Oleh : Ahmad Sastra
Pengkhianatan politik
dan pengkhianatan rakyat seolah telah menjadi watak utama dalam demokrasi. Dengan
jargon tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi, maka
konsekuensinya adalah akan adanya budaya saling mengkhianati dalam berpolitik,
baik kepada sesama polititisi, pemimpin, pejabat maupun para pemimpin kepada
rakyatnya.
Kepentingan abadi
yang telah menguasai para pejabat untuk terus berkuasa akan menjadi energi negatif
untuk dengan mudahnya mengkhianati. Pengkhianatan itu dimulai dari janji-janji
kosong saat kampanye, menyogok rakyat untuk dapat suara, transaksi dengan para
pengusaha untuk dapat modal politik, memasukkan anggota keluarga dalam dinasti
kekuasaan dan seterusnya.
Pengkhianatan
politik merujuk pada tindakan atau perilaku yang melibatkan pengkhianatan
terhadap prinsip-prinsip atau nilai-nilai politik tertentu, seperti kepercayaan
publik, integritas, atau komitmen terhadap suatu ideologi atau partai politik.
Ini bisa berupa pengkhianatan terhadap partai politik atau koalisi,
penyalahgunaan kepercayaan masyarakat, atau pengkhianatan terhadap rekan
politik.
Dengan prinsip
tidak ada kawan abadi dan yang ada kepentingan abadi, maka watak pengkhianat
akan tumbuh subur dalam sistem demokrasi ini. Dengan mudah diantara para
pejabat dan pemimpin saling berkompromi kepentingan dengan dengan mudah juga
mengkhianati kawan yang sudah tak lagi sejalan kepentingannya.
Pengkhianatan
politik dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan hingga pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip
demokrasi atau proses politik yang adil, semisal dengan melakukan berbagai bentuk
kecurangan dan kebohongan serta penipuan. Contohnya, politisi yang mengkhianati
kepercayaan pemilih dengan melakukan tindakan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan
demi keuntungan pribadi atau golongan tertentu.
Selain itu,
pengkhianatan politik juga bisa terjadi ketika politisi atau partai politik
mengingkari janji-janji kampanye atau komitmen mereka kepada pemilih setelah
mereka terpilih. Ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik
dan memicu ketidakpuasan sosial serta ketidakstabilan politik.
Pengkhianatan
politik sering kali menciptakan konflik dan ketegangan dalam lingkungan
politik, serta dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin dan
institusi politik.
Pengkhianatan
rakyat adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tindakan atau perilaku yang
melanggar kepercayaan atau kepentingan masyarakat secara luas. Ini bisa merujuk
pada berbagai situasi, tetapi umumnya mengacu pada tindakan pemerintah, elit
politik, atau individu yang bertentangan dengan kepentingan atau kehendak
mayoritas rakyat.
Contoh
pengkhianatan rakyat bisa beragam, mulai dari tindakan korupsi yang merugikan
masyarakat secara keseluruhan, kebijakan yang melanggar hak-hak dasar rakyat,
hingga tindakan represif yang menekan kebebasan sipil dan politik.
Pengkhianatan rakyat juga dapat terjadi ketika pemimpin atau institusi tidak memenuhi
janji-janji yang mereka buat kepada masyarakat atau ketika mereka mengambil
keputusan yang bertentangan dengan aspirasi rakyat.
Dalam konteks
demokrasi, pengkhianatan rakyat sering kali dipandang sebagai tindakan yang
merusak integritas sistem politik dan mengancam stabilitas sosial. Oleh karena
itu, penting bagi pemimpin politik dan pemerintah untuk mendengarkan dan
memperhatikan kebutuhan serta aspirasi rakyat dalam pembuatan keputusan dan
kebijakan.
Pengkhianatan
rakyat dapat memicu ketidakpuasan sosial, protes, atau bahkan perubahan rezim
politik jika tidak ditangani dengan baik. Dalam sistem demokratis,
akuntabilitas publik dan transparansi dalam pemerintahan seringkali terabaikan
sehingga pengkhianatan rakyat kerap
terjadi, sementara kepentingan masyarakat tidak pernah diutamakan dalam proses
pengambilan keputusan.
Budaya pengkhianatan
dalam sistem demokrasi ini dipicu oleh karakter antroposentrisme demokrasi yang
mengabaikan nilai-nilai ketuhanan. Ada beberapa watak antroposentrisme demokrasi kapitalisme sekuler.
Karena hasrat yang selalu tidak terpuaskan, manusia melalui akal pengetahuannya
berusaha memenuhi hasratnya dengan berbagai gagasan yang mengindikasikan
eksploitasi kapitalis.
Karakter
antroposentrisme kapitalis yakni opresif/eksploitatif, reduksionis,
kuasa-menguasai (kolonialisme), berwawasan ilmu pengetahuan modern dan
berteknologi. Antroposentrisme kapitalis melihat alam sebagai objek, alat,
komoditas, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Antroposentrisme
kapitalis hadir sebagai ideologi untuk menggerakkan kaki- tangan proyek-proyek
pembangunan yang bermisikan ‘pembangunan peradaban’. Antroposentrisme
berkonspirasi dengan ilmu pengetahuan modern dengan mengabaikan cara-cara
pengetahuan ekologi dan pendekatan holistik, serta mengebirikan kaum perempuan
sebagai ahli.
Apakah
dinasti politik membuat orang yang tidak kompeten bahkan kemaruk akan berkuasa ?.
Iya jelas, sudah saya tekankan di awal
tadi, bahwa dinasti politik ini tidak mengutamakan kualifikasi kepemimpinan,
namun hanya karena kedekatan keluarga. Hal ini tentu saja mengkonfirmasi adanya
kerakusan atas kekuasaan. Dinasti politik juga sangat mengabaikan kompetensi,
maka hal ini menunjukkan rasa kemaruk dan tak peduli kepada masa depan bangsa
dan Negara.
Apakah
jika dibiarkan, gurita kekuasaan keluarga akan menjalar ke semua bidang
kenegaraan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? Dan jika gurita
kekuasaan terjadi, yang akan muncul kemudian adalah gurita korupsi, jamaah
keluarga berkorupsi, hingga berlanjut munculnya industri hukum, mafia hukum,
dan mafia peradilan? Dan apakah ini bisa dicegah?
Benar
sekali, sebab mereka yang hari ini punya kuasa akan bisa mengatur dengan
kekuasaan dan uangnya untuk sebanyak-banyaknya mengajak anggota keluarga untuk
ikut berkuasa. Sementara kekuasaan itu sangat dekat dengan kerakusan dan rasa
kemaruk karena pragmatism, sehingga berpotensi akan terjadi tindak korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Pencegahannya
tentu saja menjadikan hukum sebagai panglima dimana hukum dirumuskan
berdasarkan kepentingan bangsa yang lebih besar, bukan bisa dipermainkan sesuai
kepentingan segelintir orang. Antroposentrisme demokrasi berpotensi terjadinya
disorientasi politik. Dalam Islam, syariat Islam adalah hukum yang didasarkan
oleh firman Allah, tak bisa diubah oleh manusia.
Pencegahan
kedua tentu saja kembali kepada individu yang harus memiliki orientasi yang
lurus dan benar. Setiap individu pemimpin harus menyadari bahwa kepemimpinan
adalah amanah berat yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan
pengadilan akhirat. Jika paham ini, maka seorang pemimpin akan takut berebut
jabatan, apalagi mewariskan jawaban kepada keluarganya.
Pencegahan
ketiga adalah dengan adanya kendali dari masyarakat dengan terus melakukan
proses kontroling dan pengawasan. Masyarakat harus memiliki kesadaran politik
agar para pemimpin di negeri ini tidak melakukan penyimpangan. Terlebih pada
intelektual dan ulama yang harus terus memberikan arah dan pencerahan bagi
perjalanan bangsa ini.
Jadi kesimpulannya
demokrasi dan pengkhianatan seperti dua sisi mata uang yang tidak akan bisa
dipisahkan. Saatnya umat Islam meninggalkan demokrasi dan fokus memperjuangkan
sistem Islam.
(AhmadSastra,KotaHujan,
26/04/24 : 05.57 WIB)