Oleh :
Ahmad Sastra
AlLâhu
akbar, Allâhu akbar, Allâhu akbar, wa lillâhil hamdu. Gema takbir membahana
seantero dunia menandakan berakhirnya bulan suci Ramadhan dan memasuki bulan
syawal dengan ditandai perayaan hari raya Idul Fitri 1445 H. Ada raya bahagia
yang tak terkira saat kaum muslimin bersama-sama merayakan hari raya, namun ada
rasa sedih saat harus berpisah dengan bulan istimewa ini.
Idul
Fitri memang identik dengan hari kebahagiaan, terutama bagi orang-orang yang
menunaikan puasa sepanjang bulan Ramadhan atas dasar iman dan dorongan
mendapatkan ridha-Nya, imân[an] wa ihtisâb[an]. Mereka inilah yang pantas
merayakan kebahagiaan, sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad saw : "Bagi
orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagian saat berbuka puasa dan
kebahagiaan saat berjumpa dengan Rabb-nya." (HR. al-Bukhari dan Muslim,
dengan lafadz Muslim).
Meskipun
demikian, saat ini kita tidak bisa merasakan kegembiraan secara utuh. Bagaimana
kita bisa bergembira, sementara umat ini terus diselimuti oleh aneka ragam duka
yang menyayat hati. Inilah yang terjadi sejak runtuhnya Khilafah dan
Kapitalisme global mendominasi dunia.
Tengoklah
kondisi Palestina, khususnya Gaza, hari ini. Lebih dari 32 ribu nyawa kaum
Muslim di sana melayang akibat serangan militer entitas Yahudi. Sekitar 7.000
lainnya masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan. Sebagian besar dari para
korban tersebut adalah anak-anak dan kaum perempuan.
Akibat
dari serangan kaum Yahudi itu, hampir dua juta warga Gaza telah kehilangan
rumah-rumah mereka. Menurut WHO, hampir 80% atau 160.000 infrastruktur hancur
lebur. Ribuan rumah, ratusan rumah sakit dan sekolah, masjid, kampus, sumber
air dan fasilitas sanitasi rusak parah. Diperkirakan butuh puluhan miliaran
dolar AS, juga butuh lebih 70 tahun, untuk memulihkan Gaza menjadi seperti
sediakala. Kini, sebagian besar mereka harus menjadi pengungsi dan tinggal di
perbatasan Gaza dan Mesir yang luasnya hanya sekitar 3,5 km atau seluas 500
lapangan sepak bola.
Di
samping terus terancam oleh serangan bom dan keganasan tentara Yahudi, mereka
juga terancam kelaparan yang mengakibatkan kematian. Karena tiadanya makanan,
sebagian mereka sering terpaksa makan rerumputan dan memakan pakan hewan.
Karena kehausan, mereka harus minum dari air kotor yang tergenang di jalanan.
Penting
dicatat dari tragedi di Palestina ini, baik di Gaza maupun Tepi Barat, adalah
bahwa genosida ini tidak terjadi hanya saat 7 Oktober saja. Genosida telah
berlangsung sejak tahun 1948. Sejak entitas Yahudi merampas dan menduduki tanah
Palestina secara ilegal hingga saat ini.
Sejak
saat itu, selama 76 tahun, hingga hari ini, sekitar 5,9 juta warga Palestina
secara keseluruhan berstatus pengungsi, dan setiap saat berada dalam ancaman
kaum Yahudi. Melihat mereka yang terus menderita, bagaimana kita bisa
bergembira dan berbahagia?
Yang
lebih menyakitkan, para penguasa di negeri-negeri Islam, khususnya para
pemimpin Arab, sampai saat ini tetap bergeming. Mereka seolah tuli dan buta.
Derita kaum Muslim Palestina yang begitu luar-biasa, tak sedikit pun menyentuh
hati dan mengusik rasa kemanusiaan mereka.
Sebagian
besar mereka hanya melayangkan kutukan dan kecaman. Itu pun penuh kepura-puraan
dan sekadar pencitraan agar dianggap punya kepedulian. Sebagian pemimpin Muslim
lainnya bahkan tetap bergandeng tangan dengan entitas Yahudi itu. Padahal
tangan Yahudi durjana itu masih berlumuran darah ribuan para syuhada, juga
puluhan ribu Muslim yang terluka.
Menyaksikan
semua derita kaum Muslim Palestina yang amat menyakitkan ini, sepantasnya kita
bertanya: Di mana ukhuwah Islamiyah yang sering disuarakan? Bukankah semua kaum
Muslim bersaudara, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang
mukmin itu bersaudara." (TQS. al-Hujurât [49]: 10).
Kita pun
layak bertanya: Manakah hasil dari ibadah puasa kaum Muslim selama Ramadhan?
Bukankah puasa Ramadhan seharusnya membuat para pelakunya menjadi orang-orang
yang bertakwa? Bukankah salah satu ciri takwa tercermin dalam kecintaan dan
kepedulian kepada sesama saudara?
Banyak
nash yang menuntut setiap Muslim untuk mempedulikan dan menolong
saudara-saudaranya sesama Muslim di mana pun dan kapan pun. Rasulullah saw.,
misalnya, bersabda: "Perumpamaan kaum Mukmin dalam cinta-mencintai,
sayang-menyayangi dan bahu-membahu seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota
tubuhnya sakit, seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga,
dengan tidak bisa tidur dan demam." (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah
saw. pun bersabda: "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia
tak boleh menzalimi saudaranya dan membiarkan saudaranya itu (dizalimi). Siapa
saja yang memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah akan memenuhi kebutuhannya.
Siapa saja yang menghilangkan satu kesulitan saudaranya (di dunia), Allah akan
menghilangkan kesulitan dari dirinya pada Hari Kiamat. Dan barang siapa
menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari
kiamat." (HR. al-Bukhari).
Berdasarkan
nash-nash tersebut, jelas tidak sepantasnya kaum Muslim berdiam diri dan
berpangku tangan, serta tidak mempedulikan saudaranya. Termasuk saudara-saudara
Muslim di Palestina yang telah lama menderita.
Umat
Muslim jelas bukan minoritas di dunia ini. Mereka telah menjadi mayoritas
penduduk bumi ini. Jumlah kaum Muslimin di seluruh dunia mencapai lebih dari 2
miliar jiwa. Itu berarti 25 persen dari jumlah penduduk dunia. Mereka tersebar
di 53 negeri Muslim. Juga ada jutaan Muslim yang tersebar di berbagai negeri
non-Muslim, seperti di benua Eropa ataupun di Amerika Serikat.
Berbicara
kekuatan militer pun, yang seharusnya dapat digunakan melindungi kaum Muslim di
berbagai belahan dunia, sejumlah negeri Muslim masuk klasifikasi negara dengan
kekuatan militer terkuat di dunia. Menurut pemeringkatan oleh Global Fire Power
pada tahun 2023, ada empat negeri Islam masuk dalam jajaran 20 besar yakni:
Pakistan, Turki, Indonesia, Mesir dan Iran.
Namun,
jumlah yang banyak dan pasukan yang sangat kuat, tak bisa menahan berbagai
tekanan dan intimidasi dari negara-negara kafir penjajah. Faktanya, hari ini
umat Muslim justru menjadi pesakitan, terintimidasi, dan teraniaya secara
fisik. Bahkan sebagian terusir dari negerinya sendiri. Keadaan ini sudah
diperingatkan oleh Nabi saw.. Kata beliau, mereka ini seperti buih di lautan
(HR. Abu Dawud).
Keadaan
umat Islam semacam ini tentu tak boleh kita biarkan. Umat Islam harus bangkit.
Kaum Muslim harus kembali menjadi umat terbaik. Sebabnya, itulah jati diri dan
karakter asli umat Baginda Nabi saw sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
SWT: "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia
(selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah." (TQS Âli 'Imrân [3]: 110).
Predikat
umat terbaik tentu hanya dimiliki oleh kaum Muslim yang bertakwa. Takwa sendiri
adalah hikmah yang semestinya terwujud pada diri setiap Muslim yang berpuasa
selama Bulan Ramadhan. Demikian sebagaimana firman-Nya: "Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." (TQS.
al-Baqarah [2]: 183)
Ketakwaan
adalah ketaatan secara total pada syari'ah Allah SWT, baik menyangkut
hukum-hukum yang mengatur kehidupan individu dan kehidupan privat, maupun
hukum-hukum yang mengatur kehidupan publik, bermasyarakat, dan bernegara.
Ketakwaan total semacam ini hanya bisa terwujud dengan adanya Khilafah atau
Imamah. Sebab, hukum-hukum yang mengatur kehidupan publik, bermasyarakat, dan
bernegara tidak bisa dijalankan kecuali
oleh Imam atau Khalifah.
Patut
ditegaskan, menegakkan Khilafah dengan cara mengangkat seorang khalifah bagi
kaum Muslim sedunia adalah kewajiban syariah. Rasulullah saw. bersabda: "Siapa
saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai'at, maka dia mati dengan kematian
jahiliah." (HR. Muslim).
Karena
itu eksistensi Khilafah dan keberadaan seorang khalifah bagi kaum Muslim
sedunia adalah wajib. Ini juga merupakan ijma’ yang telah disepakati oleh para ulama dan kaum
Muslimin.
Imam
Nawawi rahimahuLlah berkata: "Dan mereka bersepakat bahwa wajib bagi kaum
muslimin untuk mengangkat khalifah dan kewajibannya karena syara' bukan karena
akal. Adapun yang dikatakan oleh al-Asham (orang yang tuli dalam agama) bahwa
itu tidak wajib atau yang dikatakan lainnya bahwa kewajiban itu berasal dari
akal bukan karena syara', maka perkataan keduanya adalah batil." (Syarah
Nawawi 'ala Muslim, 12/205).
Di sisi
lain, Imam atau Khalifah, tidak boleh lebih dari satu bagi kaum Muslim sedunia. Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menyatakan: "Pengangkatan
dua imam (khalifah) atau lebih di muka bumi itu tidak boleh terjadi." (Abu
al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 1/222).
Dengan
demikian ketakwaan secara kaffah hanya terwujud dengan adanya Khilafah yang
menerapkan dan menjalankan syari'ah secara kaffah dan menyatukan kaum Muslim seluruh dunia
dalam satu kepemimpinan.
Ketika
hal ini terwujud, maka kita pun layak mengharapkan janji Allah
SWT berupa diturunkannya keberkahan dan kemenangan kepada kaum Muslim
atas semua penganut agama dan ideologi lain.
Itulah
sebabnya keberadaan Khilafah mutlak dibutuhkan. Wajib secara hukum syari'ah.
Mendesak secara realitas politik. Tanpa Khilafah, umat bak anak ayam kehilangan
induknya. Mereka tanpa perlindungan sama sekali. Inilah yang terjadi hari ini.
Salah satunya dialami oleh Muslim Palestina sejak puluhan tahun lamanya. Juga
dialami oleh Muslim Xingjiang, Muslim Rohingnya, Muslim India, dll. Karena itu
benarlah sabda Nabi saw.: "Sungguh Imam/Khalifah adalah perisai;
orang-orang berperang di belakang dirinya dan menjadikan dia sebagai
pelindung." (HR. Muslim).
Karena
itu, satu abad lebih dunia tanpa Khilafah, bagi umat Islam ini adalah sejarah
kelam. Pasalnya, sebelumnya, di era Khilafahlah lebih 13 abad umat Islam pernah
memimpin dunia. Namun, saat ini umat Islam berada dalam kondisi yang paling
terpuruk. Tidak ada satu kawasan pun di belahan bumi ini di mana umat Islam
tidak terpojok, terasingkan dan terdiskriminasi.
Namun
demikian, sebagai Muslim yang bertakwa, kita harus tetap punya harapan. Kita
harus tetap optimis menatap masa depan. Kita harus tetap yakin bahwa masa depan
gemilang sesungguhnya milik Islam dan kaum Muslim.
Allah SWT
tegas berfirman dalam al-Quran: "Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih di antara kalian, bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa." (TQS. an-Nuur
[24]: 55).
Allah SWT
pun berfirman: "Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa)
petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk Dia menangkan atas segala agama,
walaupun kaum musyrik tidak menyukai." (TQS. at-Taubah [9]: 33).
Ayat ini
memastikan kemenangan Islam atas seluruh agama dan ideologi. Dan itu hanya
tejadi ketika kaum muslimin memiliki kekuasaan. itulah yang disyaratkan dalam
Hadits. Dari Tsauban, Rasulullah saw
bersabda: "Sesungguhnya Allah melipatkan bumi untukku, maka aku telah
melihat bagian barat dan bagian
timurnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai semua bagian yang
dilipatkan bagiku darinya." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Kekuasaan
itu tak lain adalah Khilafah Islam, yang akan segera kembali, insya Allah,
sebagaimana diberitakan dalam Hadits Nabi saw.: "Kemudian akan ada lagi
Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian." (HR. Ahmad).
Selain
itu, Allah telah menetapkan ajal (tenggat waktu) bagi setiap umat. AS, Inggris,
Prancis, Cina, Rusia, Jerman, dan lain-lain mempunyai ajal, yang tidak bisa
dielakkan. Semakin ke sini, ajal mereka semakin dekat. Allah SWT berfirman: "Tiap-tiap
umat mempunyai batas waktu. Jika telah datang batas waktunya, mereka tidak
dapat mengundurkan batas waktu tersebut barang sesaat pun dan tidak dapat
(pula) memajukannya." (TQS. al-A’râf [7]: 34).
Maka dari
itu, kewajiban kita adalah terus menguatkan keyakinan, dan berjuang semata-sama
karena Allah, tanpa lelah. Bersabar di jalan dakwah, sebagaimana kesabaran Nabi
saw. dan para Sahabat, sampai Allah memenangkan urusan-Nya melalui
tangan-tangan mereka.
(Kota
Hujan, 09/04/24 : 23.00 WIB)