DEMOKRASI MEMANG MAHAL, MELELAHKAN, KACAU DAN BAHKAN MERUSAK NEGERI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Prabowo Subianto, mengatakan sistem demokrasi di Indonesia sangat melelahkan dan memakan biaya. Hal itu disampaikan Prabowo ketika menghadiri Mandiri Investment Forum 2024 di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (5/3/2024).

 

"Dan izinkan saya memberi kesaksian bahwa demokrasi sangat-sangat melelahkan, demokrasi sangat berantakan, demokrasi sangat costly (makan biaya). Dan kita sampai sekarang masih tidak puas dengan demokrasi kita, poin yang ingin saya sampaikan, Indonesia adalah negara yang memiliki cita-cita besar, kita memiliki masalah yang besar, kita memiliki tantangan yang besar, tapi kita memiliki aspirasi yang besar dan kita mencoba untuk mencapai aspirasi tersebut," kata Prabowo.

 

Sayangnya kritik Prabowo atas demokrasi ini tidak bersifat paradigmatik, tidak juga ideologis. Sehingga keluhan dia soal rusaknya demokrasi karena melelahkan, berbiaya tinggi dan berantakan tidak akan bisa mengubah apa-apa di negeri ini. Sebab Prabowo tetap mendukung demokrasi, tidak memberikan sistem alternatif untuk menggantikannya.

 

Dikatakan melelahkan karena dengan menerapkan demokrasi, suatu negeri hanya menjadi permainan para oligarki saja. Dalam tiap kali pemilu, sebenarnya rakyat hanya jadi korban dan tumbal oligarki. Rakyat akan semakin sengsara tiap kali usai pemilu, sebab yang menang adalah para bandar politik dan ekonomi. Tetap saja rakyatlah yang harus menanggung utang dan naiknya harga-harga.

 

Begitulah seterusnya, sehingga rakyat akan kelelahan, hanya bisa bermimpi hidup sejahtera dalam sistem demokrasi. Indonesia justru semakin amboradul dan berantakan dengan menerapkan demokrasi, bahkan polarisasi rakyat juga semakin tajam dan mengkhawatirkan gara-gara beda kepentingan atau hanya sekedar beda pilihan presiden. Permusuhan antara rakyat dan elit seringkali berlangsung lama, sehingga rakyat terabaikan.

 

Biaya politik demokrasi itu sangat tinggi yang bisa menjadi pemicu lahirnya para koruptor ketika berkuasa dalam rangka mengembalikan modal politik sebelumnya.  Misalnya saja, berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri beberapa tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa puluhan miliar rupiah, bahkan untuk level gubernur mencapai ratusan miliar rupiah. Jika dilihat pendapatan setiap bulan, mustahil pimpinan daerah tersebut dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye. Pada titik ini kemudian praktik korupsi merajalela dan berhasil menyeret ratusan kepala daerah ke proses hukum.

 

Demokrasi telah melahirkan para koruptor dari level presiden, gubernur, menteri, anggota dewan, hakim, jaksa, polisi, bupati, bahkan hingga tingkat ketua RT. Rumah besar para koruptor ini kini terus dipelihara oleh para cecunguk demokrasi agar mereka tetap langgeng mempertahankan kekuasaan sekaligus melanjutkan korupsinya. Bahkan di negeri ini bansos yang menjadi hak rakyat miskinpun dikorupsi oleh meterinya.

 

Maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tak kunjung usai mewarnai jagad perpolitikan Indonesia. Bahkan fenomena ini oleh sebagain besar masyarakat Indonesia telah disebut sebagai budaya. Budaya artinya perbuatan yang diulang-ulang karena dianggap telah menjadi kebiasaan. Bisa jadi sistem demokrasi yang bersifat antroposentris yang meniadakan peran Tuhan telah melahirkan politik kleptokrasi, dimana mencuri uang rakyat dianggap sebagai budaya politik.

 

Sebenarnya sejak dulu demokrasi telah mendapatkan kritik tajam karena dianggap tidak ideal. Plato berpendapat bahwa negara yang menganut sistem demokrasi merupakan negara yang tidak ideal. Tidak idealnya sistem demokrasi terletak pada kedaulatan yang berada ditangan rakyat. Mengapa demikian?. Plato menyatakan bahwa demokrasi ialah sistem yang memuja kebebasan artinya bahwa masyarakat secara bebas menyatakan pendapatnya masin-masing. Kebebasan ini akan bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain. Kebebasan tersebut ialah tanpa batas, tanpa aturan dan tanpa hukum.

 

Demokrasi adalah sebuah sistem negara yang dipercayai pertama kali muncul di Yunani kuno, tepatnya Athena, di bawah kekuasaan seorang negarawan bernama Pericles. Thucydides pernah mengatakan bahwa konstitusi negaranya disebut demokrasi karena kekuatan ada di tangan seluruh rakyat, bukan di tangan minoritas, dimana masing-masing individu tak hanya mengurusi urusan pribadi mereka tapi juga urusan negara.

 

Terungkap dalam dialog Plato, bahwa bapak pendiri filsafat Yunani Socrates, digambarkan sangat pesimis terhadap keseluruhan demokrasi. Dilansir laman The School of Life, dalam Buku Enam Republik, Plato menggambarkan Socrates terlibat dalam percakapan dengan karakter bernama Adeimantus. Socrates mencoba membuatnya melihat kekurangan demokrasi dan membandingkan masyarakat dengan kapal.

 

"Jika Anda melakukan perjalanan melalui laut," tanya Socrates. "Siapa yang idealnya memutuskan siapa yang bertanggung jawab atas kapal? Semua orang atau orang yang paham pelayaran?" "Yang terakhir tentu saja," kata Adeimantus. "Mengapa? Apakah kita terus berpikir bahwa hanya orang tua yang layak untuk menilai siapa yang harus menjadi penguasa suatu negara?" jawab Socrates. 

 

Dan seperti keterampilan apa pun, itu perlu diajarkan secara sistematis kepada orang-orang. Membiarkan rakyat memilih tanpa pendidikan, sama tidak bertanggung jawabnya dengan menempatkan mereka sebagai penanggung jawab atas "tiga kali pelayaran ke Samos dalam badai". 

 

Socrates pun harus mengalami langsung "bencana dari kebodohan pemilih." Pada 399 SM, dia diadili atas tuduhan palsu pemuda Athena. Juri yang terdiri dari 500 orang Athena diundang untuk mempertimbangkan kasus tersebut dan memutuskan dengan selisih tipis bahwa Socrates bersalah. Dia dihukum mati dengan hemlock dalam sebuah proses yang tragis.

 

Untuk memunculkan kebenaran logis dan obyektif, Socrates selalu mengajukan pertanyaan tetapi tidak memberikan jawaban dalam rangka  untuk membantu orang-orang Athena menjadi bijak. Dia berkeliling kota dan mengajukan pertanyaan kepada mereka yang berkuasa misalnya para pendeta, pemimpin negara, jenderal militer dan lainnya.

 

Tujuannya adalah untuk terus mengajukan pertanyaan sampai mereka kehabisan kebenaran subyektif dan untuk mendapatkan kebenaran obyektif. Orang-orang yang berkuasa takut pada Socrates karena ini, ia membuat banyak musuh yang kuat, yang menyebabkan kematiannya. Begitulah karakter kekuasaan demokrasi sejak dulu, menempatkan kebenaran sebagai musuh dan ancaman.

 

Antroposentrisme dan antropomorpisme menjadikan demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas pembuat hukum dan perundang-undangan dan membuang kitab suci sebagai sumber konstitusi. Demokrasi adalah semacam ‘bid’ah politik’ yang menjadikan akal dan nafsu serta kepentingan manusia sumber kebenaran. Karena itu secara genealogis dan genetik, demokrasi itu anti agama (baca : Islam).

 

Karena itu tidaklah mengherankan jika para pemuja demokrasi menjadikan hawa nafsu dan kepentingan pragmatisnya sebagai acuan. Tidak mengherankan pula jika di alam demokrasi justru makin subur para penjilat kekuasaan, penista agama dan berbagai bentuk perilaku amoralitas. Bahkan secara ideologis, demokrasi adalah alat penjajahan Barat atas negeri-negeri berkembang, utamanya negeri-negeri muslim.

 

Demokrasi berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), ia selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Ia juga dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan 'non material' manusia.

 

Nilai-nilai Demokrasi itu kemudian diyakini akan dapat memanusiakan manusia, sebab nilai-nilainya bertitik tolak dari 'nilai-nilai luhur' kemanusiaan. Anggapan ini terutama muncul karena faktor penderitaan manusia akibat fasisme, totaliterianisme, komunisme, dan paham-paham anti-demokrasi lainnya pada beberapa dekade yang lalu. Namun faktanya tidaklah demikian, demokrasi justru bagian dari masalah terbesar peradaban manusia abad ini.

 

Paham Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang baru, ia merupakan teori tua yang muncul kembali dari peradaban barat modern. Sedangkan peradaban barat modern menurut Arnold Toynbee dalam bukunya 'Civilization on Trial', adalah sebuah peradaban yang lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi. Menurutnya apa yang disebut 'Dunia Barat' dewasa ini merupakan sempalan dari Imperium Romawi.

 

Oleh karena itu pandangan hidup barat (western way of life) dapat dilihat sebagai kelanjutan pandangan hidup orang-orang Yunani kuno; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan mereka juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada kepentingan manusia (bukan Tuhan).

 

Melalui karya-karya para sarjana dan filosof Yunani-Romawi, barat mengenal Empririsme dan Rasionalisme. Yunani di satu pihak mengajarkan kepada barat agar menempatkan akal di atas segalanya, bahwa akal sebagai sumber kebenaran. Adalah filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles yang mempengaruhi pemikiran dan filsafat politik barat sejak kelahirannya hingga perkembangannya dewasa ini.

 

Karya Aristoteles, khususnya 'Politics' merupakan sumber inspirasi bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk negara, hakikat pemerintahan, hukum-hukum yang mengontrol negara, revolusi sosial, dan lain-lain. Gagasan barat mengenai negara (state), kekuasaan politik, keadilan, dan demokrasi secara genealogis-intelektual juga bisa dilacak dari tradisi politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan 'Polis' atau 'City States'.

 

Jika dianalogikan, demokrasi itu seperti kolam ikan yang menarik orang untuk mendatanginya, berharap mendapatkan ikan-ikan itu untuk bisa dijadikan makanan. Mereka berduyun-duyun mendatangi kolam, namun sungguh mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya mereka sedang dalam jebakan yang membahayakan mereka sendiri. Ada konspirasi global yang tengah mengancam kehidupan mereka.

 

Sebenarnya demokrasi itu hanya berisi mitos-mitos indah yang menyihir rakyat, namun rakyat tak bisa banyak berbuat, karena kebodohan dan juga karena kelemahan dirinya. Fakta-fakta dunia akibat hegemoni demokrasi kapitalisme sebenarnya sudah begitu sangat gamblang melahirkan social destructive, namun bagi orang yang telah terkena sihir, seperti sapi yang telah dicocok batang hidungnya. Demokrasi itu seperti jebakan lubang biawak.

 

Ada bebarapa mitos demokrasi yang telah berhasil menyihir rakyat, termasuk kaum muslimin. Pertama, mitos bahwa demokrasi adalah sistem politik  dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Padahal realitasnya adalah bahwa  para kepala negara dan anggota parlemen negara-negara demokrasi (AS, Inggris) sebenarnya bukan mewakili rakyat, melainkan mewakili kehendak kaum kapitalis oligarki (pemilik modal, konglomerat).

 

Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi. Melansir Thoughtco, "Oligarki" berasal dari kata Yunani "oligarkhes", yang berarti "sedikit yang memerintah". Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer. Oligarki adalah gembongnya para koruptor.

 

Mitos kedua demokrasi adalah bahwa demokrasi merupakan pemerintahan rakyat.
padahal realitas dan rasionalitasnya adalah tidak mungkin seluruh rakyat yang memerintah, sehingga tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer.

 

Mitos ketiga demokrasi adalah bahwa sistem politik ini membuka ruang kebebasan bagi siapa saja. Padahal realitas ternyata kebebasan itu hanya diperbolehkan apabila mendukung sekulerisme (azas demokrasi), namun apabila ternyata  mendukung azas syariat Islam maka ia akan dihancurkan. Tidak ada kebebasan bagi perjuangan syariat Islam di negara demokrasi. Yang terjadi justru sebaliknya, perjuangan Islam malah dituduh radikalisme dan bahkan terorisme. Pelarangan jilbab di Perancis juga menunjukkan bahwa kebebasan itu hanyalah mitos belaka.

 

Mitos keempat demokrasi adalah bahwa ideologi transnasional ini akan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Padahal realitasnya dengan propaganda barat agar negara dunia ketiga menerapkan demokrasi untuk kesejahteraan, namun realitasnya hanya memakmurkan negara-negara kapitalis dan agen-agennya (seperti jepang dan  singapore). Pada saat Badan Pangan Dunia (FAO) menyatakan 817 juta penduduk dunia kelaparan dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia, maka pada saat yang sama negara-negara maju sibuk melawan kegemukan. Pemenuhan kebutuhan pangan dan sanitasi USD13 miliar = +/- pengeluaran per tahun orang-orang Amerika dan uni eropa untuk membeli parfum mereka.

 

Kesejahteraan kaum kapitalis, bukan karena demokrasi, namun karena eksploitasi mereka terhadap kekayaan negara-negara lain dengan rakus. Kapitalisme tumbuh besar dengan merampok dan memiskinkan dunia ketiga secara sistimatis (seperti melalui krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian hutang, standarisasi mata uang dolar, dsbnya. Demokrasi dimanfaatkan untuk kepentingan penjajahan ekonomi, pertama dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM, kemudian blokade ekonomi, dan perampokan kekayaan alam. Adalah mitos, sebab tidak ada relevansinya antara demokrasi dengan kesejahteraan.

 

Mitos kelima demokrasi adalah bahwa sistem kufur ini menjanjikan stabilitas.
padahal realitasnya menunjukkan bahwa demokrasi justru menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Ketika pintu kebebasan dibuka, justru banyak pihak yang menuntut disintegrasi sebagai wujud kebebasan dan kemerdekaan. Reformasi yang memunculkan konflik Timor timur, Aceh, Maluku dan Papua.

 

Demokrasi juga memunculkan kekisruhan dalam pemilihan kepala daerah juga memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku dan kelompok. Disintegrasi yang berlarut-larut di alam demokrasi mestinya menjadi kesadaran betapa bahayanya sistem politik ini. Topeng demokrasi juga terbukti telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia.   

 

Mitos keenam demokrasi adalah bahwa ideologi ini menjanjikan sebuah kemajuan  karena kreatifitas, kreatifitas karena kebebasan, kebebasan karena demokrasi 
‘tanpa demokrasi, timur tengah akan menjadi stagnan (jumud)’. Begitulah narasi yang dibangun selama ini. Padahal realitasnya adalah sebaliknya. Persoalannya bukan pada kebebasan atau tidak, namun apakah masyarakat memiliki kebiasaan berfikir produktif atau tidak.

 

Demokrasi kapitalisme adalah ideologi transnasional yang sejatinya merupakan neoimperialisme negara asing aseng kepada negeri-negeri muslim.  Negeri-negeri muslim yang pernah bersatu padu dalam satu kepemimpinan khilafah Islam, kini tercabik menjadi lebih dari 57 negara oleh nasionalisme sempit. 

 

Negara yang menerapkan demokrasi kapitalisme sekuler pada hakekatnya adalah negara komprador, yakni negara budak yang tidak akan pernah merdeka. Watak komprador dimulai dari intervensi asing dan aseng dalam pemilu, dimana banyak calon pemimpin yang didukung dana oleh para kapitalis asing dan aseng untuk dijadikan budak setelah menjadi pemimpin.

 

Pemimpin komprador sebenarnya tidak lebih dari sebuah boneka tak bernyawa, sebab hidupnya dibawah belenggu dan kendali penjajah kapitalisme dan materialisme.  Secara bahasa kata komprador maknya adalah pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan atau perwakilan asing dalam hubungannya dengan orang-orang pribumi.

 

Para pengkhianat yang berkomplot dengan penjajah hanya demi mendapatkan dunia telah terjadi sejak lama. Indonesia dijajah lebih dari 3 abad bukan karena tidak ada para pejuang yang melalawannya, namun karena banyuaknya pengkhianat. Para pengkhianat itu selalu menjadi mata-mata bagi para penjajah untuk memberikan informasi terkait negerinya sendiri. Para pengkhianat juga sering kali mengadu domba rakyat sendiri untuk ditonton oleh para penjajah.

 

Para pengkhianat juga sering kali menebarkan hoax dan fitnah kepada sesama saudara sebangsa demi mendapatkan materi dari penjajah. Para komprador ini ibarat anjing yang rela makan tulang saudaranya sendiri. Demokrasi adalah rumah besar para koruptor karena sejatinya adalah neoimperialisme dan hegemoni oligarki yang disokong oleh para pemimpin boneka. Demokrasi dan korupsi tak mungkin dipisahkan, sebab telah menjadi budaya politiknya.

 

(AhmadSastra,KotaHujan, 06/02/24 : 10.00 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.