Oleh : Ahmad
Sastra
Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183). Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran :
110).
Alhamdulillah,
kembali kita berjumpa melalui tulisan seri The Power Of Ramadhan hari ke
duapuluh sembilan bulan suci Ramadhan 1445 H. Ramadhan adalah bulan dimana seorang
muslim mengalami peningkatan keimanan dan ketaqwaan yang ditandai oleh
peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah dan amal sholih.
Adalah sebuah
keniscayaan jika Ramadhan menumbuhkan kekuatan istiqomah dan peningkatan ibadah
selepas Ramadhan. Pembiasaan kualitas dan kuantitas ibadah di bulan Ramadhan
idealnya terulang pada 11 bulan pasca Ramadhan.
Raihan ketaqwaan
bulan Ramadhan mestinya terjadi pada semua level umat, yakni dari kataqwaan
individu, ketaqwaan keluarga, ketaqwaan masyarakat dan ketaqwaan negara.
Ketaqwaan individu juga meliputi berbagai peran seperti sebagai suami, istri,
orang tua, anak hingga sebagai pemimpin bagi masyarakat luas. Jika ketaqwaan
adalah penerapan syariah Islam kaffah, maka idealnya selepas Ramadhan ini para
pemimpin menyadari akan hukum dan syariat Allah untuk diterapkan di negeri ini.
Sebab jika tak di
terapkan secara kaffah, yang terjadi justru negara semakin bubrah. Allah
berfirman : Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya
pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa
Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah
seorang yang melihat?" (QS Tha ha :
124-125).
Ramadhan memang sangat istimewa, maka jika boleh
berharap, kita akan memohon kepada Allah agar sepanjang bulan bernama bulan
Ramadhan, namun hal ini mustahil. Selepas Ramadhan, kita akan merasa sangat
kehilangan berpisah dengan bulan istimewa ini. Apakah kita akan kembali kepada
kebiasaan lama yang tidak berkualitas. Sebagaimana dahulu disaat para sahabat
kehilangan Rasulullah karena wafat, maka Allah bertanya akankan kembali menjadi
murtad ?.
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat
atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun,
dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Sesuatu yang
bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang
telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami
berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (QS Ali Imran : 144-145)
Secara
individual, pelaksanaan puasa Ramadhan memiliki dampak meningkatnya kualitas
ketaqwaan. Sebagaimana disepakati oleh jumhur ulama bahwa hakekat ketaqwaan adalah
derajat mulia bagi seorang muslim karena mampu melaksanakan seluruh perintah
Allah dan mampu menjauhi seluruh larangan Allah.
Ketaqwaan
adalah bekal terbaik bagi seorang muslim karena bisa mendatatangkan ridha dan
surganya Allah. Dalam Qur’an, surga disebut dengan istilah Darul Muttaqien
yakni tempat atau kampung bagi orang-orang bertaqwa. Dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah
sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa (QS An Nahl : 30).
Inti
Ramadhan adalah ketaqwaan. Sebab ujung dari pelaksanaan puasa pada bulan suci
Ramadhan adalah diraihnya status sebagai manusia yang bertaqwa (QS Al Baqarah :
183). Siapapun kaum muslimin yang mampu menyelesaikan ibadah bulan suci ini
akan berpeluang mendapatkan derajat paling mulia di sisi Allah ini. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al Hujuraat :
13).
Karena
itu menjadi penting memahami arti taqwa yang sesungguhnya serta menerapkan
nilai-nilai ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab derajat taqwa akan
bisa terlihat dari perubahan sikap yang lebih baik seusai melaksanakan ibadah
puasa selama sebulan penuh. Meski ada perbedaan perilaku orang-orang bertaqwa
sesuai dengan status di dunia, namun muaranya adalah sama yakni melaksanakan
seluruh hukum-hukum Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah.
Ketaqwaan
seorang individu adalah ketika mampu menjadikan hukum-hukum Allah sebagai
timbangan sikap dan perilakunya.
Timbangan perbuatan dalam hukum
Islam ada lima yakni wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Kehati-hatian
dalam berperilaku agar selalu dalam ketundukan kepada hukum Allah dan terhindar
dari jerat kemaksiatan dan pelanggaran hukum syariah itulah yang disebut
sebagai taqwa.
Hal ini
sejalan dengan pengertian takwa menurut Abu Hurairah yang dijelaskan oleh Ibn
Abi Dunya dalam kitab at taqwa dengan
memberikan ilustrasi seseorang yang berhati-hati saat mendapati jalan yang
dilewatinya banyak duri agar terhindar dari tajamnya tusukan duri di kaki.
Kehati-hatian dalam menjalani kehidupan agar tetap dalam koridor hukum Allah
dan tidak terjerembab dalam kubangan dosa inilah yang dimaksud taqwa menurut
Abu Hurairah.
Perkataan
Abu Hurairah sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al
Bukhari, at Tirmidzi, Ibn Majah, al Hakim dan al Baihaqi, bahwa tidaklah
dikatakan sebagai orang mukmin yang mencapai derajat taqwa hingga ia
meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir terjerumus kepada
hal-hal yang haram.
Dalam al
Qur’an istilah takwa juga terdapat pada QS Al Baqarah ayat 2, “ Kitab
(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”.
Imam as Syuyuti dalam kitab tafsirnya, Ad
Duur al Mantsur fi at Tafsir bi al Ma’tsur, mengumpulkan pendapat salafush shalih diantaranya adalah Ibn
Mas’ud yang mengartikan muttaqien
sebagai orang-orang mukmin.
Ibn Abbas
mendefinisikan muttaqien sebagai orang-orang yang khawatir terhadap hukuman
Allah karena meninggalkan petunjuk (al Qur’an) yang diketahuinya seraya
berharap rahmatNya dengan membenarkan apa saja yang datang dari Allah. Mu’adz
bin Jabal mengatakan bahwa muttaqien
adalah orang-orang yang takut akan syirik dan penyembahan kepada berhala serta
mengikhlaskan diri beribadah hanya kepada Allah.
Ibn
Mubarak, sebagaimana dinukil oleh Ibn bin Abi Dunya, menyatakan bahwa Nabi
Dawud as pernah mengatakan kepada Nabi Sulaiman as, putranya, “ Anakku, engkau
akan menemukan ketakwaan pada seseorang dengan tiga hal : baiknya
ketawakalannya kepada Allah atas apa saja yang menimpa dirinya, bagusnya
keridhoannya atas apa saja yang Allah berikan kepadanya dan indahnya kezuhudan
atas apa saja yang hilang dari dirinya.
Umar bin
Abdul Aziz pernah mengatakan bahwa taqwa kepada Allah bukanlah ditandai oleh
seringnya puasa di siang hari dan seringnya melakukan shalat malam atau
kedua-duanya. Akan tetapi, taqwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja
yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan.
Wajar
jika Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad dan ad Darimi bahwa
banyak orang berpuasa hanya mendapatkan rasa haus dan lapar dikarenakan
perbuatannya saat puasa justru banyak yang bertentangan dengan hukum-hukum
Allah.
Maka
hakekat takwa adalah ketundukan kepada Allah secara totalitas. Allah berfirman,
“ Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang
nyata bagimu”. (QS Al baqarah : 208)
Karena
itu menjadikan al Qur’an sebagai petunjuk atas seluruh perilaku dalam kehidupan
di dunia adalah refleksi ketaqwaan hakiki bagi seorang muslim. Banyak aspek
perilaku dalam kehidupan di dunia, misalnya perilaku ekonomi, politik, budaya,
pendidikan, keluarga, kepemimpinan, baik individu maupun dalam konteks politik
dan ketatanegaraan.
Ramadhan
disebut juga sebagai syahrul Qur’an yang artinya adalah bulan dimana Al Qur’an
diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia yang ingin selamat dunia akherat.
Maka, Ramadhan mesti diisi dengan memperbanyak membaca, memahami, mengajarkan
dan mendakwahkan Al Qur’an.
Al Qur’an
adalah kitab suci yang berisi hukum-hukum kehidupan yang jika dijalankan akan
mampu mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akherat. Hukum-hukum
muamalah seperti ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya tercantum dengan jelas
dan sempurna, sebab Al Qur’an adalah penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya. Begitulah
semestinya para pemimpin memberikan makna kehadiran Ramadhan, sebab pemimpin
memiliki amanah yang lebih berat dibandingkan rakyat secara individu.
Karena
itu bulan suci Ramadhan ini hendaknya menjadikan ketaqwaan bukan hanya melekat
kepada ketaqwaan individu, melainkan juga ketakwaan sosial atau ketaqwaan suatu
negeri. Ramadhan menjadi semacam momentum transformasi menuju ketaqwaan negeri.
Artinya Ramadhan idealnya mampu
mengantarkan setiap individu rakyat menjadi orang-orang yang tunduk patuh
kepada syariah Allah.
Namun
tidak hanya sampai disitu, Ramadhan ini idealnya juga bisa mengantarkan kepada
ketaqwaan negara, dimana negeri ini tunduk dan patuh kepada syariah Allah dalam
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadikan Ramadhan sebagai
bulan penumbuh kekuatan dan atau energi ideologis bagi bangsa ini adalah sebuah
langkah mulia.
Ramadhan
hendaknya dijadikan sebagai muhasabah bangsa sudah sejauh mana negara ini
tunduk terhadap hukum dan aturan Allah, atau justru malah semakin jauh dari
syariat Allah dalam menata sistem ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial,
serta hubungan luar negeri. Sebab totalitas (kaffah) ketundukan adalah tanda
ketaqwaan, sementara keimanan dan ketaqwaan akan mendatangkan keberkahan dari
Allah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini
ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS Al A’raf : 96)
(Kota Hujan, 08/4/24 M : 29 Ramadhan 1445 H :
05.36 WIB)
Masyaallah Tabarakallah, Alhamdulillah saya sangat setuju dengan pemaparan oleh Ahmad Sastra tentang bulan Ramadhan, bulan Ramadhan ini adalan bulan yang sangat istimewa sehingga kita tidak boleh menyia-nyiakannya, puasa Ramadhan memiliki dampak meningkatnya kualitas ketaqwaan kita, ketaqwaan adalah bekal terbaik bagi seorang muslim karena bisa mendatangkan ridha dan surganya Allah, dari banyaknya ayat Qur'an, beberapa perkataan sahabat rasul dan para ulama alim yang di sebutkan disini membuat saya sangat yakin bahwa pentingnya meraih ketaqwaan di bulan suci ramadhan, dgn banyak sekali cara yang bisa kita lakukan dan kita manfaatkan untuk meraih ketaqwaan di bulan suci Ramadhan ini, salah satunya adalah menjauhi larangannya dan menjalani perintahnya, jazaakumullahu Khairan katsiran, baraakallahu fiikum
BalasHapus