Oleh :
Ahmad Sastra
Belum usai
ingatan rakyat soal dugaan kecurangan pilpres 2024 yang berakhir pada keputusan
MK, kini muncul isu soal bagi-bagi kursi kabinet. Tak tanggung-tanggung,
kabarnya akan ditambahkan lagi kementerian dengan alasan untuk mengakomodir
kompleksitas permasalahan negeri ini. Belum tuntas diskusi soal politik dagang
sapi, dunia politik dihebohkan oleh doa minta jatah kursi. Dagelan apa lagi ini
?.
Islam memang
mengajarkan hambaNya untuk berdoa kepada Allah sebagai pertanda hubungan antara
hamba dengan Tuhannya. Banyak redaksional doa yang tercantum dalam Al Qur’an
dan Al Hadits. Dua contoh doa terkenal yang terdapat dalam Al Qur’an adalah doa
sapu jagad dan doa nabi Musa.
Doa sapu jagad terdapat pada QS Al Baqarah :
201, yang artinya : Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka". Sementara doa Nabi Musa saat hendak mendakwahi
fir’aun terdapat pada QS Al Qasas : 21 : Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari
kaum yang zolim. Terdapat juga pada QS Ta Ha : 25-28 : Wahai Tuhanku,
lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku,
agar mereka mengerti perkataanku.
Nabi Adam AS juga pernah berdoa yang
diabadikan Al Qur’an : "Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami
sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya
kami termasuk orang-orang yang rugi." (QS Al-A'raf: 23)
Sementara doa Nabi Nuh AS ada beberapa yang diabadikan
dalam Al Qur’an : "Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon sesuatu yang aku tidak
mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku dan (tidak) menaruh
belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang merugi." (QS
Hud: 47).
"Dengan (menyebut) nama Allah pada waktu
berlayar dan berlabuhnya! Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS Hud: 41). "Wahai Tuhanku, tempatkanlah aku pada
tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat." (QS
Al-Mu'minun: 29)
Doa Nabi Ibrahim AS diabadikan Al Qur’an pada
QS Ibrahim : 39-41 : Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku
di hari tua(-ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha
Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan sebagian anak
cucuku orang yang tetap melaksanakan salat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah
doaku. Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin
pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat)." (QS Ibrahim: 39-41).
Doa Nabi Sulaiman kepada Allah terdapat dalam
QS An Naml : 19 : "Ya Tuhanku,
anugerahkanlah aku (ilham dan kemampuan) untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk tetap
mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai. (Aku memohon pula) masukkanlah aku
dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS
An-Naml: 19)
Sedangkan doa Nabi Muhammad yang terdapat
dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut : "Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu
kepadaku." (QS Thaha: 114). "Ya Tuhanku, berilah ampunan dan rahmat.
Engkaulah sebaik-baik pemberi rahmat." (QS Al-Mu'minun: 118)
Nampak sekali dari doa-doa para Nabi tidak
ada ada doa yang meminta jatah menteri dengan menyebut nama Allah di depan para
pejabat. Dalam Islam jabatan itu justru sesuatu yang sangat ditakuti karena
beratnya pertanggungjawaban di akhirat. Jikapun mendapatkan amanah jabatan,
maka yang terlontar justru ucapan innalilahi wainnailahi rojiun, bukan malah
mengucapkan hamdalah.
Doa meminta
jabatan tentu saja tidak diajarkan dalam Islam dan mestinya malu dan
takut kepada peringatan Rasulullah kepada Abu Dzar. Karena jabatan adalah
perkara yang justru paling disesali manusia kelak di akhirat. Bagaimana mungkin
sesuatu yang akan menjadi penyesalan justru menjadi rebutan, bahkan meminta.
Suatu hari,
Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang
pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu
Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia
merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang
mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR
Muslim).
Padahal yang ditanyakan Abu Dzar adalah
kepemimpinan atau jabatan dalam sistem Islam. Sementara saat ini jabatan itu
dalam sistem demokrasi kapitalisme sekuler, tentu saja dari sisi hukum, jabatan yang ditujukan bukan untuk menegakan
hukum Allah, maka bisa termasuk haram hukumnya.
Sebab dalam ajaran Islam, kekuasaan adalah
untuk menerapkan syariah Allah secara kaffah, bukan untuk menerapkan ideology kapitalisme,
demokrasi dan sekulerisme. Kekausaan dalam Islam justru dipergunakan untuk
membela Islam, bukan malah untuk memusuhi Islam atau untuk menolak hukum Islam.
Jika yang terjadi demikian, maka sungguh terlalu jika jabatan malah
diperebutkan, atau bahkan meminta.
Dalam buku, Biografi Umar
bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal digambarkan bagaimana sosok
kepemimpinan khalifah kedua ini. Pertama, Umar adalah pemimpin yang sangat
tegas terhadap kezoliman dan yang memusuhi Islam. Namun, Umar sangat lembut
kepada orang jujur, adil dan teguh pada agamanya. Kedua adalah kesadaran bahwa
jabatan sebagai khalifah adalah ujian. Allah menguji rakyat dengan kepemimpinan
Umar, sementara Umar diuji oleh rakyatnya. Dengan tegas Umar akan mengurus
urusan rakyat dengan penuh amanah dan tidak menzolimi rakyat.
Ketiga, adanya hubungan
saling mengingatkan antara pemimpin dan rakyatnya. Umar tak ragu meminta rakyat
menegurnya atau mengkritiknya jika dirinya bersalah. Bahkan Umar dalam
pidatonya, meminta rakyat tak ragu
menuntutnya jika rakyat tak terhindar dari bencana, pasukan terperangkap ke
tangan musuh. Bagi Umar, orang yang paling dicintai adalah yang mau menunjukkan
kesalahannya.
"Bantulah saya dalam
tugas saya menjalankan amar makruf naih munkar dan bekalilah saya dengan
nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah
kepada saya demi kepentingan audara-saudara sekalian," kata Umar menutup
pidatonya.
“Jangan sekali-kali kamu
mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang zolim. Sesungguhnya
Allah menunda hukuman mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka)
terbelalak (karena melihat adzab).” (QS. Ibrahim: 42).
Tidak ada dosa yang lebih
berhak untuk Allah segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, disamping masih
ada hukuman di akhirat, selain dosa zolim dan memutus silaturrahmi. (HR.
Turmudzi 2700, Abu Daud 4904 dan dishahihkan al-Albani).
Keteladanan Rasulullah,
salah satunya adalah soal kepemimpinan beliau di Daulah Madinah yang menerapkan
Islam secara kaffah. Daulah Islam Madinah adalah contoh sempurna bagi
kenegaraan Islam. Rasulullah menjadi pemimpin Madinah dengan tujuan untuk
menerapkan syariah Islam. Begitulah semestinya seorang pemimpin dalam pandangan
Islam.
Al Qur’an mengenalkan
istilah khalifah sebagai konsep kepemimpinan Islam. Disebut dengan istilah raja
karena memimpin kerajaan. Disebut sultan karena memimpin kesultanan. Disebut
menteri karena memimpin kementerian. Disebut kepada desa karena memimpin desa.
Maka disebut khalifah karena memimpin khilafah. Sederhana kan ?.
Itulah mengapa para
khalifah seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar Bin Khathab, Usman Bin Affan dan Ali
Bin Abi Thalib memimpin sebuah institusi bernama khilafah. Begitupun khilafah
bani Umayyah dan Usmaniyah. Para khalifah adalah pemimpin Islam yang menerapkan
syariah Islam. Jadi untuk apa berkuasa, jika tidak untuk menegakkan hukum Allah
?
Masalah kepemimpinan dalam
pandangan Islam adalah perkara yang
sangat penting. Saking pentingnya
keberadaan kepemimpinan dalam islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat
menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah
memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu
Bakar Asy Siddiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.
Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk
mengatur urusan manusia agar tertib
sejalan dengan nash Al Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan
perselisihan. Rasulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi
pemimpin dalam sebuah perjalanan.
Imam Al Ghazali mengatakan
bahwa sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama
kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama
merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya.
Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak
memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali
dengan adanya pemimpin.
Islam mewajibkan kita untuk
taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi
untuk mengatur urusan umat. Ulil Amri ditaati sepanjang dia taat kepada Allah
dan RasulNya. Jika menemukan persoalan, maka Islam menganjurkan untuk kembali
kepada Allah dan RasulNya. Agama / Dien yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya
sendiri dan sesama manusia.
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS An Nisaa : 59)
Ulil Amri menurut Imam Bukhari
dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan
orang-orang yang dipimpinnya. Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara
(penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul
‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan).
Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al
‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat
Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin
Khatab.
Udkhulu fissilmi kaafah.
Kehidupan manusia di dunia ini akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan
jika diatur dengan hukum dan aturan Allah semata-mata karena didasari oleh
keimanan dan ketaqwaan. Hal ini sejalan dengan janji Allah : Jikalau Sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)
Dengan demikian penguasa
dan pemimpin yang tidak mendorong
terciptanya masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari keberkahan
Allah. Penguasa yang tidak menerapkan
Islam secara kaffah bukan hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat, lebih
dari itu umat Islam haram mentaatinya. Islam melarang taat kepada perintah
kemaksiatan. Jadi untuk apa berkuasa, jika tidak untuk menegakkan hukum Allah
?.
(AhmadSastra,KotaHujan,
15/05/24 : 07.42 WIB)