Oleh : Ahmad
Sastra
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya
Allah sangat cepat hisab-Nya (QS Ali Imran : 19)
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al Baqarah : 120)
Istilah Ghazwul
fikri adalah istilah yang merujuk pada upaya non-militer dari kekuatan asing
untuk mempengaruhi dan mendominasi masyarakat Muslim melalui cara-cara kultural
dan intelektual. Ghazwul fikri termasuk perang asimetris karena tidak
menggunakan senjata, namun menggunakan racun-racun pemikiran.
Ghazwul fikri
lebih berbahaya dibandingkan perang militer. Sebab perang pemikiran bisa
mematikan akiqah umat Islam. Tidak salah jika Sayyid Qutb pernah berujar bahwa
satu peluru bisa menembus satu orang, sementara pena atau pemikiran bisa
menembus ribuan kepala.
Jika muslim
meninggal saat jihad, maka menjadi syahid dan dijanjikan surga. Sementara jika
mati akidahnya gegara perang pemikiran, maka seorang muslim bisa menjadi kafir
dan karenanya mendapatkan balasan neraka. Namun demikian, masih banyak umat
Islam yang tidak menyadari bahaya perang pemikiran ini. Bahkan yang ironis,
banyak dari kaum intelektual muslim yang justru menjadi agen ghazwul fikri dan
menjadi antek intelektual barat.
Ghazwul fikri
juga disebut dengan istilah imperialism epistemologis atau perang istilah. Ini
telah menjadi subjek perdebatan dan reaksi yang signifikan di dunia Muslim,
dengan berbagai gerakan kebangkitan Islam berusaha untuk melawan pengaruh ini
dan memperkuat identitas dan nilai-nilai Islam. Perang pemikiran ini tujuan
utamanya adalah melenyapkan cahaya Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah : Mereka
ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sementara Allah enggan
selain menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir tidak suka (QS
at-Taubah [9]: 32).
Perang Istilah
telah digunakan oleh musuh-musuh Islam sejak awal perjuangan Nabi saw. di
Makkah. Kaum Quraisy di Makkah telah menyerang Nabi saw. dengan amunisi dari
senjata Perang Istilah ini. Mereka mempropgandakan bahwa Muhammad adalah tukang
sihir, dukun bahkan gila. Begitu halnya orang-orang Yahudi di Madinah. Mereka
mengambil celah dari istilah “ra’ina” yang digunakan oleh kaum Muslim ketika
memohon perhatian Nabi saw. Lalu Allah SWT ‘turun tangan’ memberikan arahan
kepada kaum Muslim agar tidak lagi menggunakan istilah “ra’ina” meski makna asalnya
tidak mengandung makna negatif sedikitpun.
Allah SWT
berfirman :Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian berkata (kepada
Muhammad), “Ra’ina,” tetapi katakanlah, “Unzhurna,” dan “dengarlah”. Bagi kaum
kafir itu siksaan yang pedih (QS al-Baqarah [2]: 104).
Perang pemikiran
atau perang istilah diagendakan barat dengan cata melakukan distorsi terhadap
istilah-istilah yang memiliki makna khas, definitif dan esensial di dalam
Islam. Istilah-istilah tersebut mereka distorsikan. Sebagai gantinya, mereka
memberikan gambaran yang berbeda dengan hakikat yang sebenarnya. Tujuannya, agar
siapa saja yang mendengar merasa jengah, benci atau terpalingkan dari makna
yang sesungguhnya.
Istilah jihad dan
khilafah adalah contoh paling tampak. Jihad, misalnya, mereka maknai sebagai
aksi bar-bar. Jihad selalu mereka kait-kaitkan dengan aksi terorisme.
Akibatnya, sebagian umat Islam pun—apalagi umat lain—ketika mendengar istilah
jihad, yang terbayang di benak mereka bukan sebuah hakikat yang diinginkan oleh
Islam, melainkan makna hasil distorsi di atas. Melalui agen-agen intelektualnya
di negeri-negeri Muslim, Barat juga mempropagandakan bahwa jihad adalah perang
melawan kemiskinan, korupsi, ketidakadilan dan semacamnya. Sempurna sudah upaya
distorsi oleh Barat terhadap jihad ini.
Ghazwul fikri
juga dilakukan dengan mengganti istilah dengan sebutan-sebutan yang bagus dan
memikat. Istilah riba, yang pelakunya diancam kekal di neraka oleh Allah,
diganti dengan “bunga”, atau dalam bahasa Arab, “fa’idah”. Istilah pezina
diganti dengan istilah PSK (pekerja seks komersial), zina disebut kebebasan. Muncul
juga istilah moderat, radikal, moderasi beragama adalah contoh-contoh ghazwul fikri
yang dipropagandakan barat di dunia Islam. Menterjemahkan istilah wasathiyyah
dengan istilah moderat adalah bagian dari ghazwul fikri yang telah terbukti
melumpuhkan pikiran umat Islam.
Dalam perspektif
kekinian, ghazwul fikri ini dimulai karena adanya kolonialisme dan Imperialisme
Barat sejak abad ke-18 dan ke-19, banyak negara Muslim jatuh di bawah kontrol
kolonial kekuatan Barat seperti Inggris, Prancis, dan Belanda. Selain
penguasaan militer dan ekonomi, kolonialisasi juga membawa serta upaya untuk
mempengaruhi budaya, pendidikan, dan sistem sosial di negara-negara tersebut.
Penjajah Barat
sering kali mendirikan sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai dan
pandangan dunia Barat. Bahasa, literatur, dan ilmu pengetahuan diperkenalkan
dalam kerangka Barat, menggeser nilai-nilai dan pengetahuan tradisional Islam. Banyak
elit lokal yang terdidik dalam sistem Barat mulai mengadopsi ide-ide
modernisasi dan sekularisasi. Ini menyebabkan perubahan signifikan dalam
struktur sosial dan politik, mengurangi pengaruh tradisional ulama dan
institusi Islam. Dengan berkembangnya media massa, termasuk surat kabar, radio,
dan televisi, ide-ide dan budaya Barat semakin mudah diakses dan diterima oleh
masyarakat Muslim.
Adalah penting
dan wajib bagi umat Islam memahami perang pemikiran dan bahayanya, jika tidak
ingin umat Islam hilang dari dunia ini dan tak lagi memiliki peradaban. Banyak buku-buku
yang bisa dibaca oleh kaum muslimin untuk lebih mendalami ghazwul fikri ini. Di
antara buku-buku itu adalah :
Ghaza Watul
Fikri, ditulis oleh Muhammad Qutb. Buku
ini merupakan salah satu karya terkenal tentang serangan pemikiran. Muhammad
Qutb, saudara Sayyid Qutb, membahas bagaimana berbagai ideologi Barat mencoba
mempengaruhi dan merusak identitas serta nilai-nilai Islam.
Al-Ghazwul Fikri :
Mafhumuhu, Wasailuhu, Audhafuhu ditulis oleh Abdullah Nasih Ulwan Dalam buku
ini, Abdullah Nasih Ulwan menjelaskan konsep ghozwul fikri secara mendalam,
termasuk cara-cara yang digunakan untuk menyebarkan ideologi asing dan
bagaimana umat Islam dapat menghadapi tantangan ini.
Ghazwul Fikri :
Perang Pemikiran dalam Perspektif Islam ditulis oleh Abdul Wahid Hamid. Buku ini memberikan pandangan yang
komprehensif mengenai bagaimana serangan pemikiran terjadi dan langkah-langkah
yang dapat diambil oleh umat Islam untuk mempertahankan keutuhan aqidah mereka.
Western Muslims
and the Future of Islam, karya Tariq Ramadan. Meskipun tidak secara eksplisit
membahas ghozwul fikri, buku ini penting untuk memahami dinamika pemikiran
Islam dalam konteks Barat dan bagaimana Muslim dapat mempertahankan identitas
mereka di tengah pengaruh budaya yang berbeda.
Islam and
Secularism, karya fenomenal Syed Muhammad Naquib al-Attas. Buku ini
mendiskusikan bagaimana sekularisme, sebagai salah satu bentuk pemikiran Barat,
mempengaruhi dunia Islam dan menawarkan solusi untuk menjaga integritas
pemikiran Islam.
The Road to
Mecca, karya Muhammad Asad. Sebagai autobiografi, buku ini memberikan wawasan
tentang perjalanan intelektual Muhammad Asad dan pemahamannya tentang tantangan
yang dihadapi umat Islam dalam konteks modern.
Ghazwul Fikri :
Mengungkap Konspirasi Pemikiran dalam Islam, karya cendekiawan muslim Adian
Husaini. Adian Husaini adalah seorang pemikir Islam kontemporer Indonesia yang
banyak membahas tentang tantangan ideologi dan pemikiran terhadap Islam. Dalam
buku ini, ia mengulas berbagai bentuk serangan pemikiran yang dihadapi umat
Islam dan bagaimana mereka dapat menanganinya.
Mewaspadai
Ghozwul Fikri : Perang Pemikiran Umat Islam, karya Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi. Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi, seorang akademisi dan peneliti Islam, membahas secara
mendalam tentang serangan pemikiran yang mengancam umat Islam dan memberikan
panduan bagaimana mempertahankan keutuhan iman dan nilai-nilai Islam di tengah
serangan tersebut.
Perang Pemikiran
dalam Perspektif Islam, ditulis oleh Muhammad Syafii Antonio. Buku ini mengulas
tentang bagaimana serangan pemikiran dari Barat dan ideologi asing mempengaruhi
umat Islam. Muhammad Syafii Antonio, seorang ekonom dan cendekiawan Muslim,
memberikan perspektif yang komprehensif mengenai cara-cara menghadapi tantangan
ini.
Serangan Pemikiran
dalam Dunia Islam, karya Ridwan Saidi. Ridwan Saidi, seorang sejarawan dan
penulis, mengupas sejarah serta perkembangan serangan pemikiran terhadap dunia
Islam. Buku ini memberikan konteks historis dan analisis kontemporer mengenai
fenomena ghozwul fikri.
Pemikiran Islam dan
Tantangan Globalisasi, karya Prof. Dr. M. Amien Rais. Meskipun buku ini tidak secara eksplisit
membahas ghozwul fikri, Dr. M. Amien Rais, seorang tokoh intelektual dan
politik Indonesia, menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana globalisasi
mempengaruhi pemikiran dan budaya Islam serta bagaimana umat Islam dapat
merespons tantangan ini.
Islam Liberal :
Sejarah, Konsep, dan Pengaruhnya di Indonesia, karya Dr. Adnin Armas. Buku ini mengkaji pengaruh pemikiran Islam
liberal di Indonesia, yang sering dianggap sebagai bagian dari serangan
pemikiran terhadap Islam ortodoks. Dr. Adnin Armas memberikan pandangan kritis
terhadap fenomena ini dan menawarkan solusi untuk menjaga keutuhan aqidah Islam.
Filosofi
Pendidikan Islam : Memahami Epistemologi Islam, Menggugat Filsafat Barat, karya
Dr. Ahmad Sastra. Penulis memberikan gambaran cukup lengkap tentang desrkripsi
dan bahaya isme-isme yang melanda umat Islam, khususnya para intelektual
muslim. Dalam buku ini dikupas paham-paham seperti sekulerisme, liberalisme, pluralism,
kapitalisme, nasionalisme, sinkretisme, komunisme, feminisme, pragmatisme, hedonisme,
dan lain-lain.
Untuk itu wajib
bagi umat Islam untuk berjuang dalam ranah pemikiran ini. Sebab jika strategi perang asimetris ini tidak dipahami oleh kaum Muslim; tidak
disadari bahaya dan akibatnya—dapat dipastikan akan mengantarkan distorsi
terhadap berbagai hakikat syar’iyyah di benak kaum Muslim dan berdampak besar
di dalam kehidupan riil mereka. Akibatnya, yang batil dianggap sebagai haq,
yang haq dianggap batil; haram dianggap halal, halal bahkan wajib dianggap
sebagai keharaman; mungkar dianggap makruf, makruf bahkan fardhu dianggap
mungkar; mufsid (perusak) dianggap mushlih (pembawa perbaikan), dan seterusnya.
Semua itu akan membuka pintu-pintu keburukan yang merajalela dan tidak akan
dapat diatasi kecuali dengan usaha yang terus-menerus dan upaya yang berlipat
ganda.
Selain itu, di
antara bahaya besar akibat Perang Istilah ini adalah semakin kokohnya
penjajahan Barat atas negeri-negeri kaum Muslim. Umat Islam semakin jauh dari
Islam. Sekularisme semakin mengakar. Dakwah demi tegaknya Khilafah semakin
berat. Kriminalisasi terhadap ajaran Islam dan kriminalisasi terhadap para aktivis
dan pejuang Islam akan semakin menjadi-jadi, bahkan legal.
Walhasil, umat
Islam harus selalu waspada dan jeli ketika menjumpai istilah-istilah baru.
Hendaklah mereka ber-iltizam (berpegang teguh) pada istilah-istilah syar’i.
Umat Islam harus selalu waspada terhadap racun-racun istilah yang ditebar oleh
media massa yang tampak manis bagai madu. Khusus para ulama dan intelektual
Muslim yang mukhlis, hendaklah mereka berjuang keras membongkar agenda Barat
dan antek-anteknya melalui Perang Istilah ini. Pada saat yang sama, umat Islam
wajib terus membekali diri dengan tsaqafah Islam yang kaffah, disertai dengan
al-wa’y as-siyasi al-islamy (kesadaran politik Islam) yang memadai.
(AhmadSastra,KotaHujan,
15/05/24 : 10.20 WIB)