Oleh : Ahmad
Sastra
Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183). Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran : 110).
Alhamdulillah,
kembali kita berjumpa melalui tulisan seri The Power Of Ramadhan hari ke
duapuluh tujuh bulan suci Ramadhan 1445 H. Ramadhan adalah bulan dimana
orang-orang beriman diuji untuk menjalankan puasa sebulan penuh dan mampu
istiqomah sampai garis finish. Tanpa terasa kita telah hamper finish. Tak
terasa 27 hari sudah kita menjalankan puasa Ramadhan.
Tentu patut kita
renungkan di akhir Ramadhan ini, sudahkan kita mencapau tujuan akhir dari
Ramadhan ini, yakni derajat hamba bertaqwa ?. Ramadhan 1445 H ini semoga
memberikan kekuatan kepada kita untuk merenungkan diri kita ini, sejauh mana
telah mendapatkan berkah dan kebaikan bulan suci ini. Sejauh mana pula kita
telah menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.
Di akhir Ramadhan
ini, kita harus mengakui, saat ini kita menyaksikan masih banyak perintah Allah
subhanahu wa ta'ala yang belum diamalkan dan berbagai larangan Allah yang masih
dilanggar, terutama syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial,
hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya.
Belum
diamalkannya syariah Islam secara kaffah dalam kehidupan kita inilah yang
menyebabkan kehidupan kaum muslimin saat ini terpuruk, terjajah, hancur dan
tertindas. Saudara-saudara kita di Gaza dibantai oleh Zionis Yahudi, Muslim
Rohingya diusir dari tempat tinggal mereka, Muslim Uighur ditekan habis-habisan
oleh rezim Komunis Cina, Muslim India dizalimi tanpa henti dan sebagainya.
Sementara di
negeri ini, kekayaan alam yang luar biasa serasa tiada karena hanya dinikmati
oleh segelintir orang saja. Utang bertumpuk-tumpuk yang membebani kita dan anak
cucu kita. Kaum miskin terus bertambah. Kriminalitas meningkat. Penyakit
sosial: seks bebas hingga LGBT terus menunjukkan perkembangannya. Sesama anak
bangsa berseteru dan bertikai seperti di hutan rimba. Dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Pangkal
keterpurukan ini adalah karena umat Islam telah banyak menyimpang dari aturan
Allah subhanahu wa ta’ala atau berpaling dari Al-Qur’an. Keadaan itu telah
diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam QS. Thaha [20] 124] : “Siapa
saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang
sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan
buta."
Karena itu, tak
ada jalan lain bagi kita semua, kecuali kembali menerapkan aturan Islam dalam
seluruh aspek kehidupan. Mari kita layakkan diri menjadi umat yang bertakwa di
hadapan Allah subhanahu wa ta'ala. Yakni, umat yang siap melakukan perjuangan
besar, mengubah kondisi jahiliyah modern saat ini menjadi kondisi yang diridhai
oleh Allah dengan penerapan syariah
Islam secara kaffah, sebagaimana yang diinginkan oleh Allah subhanahu wa
ta'ala.
“Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah
kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagimu”. (TQS. Al-Baqarah [2]: 208) []
Muhasabah berikutnya
adalah bahwa kita harus tahu diri yang merujuk kepada kesadaran akan kehambaan manusia, bahkan manusia
adalah diciptakan oleh Allah untuk hanya menjadi sang pengabdi kepada Allah.
Manusia adalah dipenuhi potensi manusiawi sekaligus dipenuhi kelemahan dan
keterbatasan. Potensi akal, naluri, fisik dan ruh mesti dijadikan wasilan untuk
beribadah kepada Allah.
Allah dengan tegas berfirman dalam surat adz Dzariyaat ayat 56 yang artinya dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. Ayat ini ditergaskan dalam surat al An’am ayat 162 yang artinya
katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Karena itu tahta bagi seorang punguasa adalah amanah untuk mewakili Allah dalam
mengelola alam semesta [bumi] kehidupan dan manusia atau rakyat sebagai cara
dia untuk menjadikan kekuasaan sebagai wasilah ibadah. Ibadah sendiri memiliki
arti melakukan segala aktivitas semata-mata untuk meraih ridho Allah dan tata
caranya mengikuti sunnah Rasulullah. Ini harga mati.
Rasulullah adalah teladan dalam mengelola bumi, kehidupan dan rakyat dengan
mendasarkan kepasa wahyu Allah. seluruh perilaku Rasulullah adalah bersumber
dari wahyu, bukan nafsu. Keteladanan dan tolok ukur perbuatan penguasa
ditegaskan oleh Allah dalam surat Al Ahzab ayat 21 yang artinya sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.
Penguasa yang taat kepada Allah dan mengikuti jejak Rasulullah adalah penguasa
yang selalu berharap kebaikan dunia akherat. Karena itu penguasa [ulil amri]
yang ingin ditaati oleh rakyat harus menjadi penguasa yang taat kepada Allah
dan Rasulullah, yakni menjadikan al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber kebijakan
politik, hukum, budaya, pendidikan, ekonomi dan lainnya. Ditegaskan oleh Ali
Bin Abi Thalib, ulil amri adalah pemimpin yang taat kepada Allah dan
Rasulullah, jika tidak, maka tidak layak disebut sebagai ulil amri dan tidak
wajib ditaati.
Ditegaskan oleh Allah dalam surat An Nisaa ayat 59 yang artinya hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Karena itu penguasa yang tahu diri akan menyusun visi kekuasaannya dengan visi
kehambaannya yakni mengantarkan rakyat selamat dan bahagia dunia akherat dengan
menjadikan al Qur’an dan Assunnah sebagai pedoman kehidupan bernegara,
berbangsa dan berkehidupan seluruh rakyat. Misi, program dan strateginya adalah
berekonomi lillah, berpendidikan lillah, berpolitik lillah, berbudaya lillah
untuk mewujudkan rahmatan lil’alamin.
Penguasa dan rakyat yang tahu diri akan hakekat kehambaan akan menjadikan
harmonisasi antara penguasa dan rakyat. Akan lahir pemimpin yang dicintai
rakyat dan rakyat yang dicintai pemimpin karena Allah. antara penguasa dan
rakyat saling memberikan tausiyah dan muhasabah karena Allah agar perjalanan
berbangsa dan bernegara tidak keluar dari jalan yang ditetapkan Allah. sebab
bumi dan langit adalah miliki Allah, manusia hanya numpang dan menjalankan
amanah kekhalifahan [manajerial] dan kehambaan [pengabdian].
berikutnya adalah muhasabah tentang rendah hati yang merujuk kepada sikap dan
kesadaran bahwa manusia tidak memiliki kekuatan apapun tanpa kekuatan yang
diberikan Allah. Tidak ada sedikitpun kemampuan manusia yang bisa disombongkan,
sebab hanya Allah yang berhak menyandang pakaian kesombongan. Bagaimana manusia
bisa sombong, sementara nyawa, hati, jantung, otak, darah, nafas, mata, tangan,
harta, keluarga, tahta dan semuanya adalah pemberian Allah. Manusia tak
memiliki apapun, tak ada yang layak disombongkan.
Penguasa adalah orang yang diberikan kekuasaan oleh Allah yang setiap saat
dengan mudah akan dicabut kembali oleh Allah. Tidak kekuasaan manusia yang bisa
dipegang selama-lamanya. Karena itu saat Allah menghadirkan kesombongan
kekuasaan Fir’aun adalah sebagai cermin dan pelajaran bagi penguasa di kemudian
hari. Kesombongan dan pengakuan Fir’aun bahwa dirinya tuhan adalah puncak
kesombongan manusia yang akah segera dibinasakan oleh Allah sang pemilik
kekuasaan tanpa batas.
Rendah hati juga merujuk kepada kesadaran kelemahan manusia atas kemampaun
untuk mengatur kehidupan, alam semesta dan rakyat. Hukum dan aturan manusia
sehebat apapun tidak akan mampu mengatur segalanya. Sebab segalanya adalah
ciptaan Allah dan Allahpun telah menyediakan aturan dan hukum yang terbaik.
Kerendahan hati penguasa dengan demikian juga ditunjukkan dengan menjadikan
aturan dan syariat Allah sebagai sumber hukum dan perundang-undangan dalam
menjalankan visi kekuasaannya.
Rakyat yang rendah hatipun demikian adanya, mereka hanya tunduk dan patuh
secara totalitas kepada hukum dan aturan Allah semata, dengan meninggalkan
hukum dan aturan yang bukan berasal dari Allah. Kapitalisme sekuler yang
mengabaikan hukum Allah dalam pengaturan kehidupan adalah sampah yang harus
dibuang jauh-jauh. Komunisme atheis yang meniadakan eksistensi Allah lebih
rendah dari sampat yang harus dibuang jauh-jauh.
Sebab pengabaian dan melupakan hukum dan peringatan Allah hanya akan melahirkan
kehidupan yang sempit karena akan dilupakan oleh Allah Sang Maha Pengatur.
Allah berfiman dalam surat Thahaa ayat 124 sampai 126 yang artinya dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta" Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku
dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat ?. Allah
berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya,
dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".
Muhasabah terakhir adalah kita harus selalu ingat mati yang merujuk kepada kesadaran bahwa setiap manusia
ujungnya adalah ajal dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat atas
seluruh perilakunya di dunia. Dunia hanyalah kebun tempat menanam yang akan
dipanen di akherat. Kebaikan yang ditanam akan panen kebaikan, begitupun
sebaliknya. Kesombonga Fir’aun yang merasa sok berkuasa dan sok memiliki
kekuatanpun akan berhenti dengan datangnya ajal kematian.
Ingat mati akan menjadikan penguasa dan rakyat selalu bersikap hati-hati dan
senantiasa berjalan di atas jalan Allah, sebab dengan bekal taqwa dan amal
sholehlah kematian seseorang akan berakhir dengan khusnul khatimah. Kesadaran
ingat mati akan menjadikan penguasa dan rakyat akan menjadikan waktu
kehidupannya sebagai sarana ibadah dan bekal mati.
Kekuasaan tidak dibawa mati, yang dibawa ketika selama berkuasa dijadikan
sebagai sarana pengabdian dan amal sholeh, tidak melanggar ajaran Islam serta
hanya menjadikan Qur’an dan sunnah sebagai pedoman. Negara yang lillah,
penguasa yang lillah dan rakyat yang lillah akan melahirkan keberkahan dari
langit dan bumi sebagai tanda kemurahan dan pertolongan Allah.
Jika di Indonesia semua ini belum terwujud, maka mungkin penguasa dan rakyatnya
masih jauh dari Allah, atau bahkan menjadi pembangkang hukum dan aturanNya.
Karena itu penting meluruskan dan menguatkan aqidah tauhid, ilmu da akhlaknya.
Renungkanlah wahai penguasa dan rakyat semuanya.
(Kota
Hujan, 06/04/24 M : 27 Ramadhan 1445 H : 13. 40 WIB)