DOA MINTA JABATAN, SUNGGUH TERLALU - Ahmad Sastra.com

Breaking

Rabu, 15 Mei 2024

DOA MINTA JABATAN, SUNGGUH TERLALU



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Belum usai ingatan rakyat soal dugaan kecurangan pilpres 2024 yang berakhir pada keputusan MK, kini muncul isu soal bagi-bagi kursi kabinet. Tak tanggung-tanggung, kabarnya akan ditambahkan lagi kementerian dengan alasan untuk mengakomodir kompleksitas permasalahan negeri ini. Belum tuntas diskusi soal politik dagang sapi, dunia politik dihebohkan oleh doa minta jatah kursi. Dagelan apa lagi ini ?.

 

Islam memang mengajarkan hambaNya untuk berdoa kepada Allah sebagai pertanda hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Banyak redaksional doa yang tercantum dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Dua contoh doa terkenal yang terdapat dalam Al Qur’an adalah doa sapu jagad dan doa nabi Musa.

 

Doa sapu jagad terdapat pada QS Al Baqarah : 201, yang artinya : Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". Sementara doa Nabi Musa saat hendak mendakwahi fir’aun terdapat pada QS Al Qasas : 21 : Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari kaum yang zolim. Terdapat juga pada QS Ta Ha : 25-28 : Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.

 

Nabi Adam AS juga pernah berdoa yang diabadikan Al Qur’an : "Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi." (QS Al-A'raf: 23)

 

Sementara doa Nabi Nuh AS ada beberapa yang diabadikan dalam Al Qur’an :  "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang merugi." (QS Hud: 47).

 

"Dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya! Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Hud: 41). "Wahai Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat." (QS Al-Mu'minun: 29)

 

Doa Nabi Ibrahim AS diabadikan Al Qur’an pada QS Ibrahim : 39-41 : Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(-ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan sebagian anak cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat)." (QS Ibrahim: 39-41).

 

Doa Nabi Sulaiman kepada Allah terdapat dalam QS An Naml : 19 :  "Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku (ilham dan kemampuan) untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk tetap mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai. (Aku memohon pula) masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS An-Naml: 19)

 

Sedangkan doa Nabi Muhammad yang terdapat dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut :  "Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku." (QS Thaha: 114).  "Ya Tuhanku, berilah ampunan dan rahmat. Engkaulah sebaik-baik pemberi rahmat." (QS Al-Mu'minun: 118)

 

Nampak sekali dari doa-doa para Nabi tidak ada ada doa yang meminta jatah menteri dengan menyebut nama Allah di depan para pejabat. Dalam Islam jabatan itu justru sesuatu yang sangat ditakuti karena beratnya pertanggungjawaban di akhirat. Jikapun mendapatkan amanah jabatan, maka yang terlontar justru ucapan innalilahi wainnailahi rojiun, bukan malah mengucapkan hamdalah.

 

Doa meminta jabatan tentu saja tidak diajarkan dalam Islam dan mestinya malu dan takut kepada peringatan Rasulullah kepada Abu Dzar. Karena jabatan adalah perkara yang justru paling disesali manusia kelak di akhirat. Bagaimana mungkin sesuatu yang akan menjadi penyesalan justru menjadi rebutan, bahkan meminta.

 

Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

 

Padahal yang ditanyakan Abu Dzar adalah kepemimpinan atau jabatan dalam sistem Islam. Sementara saat ini jabatan itu dalam sistem demokrasi kapitalisme sekuler, tentu saja dari sisi hukum,  jabatan yang ditujukan bukan untuk menegakan hukum Allah, maka bisa termasuk haram hukumnya.

 

Sebab dalam ajaran Islam, kekuasaan adalah untuk menerapkan syariah Allah secara kaffah, bukan untuk menerapkan ideology kapitalisme, demokrasi dan sekulerisme. Kekausaan dalam Islam justru dipergunakan untuk membela Islam, bukan malah untuk memusuhi Islam atau untuk menolak hukum Islam. Jika yang terjadi demikian, maka sungguh terlalu jika jabatan malah diperebutkan, atau bahkan meminta.

 

Dalam buku, Biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal digambarkan bagaimana sosok kepemimpinan khalifah kedua ini. Pertama, Umar adalah pemimpin yang sangat tegas terhadap kezoliman dan yang memusuhi Islam. Namun, Umar sangat lembut kepada orang jujur, adil dan teguh pada agamanya. Kedua adalah kesadaran bahwa jabatan sebagai khalifah adalah ujian. Allah menguji rakyat dengan kepemimpinan Umar, sementara Umar diuji oleh rakyatnya. Dengan tegas Umar akan mengurus urusan rakyat dengan penuh amanah dan tidak menzolimi rakyat. 

 

Ketiga, adanya hubungan saling mengingatkan antara pemimpin dan rakyatnya. Umar tak ragu meminta rakyat menegurnya atau mengkritiknya jika dirinya bersalah. Bahkan Umar dalam pidatonya,  meminta rakyat tak ragu menuntutnya jika rakyat tak terhindar dari bencana, pasukan terperangkap ke tangan musuh. Bagi Umar, orang yang paling dicintai adalah yang mau menunjukkan kesalahannya.

 

"Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf naih munkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan audara-saudara sekalian," kata Umar menutup pidatonya.

 

“Jangan sekali-kali kamu mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang zolim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak (karena melihat adzab).” (QS. Ibrahim: 42).

 

Tidak ada dosa yang lebih berhak untuk Allah segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, disamping masih ada hukuman di akhirat, selain dosa zolim dan memutus silaturrahmi. (HR. Turmudzi 2700, Abu Daud 4904 dan dishahihkan al-Albani).

 

Keteladanan Rasulullah, salah satunya adalah soal kepemimpinan beliau di Daulah Madinah yang menerapkan Islam secara kaffah. Daulah Islam Madinah adalah contoh sempurna bagi kenegaraan Islam. Rasulullah menjadi pemimpin Madinah dengan tujuan untuk menerapkan syariah Islam. Begitulah semestinya seorang pemimpin dalam pandangan Islam.

 

Al Qur’an mengenalkan istilah khalifah sebagai konsep kepemimpinan Islam. Disebut dengan istilah raja karena memimpin kerajaan. Disebut sultan karena memimpin kesultanan. Disebut menteri karena memimpin kementerian. Disebut kepada desa karena memimpin desa. Maka disebut khalifah karena memimpin khilafah. Sederhana kan ?.

 

Itulah mengapa para khalifah seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar Bin Khathab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib memimpin sebuah institusi bernama khilafah. Begitupun khilafah bani Umayyah dan Usmaniyah. Para khalifah adalah pemimpin Islam yang menerapkan syariah Islam. Jadi untuk apa berkuasa, jika tidak untuk menegakkan hukum Allah ?

 

Masalah kepemimpinan dalam pandangan  Islam adalah perkara yang sangat penting.  Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Siddiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.

 

Fungsi  kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur  urusan manusia agar tertib sejalan dengan  nash Al Qur’an  serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rasulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah  perjalanan.

 

Imam Al Ghazali mengatakan bahwa sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan  pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.

 

Islam mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat. Ulil Amri ditaati sepanjang dia taat kepada Allah dan RasulNya. Jika menemukan persoalan, maka Islam menganjurkan untuk kembali kepada Allah dan RasulNya. Agama / Dien yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri dan sesama manusia.

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisaa : 59)

 

Ulil Amri menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya. Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan).  Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.

 

Udkhulu fissilmi kaafah. Kehidupan manusia di dunia ini akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan jika diatur dengan hukum dan aturan Allah semata-mata karena didasari oleh keimanan dan ketaqwaan. Hal ini sejalan dengan janji Allah : Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)

 

Dengan demikian penguasa dan pemimpin  yang tidak mendorong terciptanya masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari keberkahan Allah.  Penguasa yang tidak menerapkan Islam secara kaffah bukan hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat, lebih dari itu umat Islam haram mentaatinya. Islam melarang taat kepada perintah kemaksiatan. Jadi untuk apa berkuasa, jika tidak untuk menegakkan hukum Allah ?.

 

(AhmadSastra,KotaHujan, 15/05/24 : 07.42 WIB)

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories