraproduktif dengan Islam.
Paradigma
moderasi beragama yang memiliki prinsip jalan tengah (moderat), berpaham
sekulerisme dan pluralisme, mencampur aduk agama dan tradisi yang batil,
memberikan ruang bagi penodaan agama dan melakukan tuduhan-tuduhan tendensius
atas Islam serta merebaknya islamophobia adalah sebuah kesesatan yang wajib
ditolak oleh umat Islam.
Islam adalah
agama sempurna yang melahirkan cara pandang dan sikap individu sebagai pribadi
mulia yang senantiasa menebarkan kebaikan dan perdamaian bagi sesama. Sementara
jika diterapkan oleh negara, Islam akan menebarkan rahmat bagi seluruh manusia
dan alam semesta. Namun ironisnya, propaganda moderasi beragama justru
bermaksud menghalangi penerapan Islam secara kaffah dalam negara. Moderasi
beragama hanyalah kedok untuk terus melanggengkan penerapan demokrasi, nasionalisme,
sekulerisme, kapitalisme, liberalisme dan pluralisme yang merupakan paham-paham
dari penjajah Barat atas negeri-negeri muslim.
Indonesia memang
negara yang memiliki keragaman budaya dan agama, bahkan memiliki kekayaan alam
yang luar biasa. Namun sayangnya, oleh para penjajah, sumber daya alam ini
telah dirampok habis-habisan. Hanya Islam agama yang terbukti anti penjajah.
Namun para penjajah justru melumpuhkan semangat perjuangan umat Islam ini
dengan racun aqidah yang bernama moderasi beragama.
Propaganda ini
telah masuk ke berbagai lembaga pendidikan dengan menerbitkan berbagai modul
bertopeng perdamaian antar anak bangsa, padahal sejatinya pelumpuhan Islam.
Namun ironisnya, banyak dari kalangan muslim yang justru ikut mempropagandakan
produk pemikiran penjajah ini. Muslim yang menolak paham moderatisme ini akan
dituduh radikal, sebagaimana dahulu penjajah menuduh para ulama yang melawan
penjajah sebagai ekstrimis.
Karena itu
penting memberikan pencerahan kepada umat tentang bahaya imperialisme
epistemologi Barat ini dengan cara
membentengi umat dari narasi moderasi beragama dengan menjelaskan kebatilan dan
kerusakannya. Umat Islam harus diberikan penjelasan tentang hakekat Islam yang sebenarnya sesuai dengan al-Qur’an dan
al-Hadits dan menjelaskan berbagai kesesatan isme-isme yang dipropagandakan
Barat kafir. Umat Islam terkhusus para pendakwah dan ulama harus terus
bersuara, tidak boleh diam menyembunyikan kebenaran Islam dan kesesatan kaum
kafir.
Narasi moderasi
beragama selain sebagai sesat fikir karena cacat epistemologi, juga akan
melumpuhkan ideologi Islam yang membawa kebangkitan kaum muslimin.
Pengarusutamaan moderasi beragama adalah upaya menarik pluralitas sosiologis
menuju pluralisme teologis atas nama keragaman dan toleransi. Bahkan lebih dari
ada tujuan yang lebih besar lagi yakni melanggengkan penjajahan di
negeri-negeri muslim. Moderasi agama atau beragama dengan demikian, bukan hanya
soal propaganda teologis yang mengancam aqidah umat Islam, namun juga membawa kepentingan politik
neoimperialisme. Karena itu narasi moderasi agama yang dikaitkan dengan narasi
radikalisme adalah upaya menyerang Islam, maka waspadalah.
Akhirnya, penting
ditegaskan bahwa Islam adalah manhaj kehidupan holistik bagi kebaikan manusia
seluruhnya sebab ia berasal dari sang Pencipta manusia. Islam adalah manhaj
kehidupan yang realistik, dengan berbagai susunan, sistematika, kondisi, nilai,
akhlak, moralitas, ritual dan begitu juga atribut syiarnya. Ini semuanya
menuntut risalah ini ditopang oleh individu yang bertaqwa serta kekuatan
institusi yang dapat merealisasikannya secara komprehensif di seluruh aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, maka dakwah Islam ke seluruh
penjuru dunia akan berjalan, persatuan umat Islam akan terwujud serta penerapan
Islam kaffah akan menjadi kenyataan.
(AhmadSastra,KotaHujan,04/05/24
: 21.28 WIB)