Oleh : Ahmad
Sastra
Bulan Suci Ramadhan kembali hadir dan
menyapa kaum muslimin di seluruh dunia. Kebahagiaan membuncah menyambut tamu
agung ini, sebab kebahagiaan akan datangnya bulan suci Ramadhan adalah tanda
keimanan seorang muslim. Ramadhan memiliki kemuliaan dan keistimewaan
dibandingkan dengan bulan-bulan lain.
Secara individual, pelaksanaan puasa
Ramadhan memiliki dampak meningkatnya kualitas ketaqwaan. Sebagaimana
disepakati oleh jumhur ulama bahwa hakekat ketaqwaan adalah derajat mulia bagi
seorang muslim karena mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan mampu
menjauhi seluruh larangan Allah.
Ketaqwaan adalah bekal terbaik bagi
seorang muslim karena bisa mendatatangkan ridha dan surganya Allah. Dalam
Qur’an, surga disebut dengan istilah Darul Muttaqien yakni tempat atau kampung
bagi orang-orang bertaqwa. Dan
Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat
bagi orang yang bertakwa (QS An Nahl : 30).
Inti Ramadhan adalah ketaqwaan. Sebab
ujung dari pelaksanaan puasa pada bulan suci Ramadhan adalah diraihnya status
sebagai manusia yang bertaqwa (QS Al Baqarah : 183). Siapapun kaum muslimin
yang mampu menyelesaikan ibadah bulan suci ini akan berpeluang mendapatkan
derajat paling mulia di sisi Allah ini. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (QS
Al Hujuraat : 13).
Karena itu menjadi penting memahami arti
taqwa yang sesungguhnya serta menerapkan nilai-nilai ketakwaan dalam kehidupan
sehari-hari. Sebab derajat taqwa akan bisa terlihat dari perubahan sikap yang
lebih baik seusai melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Meski ada
perbedaan perilaku orang-orang bertaqwa sesuai dengan status di dunia, namun
muaranya adalah sama yakni melaksanakan seluruh hukum-hukum Allah dan menjauhi
seluruh larangan Allah.
Ketaqwaan seorang individu adalah ketika
mampu menjadikan hukum-hukum Allah sebagai timbangan sikap dan
perilakunya. Timbangan perbuatan dalam hukum Islam ada lima yakni
wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Kehati-hatian dalam berperilaku agar
selalu dalam ketundukan kepada hukum Allah dan terhindar dari jerat kemaksiatan
dan pelanggaran hukum syariah itulah yang disebut sebagai taqwa.
Hal ini sejalan dengan pengertian takwa
menurut Abu Hurairah yang dijelaskan oleh Ibn Abi Dunya dalam kitab at taqwa dengan memberikan
ilustrasi seseorang yang berhati-hati saat mendapati jalan yang dilewatinya
banyak duri agar terhindar dari tajamnya tusukan duri di kaki. Kehati-hatian
dalam menjalani kehidupan agar tetap dalam koridor hukum Allah dan tidak
terjerembab dalam kubangan dosa inilah yang dimaksud taqwa menurut Abu
Hurairah.
Perkataan Abu Hurairah sejalan dengan
sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, at Tirmidzi, Ibn Majah,
al Hakim dan al Baihaqi, bahwa tidaklah dikatakan sebagai orang mukmin yang
mencapai derajat taqwa hingga ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena
khawatir terjerumus kepada hal-hal yang haram.
Dalam al Qur’an istilah takwa juga
terdapat pada QS Al Baqarah ayat 2, “ Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. Imam as Syuyuti dalam kitab
tafsirnya, Ad Duur al Mantsur fi at
Tafsir bi al Ma’tsur, mengumpulkan pendapat salafush shalih diantaranya adalah Ibn Mas’ud yang mengartikan muttaqien sebagai orang-orang mukmin.
Ibn Abbas mendefinisikan muttaqien
sebagai orang-orang yang khawatir terhadap hukuman Allah karena meninggalkan
petunjuk (al Qur’an) yang diketahuinya seraya berharap rahmatNya dengan
membenarkan apa saja yang datang dari Allah. Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa muttaqien adalah orang-orang yang takut
akan syirik dan penyembahan kepada berhala serta mengikhlaskan diri beribadah
hanya kepada Allah.
Ibn Mubarak, sebagaimana dinukil oleh Ibn
bin Abi Dunya, menyatakan bahwa Nabi Dawud as pernah mengatakan kepada Nabi
Sulaiman as, putranya, “ Anakku, engkau akan menemukan ketakwaan pada seseorang
dengan tiga hal : baiknya ketawakalannya kepada Allah atas apa saja yang
menimpa dirinya, bagusnya keridhoannya atas apa saja yang Allah berikan
kepadanya dan indahnya kezuhudan atas apa saja yang hilang dari dirinya.
Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan
bahwa taqwa kepada Allah bukanlah ditandai oleh seringnya puasa di siang hari
dan seringnya melakukan shalat malam atau kedua-duanya. Akan tetapi, taqwa
kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan
melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan.
Wajar jika Rasulullah bersabda yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan ad Darimi bahwa banyak orang berpuasa hanya
mendapatkan rasa haus dan lapar dikarenakan perbuatannya saat puasa justru
banyak yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah.
Maka hakikat takwa adalah ketundukan
kepada Allah secara totalitas. Allah berfirman, “ Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS Al
baqarah : 208)
Karena itu menjadikan al Qur’an sebagai
petunjuk atas seluruh perilaku dalam kehidupan di dunia adalah refleksi ketaqwaan
hakiki bagi seorang muslim. Banyak aspek perilaku dalam kehidupan di dunia,
misalnya perilaku ekonomi, politik, budaya, pendidikan, keluarga, kepemimpinan,
baik individu maupun dalam konteks politik dan ketatanegaraan.
Ramadhan disebut juga sebagai syahrul
Qur’an yang artinya adalah bulan dimana Al Qur’an diturunkan untuk menjadi
petunjuk bagi manusia yang ingin selamat dunia akherat. Maka, Ramadhan mesti
diisi dengan memperbanyak membaca, memahami, mengajarkan dan mendakwahkan Al
Qur’an.
Al Qur’an adalah kitab suci yang berisi
hukum-hukum kehidupan yang jika dijalankan akan mampu mengantarkan manusia
kepada kebahagiaan di dunia dan akherat. Hukum-hukum muamalah seperti ekonomi,
pendidikan, sosial dan budaya tercantum dengan jelas dan sempurna, sebab Al
Qur’an adalah penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya. Begitulah semestinya
para pemimpin memberikan makna kehadiran Ramadhan, sebab pemimpin memiliki
amanah yang lebih berat dibandingkan rakyat secara individu.
Karena itu bulan suci Ramadhan ini
hendaknya menjadikan ketaqwaan bukan hanya melekat kepada ketaqwaan individu,
melainkan juga ketakwaan sosial atau ketaqwaan suatu negeri. Ramadhan menjadi
semacam momentum transformasi menuju ketaqwaan negeri. Artinya Ramadhan idealnya mampu mengantarkan
setiap individu rakyat menjadi orang-orang yang tunduk patuh kepada syariah
Allah.
Namun tidak hanya sampai disitu, Ramadhan
ini idealnya juga bisa mengantarkan kepada ketaqwaan sosial, dimana negeri ini
tunduk dan patuh kepada syariah Allah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Menjadikan Ramadhan sebagai bulan transformasi bagi bangsa ini
adalah sebuah langkah mulia.
Ramadhan hendaknya dijadikan sebagai
muhasabah bangsa sudah sejauh mana negara ini tunduk terhadap hukum dan aturan
Allah, atau justru malah semakin jauh dari syariat Allah dalam menata sistem
ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial, serta hubungan luar negeri. Sebab
totalitas (kaffah) ketundukan adalah tanda ketaqwaan, sementara keimanan dan ketaqwaan
akan mendatangkan keberkahan dari Allah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam
firmanNya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya (QS Al A’raf : 96)
(AhmadSastra,KotaHujan,05/02/24 : 10.00 WIB)