Oleh :
Ahmad Sastra
Dalam tradisi Islam,
amanah kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat menakutkan, karena beratnya
tanggungjawab di akhirat. Dalam pandangan Islam, kepemimpinan, selain harus
bertanggungjawab kepada rakyat di dunia, juga harus bertanggungjawab kelak di
akhirat dihadapan pangadilan Allah. Pada dasarnya para khalifah dalam Islam menolak
diangkat dan dibaiat menjadi khalifah karena beratnya amanah. Adalah sebuah
bencana jika kepemimpinan justru diperebutkan, apalagi dibanggakan.
Adalah manusia rakus dan gila hormat jika saling memperebutkan kepemimpinan dengan kecurangan dan menghalalkan
segala macam cara. Adalah sebuah kebodohan mewariskan kepemimpinan kepada
anggota keluarganya. Adalah sebuah kedunguan merebut kekuasaan dengan cara
menyogok rakyat agar memilihnya. Adalah sebuah kesombongan, saat merasa senang
mendapatkan amanah kepemimpinan. Mestinya disaat mendapatkan amanah kepemimpinan,
justru menucapkan innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Ada kisah menarik yang
bisa dijadikan pelajaran bagi umat Islam, terkait kepemimpinan. Kisah Harun Al-Rasyid
yang masuk ke rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh untuk mendapatkan nasihat tentang
kepemimpinan. Al-Fudhail lantas meniup lentera di depannya hingga padam agar
dia tidak dapat melihat wajah sang khalifah. Harun Al-Rasyid kemudian
mengulurkan tangannya dan disambut tangan Al-Fudhail yang kemudian berucap,
“Betapa lembut dan halus tangan ini! Kiranya tangan ini terhindar dari api
neraka!”
“Tuan Guru! Berilah aku
nasihat,”ujar Harun Al-Rasyid.
“Leluhurmu, paman
Rasulullah Saw (Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib), pernah meminta kepada Nabi
Saw. agar dirinya dijadikan pemimpin bagi sebagian umat manusia. Apa jawaban
Rasulullah Saw? “Paman, bukankah aku pernah mengangkat engkau untuk sesaat
sebagai pemimpin dirimu sendiri?” Dengan jawaban itu Rasulullah Saw.
memaksudkan bahwa sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun
dipatuhi umat manusia. Kemudian Rasulullah Saw. menambahkan,”Kepemimpinan
akan menjadi sumber penyesalan di Hari Kebangkitan kelak.”
“Tuan Guru,
lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta Harun Al-Rasyid.
“Ketika diangkat
sebagai penguasa, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lantas memanggil Abu ‘Umar Salim bin
‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah bin Jarwal
Al-Kindi, dan Abu Hamzah Muhammad bin Ka’b bin Salim bin Asad Al-Qurazhi. ‘Umar
mengatakan kepada mereka, “Hatiku sangat gundah dengan musibah ini. Apakah yang
harus kulakukan? Aku tahu, kedudukan tinggi ini merupakan musibah, walau
orang-orang lain memandang kedudukan sebagai karunia.”
“Abu Al-Miqdam Raja’
bin Haiwah menyahutnya, “Amir Al-Mukminin! Jika engkau ingin terlepas dari
hukuman Allah di akhirat kelak, pandanglah setiap muslim yang lanjut usia laksana
ayahandamu sendiri, setiap muslim yang usia muda laksana saudaramu sendiri,
setiap muslim yang masih kanak-kanak laksana putramu sendiri. Dan,
perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahanda,
saudara, dan putranya.”
“Tuan Guru,
lanjutkanlah nasihatmu itu,”kata Harun Al-Rasyid.
“Abu Al-Miqdam Raja’
bin Haiwah lebih lanjut berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Anggaplah negeri yang
engkau pimpin laksana rumahmu sendiri dan penduduknya laksana keluargamu
sendiri. Jenguklah ayahandamu, hormatilah saudaramu, dan bersikap baiklah
kepada putramu. Kusayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus
di neraka. Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya.
Berhati-hatilah dan
bersikaplah bijak karena di Hari Kebangkitan kelak Allah akan meminta
pertanggungjawabanmu seputar setiap Muslim yang engkau pimpin dan Dia akan
memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Ingatlah,
manakala ada seorang perempuan uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari
kebangkitan kelak dia akan menarik pakaianmu dan memberikan kesaksian yang akan
memberatkan dirimu!”
“Tuan Guru,
lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu Hamzah Muhammad
bin Ka’b kemudian tampil memberikan nasihat, “Amir Al-Mukminin! Engkau memiliki
keberanian. Andai dirimu terdapat kekurangan dan kekhilafan, kita akan
mengobatinya. Pegang teguhlah agama dan pikiran yang rasional, semua itu akan
menopang dirimu dan menjadi kendali dirimu. Waspadalah terhadap orang yang
mencintaimu karena ada pamrih terhadap dirimu. Karena manakala pamrih itu telah
terpenuhi, cintanya akan sirna. Manakala engkau melakukan suatu kebaikan,
peliharalah betul kebaikan itu. Dan, jadikanlah dunia sebagai tempatmu berpuasa
dan akhirat sebagai tempatnya berbuka.”
“Tuan Guru,
lanjutkanlah nasihatmu itu!”
“Abu ‘Umar Salim bin
‘Abdullah kemudian tampil memberikan nasihat, “Amir Al-Mukminin! Buatlah rakyat
rela dengan sesuatu yang dirimu rela terhadap sesuatu itu. Juga, buatlah mereka
tidak menyukai sesuatu yang dirimu tidak menyukai sesuatu itu, Dengan demikian,
engkau selamatkan mereka dan mereka menyelamatkan engkau.”
Karena itu ada satu hal yang bisa meringankan
perasaan seorang pemimpin adalah disaat rakyat mencintai dirinya. Hal ini
disabdakan oleh Rasulullah : Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu
berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu,
kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu. (HR Muslim).
Perhatikanlah
ucapan pidato Abu Bakar As Shiddiq saat dilantik menjadi seorang khalifah
pertama dalam peradaban Islam : (1) Wahai manusia Aku telah diangkat untuk
mengendalikan urusanmu (ri’ayatu suunul ummah). (2) Padahal aku bukanlah orang
yang terbaik di antaramu (berakhlak : rendah hati dan tahu diri). (3) Maka
jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku (merangkul
rakyat, bukan memusuhi).
(4) Tetapi
jika aku berlaku salah, maka luruskanlah (tidak anti kritik, mengakui
kesalahan, mendengar masukan para ahli dll). . Orang yang kamu anggap kuat, aku
pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya (ekonomi
keseimbangan, bukan kapitalisme : menerapkan sistem ekonomi Islam). sejalan
dengan firman Allah 59 : 7 “….agar harta
itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.
(5) Sedangkan
orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan
haknya kepadanya (meratakan kesejahteraan rakyat sebagai hak fundamental
terutama kepada fakir miskin). (6) Maka hendakklah kamu taat kepadaku selama
aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya (sistem baiat dalam kepemimpinan Islam,
taat kepada hukum Allah, bukan kepada pemimpin semata).
(7) Namun
bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku
(bahkan seorang khalifah wajib diberhentikan jika tidak taat kepada hukum
Allah). (8) Berdirilah (untuk) shalat, semoga rahmat Allah meliputi kamu (kepemimpinan
Islam adalah memiliki visi keselamatan ketakwaan rakyat di dunia dan
keselamatan di akhirat ).
Ali Bin
Abi Thalib pernah menyampaikan penilaiannya atas Abu Bakar Ash Shiddiq : Allah
merahmatimu wahai Abu Bakar. Engkau adalah orang pertama yang memeluk Islam.
Orang yang paling ikhlas dalam beriman. Orang yang paling kuat keyakinan. Orang
berada yang paling mulia dan orang yang paling melindungi Rasul Allah. Orang
yang dekat dengan Rasul Allah akhlaknya, kemuliaannya, petunjuknya
dan karakternya. Semoga Allah memberimu pahala kebaikan atas Islam, Rasul
Allah dan kaum muslimin.
Engkau
membenarkan Rasul Allah saat orang-orang mengingkari. Engkau mendarmakan
hartamu saat orang-orang lain kikir. Engkau berdiri bersamanya saat orang-orang
lain diam. Allah menamakanmu Shiddiqan (yaitu yang datang dgn membawa
kebenaran dan dia membenarkan. Mereka adalah orang-orang yang muttaqun).
Orang-orang menginginkan Muhammad dan Muhammad menginginkanmu.
Demi
Allah engkau adalah benteng Islam dan siksaan bagi kaum kafirin. Hujjah-mu
tidak menurun dan nalarmu tidak melemah. Dirimu tidak pernah takut. Engkau
bagaikan gunung yang tidak goyah oleh hembusan badai. Engkau seperti halnya
sabda Rasul : “Badanmu lemah namun kukuh dalam perintah Allah. Engkau adalah
orang yang rendah hati namun mulia dihadapan Allah. Mulia di muka bumi dan
besar di hadapan kaum muslimin.
Tidak
seorangpun di hadapanmu berambisi dan tidak seorangpun meremehkan. Orang yang
kuat di hadapanmu lemah sampai engkau mengembalikan hak orang lain dari
padanya. Orang yang lemah di hadapanmu kuat sampai engkau mengembalikan haknya.
Semoga Allah tidak menjauhkan pahalamu atas kami dan tidak pula Allah
menyesatkan kami setelah kepergianmu.
Dalam
Islam, seorang khalifah adalah orang yang diberikan amanah untuk mengurusi
urusan rakyat dengan dasar syariat Islam. Seorang khalifah dibaiat oleh rakyat,
namun tetap harus bertanggungjawab kepada Allah atas kepemimpinannya. Contohlah
khalifah Umar bin Khatab yang begitu
takut kepada Allah jika sampai menelantarkan rakyatnya.
Dalam
salah satu perbincangan dengan Muawiyah bin Hudaif setelah penaklukan
Iskandariyah, Umar pernah berucap : Kalau aku tidur di siang hari, maka aku
menelantarkan rakyatku. Dan jika aku tidur di malam hari, aku menyia-nyiakan
diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana bisa tertidur pada dua keadaan
ini wahai Muawiyah ? ”
Umar
tentu sangat paham betapa berharganya nyawa satu orang muslim, sehingga dia
sangat memperhatikan nasib rakyatnya, jangan sampai terzolimi sedikitpun.
Itulah mengapa Umar pernah berkata, “Jika ada seekor onta mati karena
disia-siakan tidak terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban
kepadaku karena hal itu.
Karena
onta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab
atas keberlangsungan hidupnya. Ketika onta itu mati sia-sia karena kelaparan,
atau tertabrak kendaraan, atau terjerembab di jalanan karena fasilitas yang
buruk, Umar khawatir Allah akan memintai pertanggung-jawaban kepadanya nanti di
hari kiamat.
Jangankan
nyawa manusia yang menjadi rakyatnya, bahkan nyawa binatangpun bagi Umar tetap
menjaganya dan tidak mau terzolimi karena kebijakannya. Sebuah hadist dengan
tegas menyatakan : Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya
terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak. (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan
dishahihkan al-Albani).
Siang dan
malam Khalifah Umar selalu memantau keadaan rakyatnya. Umar benar-benar sadar
kepemimpinan itu adalah melayani, bukan dilayani. Kepemimpinan bukan untuk
menaikkan status sosial, menumpuk harta, yang akan menghasilkan kehinaan di
akhirat semata. Nyawa rakyat bagi Umar adalah pertanggungjawaban besar kelak di
akherat, maka menyia-nyiakannya adalah sebuah kezoliman.
Abdullah
bin Abbas ra. mengatakan, “Setiap kali shalat, Umar senantiasa duduk bersama
rakyatnya. Siapa yang mengadukan suatu keperluan, maka ia segera meneliti
keadaannya. Ia terbiasa duduk sehabis shalat subuh hingga matahari mulai naik,
melihat keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia kembali ke rumah”.
Sesaat
setelah terpilh sebagai sebagai khalifah, dalam pidatonya, tergambar bagaimana
takutnya Umar memikul beban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin ketika itu.
Dan bukan saat itu saja Umar merasa hal itu disampaikan Umar. Sesaat setelah
Abu Bakar dimakamkan, Umar sudah merasakan ketakutan itu. Sebab dalam Islam
kepemimpinan adalah amanah besar, tidak layak diperebutkan, apalagi jika salah
niat.
Dalam buku,
Biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal digambarkan bagaimana
sosok kepemimpinan khalifah kedua ini. Pertama, Umar adalah pemimpin yang
sangat tegas terhadap kezoliman dan yang memusuhi Islam. Namun, Umar sangat
lembut kepada orang jujur, adil dan teguh pada agamanya.
Kedua
adalah kesadaran bahwa jabatan sebagai khalifah adalah ujian. Allah menguji
rakyat dengan kepemimpinan Umar, sementara Umar diuji oleh rakyatnya. Dengan
tegas Umar akan mengurus urusan rakyat dengan penuh amanah dan tidak menzolimi
rakyat.
Ketiga,
adanya hubungan saling mengingatkan antara pemimpin dan rakyatnya. Umar tak
ragu meminta rakyat menegurnya atau mengkritiknya jika dirinya bersalah. Bahkan
Umar dalam pidatonya, meminta rakyat tak
ragu menuntutnya jika rakyat tak terhindar dari bencana, pasukan terperangkap
ke tangan musuh. Bagi Umar, orang yang paling dicintai adalah yang mau
menunjukkan kesalahannya.
"Bantulah
saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf naih munkar dan bekalilah saya
dengan nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang
dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan audara-saudara sekalian,"
kata Umar menutup pidatonya.
“Jangan
sekali-kali kamu mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang zolim.
Sesungguhnya Allah menunda hukuman mereka sampai hari yang pada waktu itu mata
(mereka) terbelalak (karena melihat adzab).” (QS. Ibrahim: 42).
Tidak ada
dosa yang lebih berhak untuk Allah segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia,
disamping masih ada hukuman di akhirat, selain dosa zolim dan memutus
silaturrahmi. (HR. Turmudzi 2700, Abu Daud 4904 dan dishahihkan al-Albani).
Nah,
untuk para pemimpin muslim, dimanapun berada, hendaknya berguru kepada
kepemimpinan Umar bin Khatab bahwa betapa sang khalifah begitu mencintai dan
dicintai rakyatnya karena begitu menghargai nyawa rakyatnya. Dia tidak ingin
berbuat zolim sedikitpun yang berakibat hilangnya nyawa rakyat, meski hanya
satu orang.
Jika Umar
sangat takut kepada Allah, ketika ada onta mati karena kesalahan kebijakan kepemimpinan
dirinya, bagaimana dengan di negeri ini, berapa harga nyawa rakyat Indonesia ?.
(AhmadSastra,KotaHujan,24/04/24
: 09.44 WIB)
Subhanallah...
BalasHapusNasihat yang sangat membekas di hati...
Semoga diri yang banyak kelemahannya ini, bisa menanggung amanah sekecil apapun itu...
Aamiiin...