Oleh : Ahmad
Sastra
Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183). Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran :
110).
Waktu terus
berjalan tanpa kompromi. Tak terasa, Ramadhan tahun 2024 ini sudah melewati
hari ke 4, Kamis, 14 Maret 2024. Tulisan ini dibuat setelah sholat subuh, sebab
waktu pagi adalah salah satu waktu yang paling tepat untuk berkarya. Dalam keheningan
pagi dan dinginnya udara menjadikan karya lebih bisa dihayati, kata perkatanya.
Waktu pagi juga adalah waktu yang tidak dianjurkan untuk tidur.
Ada sebuah hadis
yang melarang tidur setelah Subuh : "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Janganlah
kalian tidur setelah Subuh hingga matahari naik, karena terbitnya matahari dari
dua sudut (timur dan barat) datang dari neraka." (HR. Muslim).
Kembali kita
mendiskusikan The Power Of Ramadhan dimana saat berpuasa, seorang muslim sedang
mengalami koneksitas yang sangat tinggi dan inten dengan Allah SWT. Seorang yang
berpuasa sedang tinggi-tingginya sinyal yang terhubung dengan Allah, sebab
puasa pada hakikatnya adalah pengendalian diri dari hal-hal yang membatalkan
puasa dari fajar hingga matahari tenggelam.
Hubungan inten
dengan Allah ini karena ibadah puasa adalah ibadah dimana hanya Allah dan diri
sediri yang tahu. Orang lain tidak akan pernah tahu bahwa diri kita sedang
berpuasa, bahkan jika kita berbuka di tengah hari, lantas tetap mengaku
berpuasa, maka orang lain bisa jadi akan percaya bahwa kita masih berpuasa. Sementara
diri kita dan Allah tahu bahwa kita sudah tidak berpuasa.
Karena itu puasa
Ramadhan memberikan kekuatan keikhlasan semata karena Allah. Meski banyak
kesempatan untuk membatalkan puasa, karena orang lain tidak ada yang tahu,
namun karena kekuatan keikhlasan jiwa, maka tidak orang yang berpuasa tidak
akan membatalkan puasa disebabkan karena hatinya telah tertuju hanya kepada
Allah SWT.
Keikhlasan itu di dalam hati. Keikhlasan adalah
refleksi keimanan dan ketaqwaan seorang muslim. Orang yang ikhlas tidak pernah
berpuasa dengan ukuran imbalan materi
yang diterima atau sekedar untuk mendapatkan pujian dari manusia. Orang yang
ikhlas akan tetap bersungguh-sungguh sekalipun hanya sebagai bawahan apalagi
sebagai atasan. Bekerja dengan penuh ikhlas tidak pernah mendasarkan
kesungguhannya karena jabatan, materi, pujian orang lain, atau karena
faktor-faktor lain. Sebab nilai
keikhlasan adalah transaksi manusia dengan penciptanya, bukan antarmanusia.
Ada sebuah kisah tentang indahnya keikhlasan hati dari seorang sahabat Nabi
yakni Khalid bin Walid. Ketika itu
tengah terjadi pertempuran dahsyat antara kaum muslimin dan kaum kafir. Ketika
sang panglima perang bernama Khalid ibn Walid sedang memimpin pasukannya dalam
sebuah pertempuran tanpa diduga
sebelumnya, dia memperoleh surat perintah pemberhentian dirinya dari Khalifah
Umar ibn Khaththab.
Dalam surat perintah itu disebutkan bahwa sejak saat itu, panglima perang
Khalid bin Walid diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai panglima
perang, dan diharapkan segera menyerahterimakan jabatannya kepada panglima baru
Ubaidillah ibn Al-Jarra sebagai penggantinya.
Keputusan khalifah sempat membingungkan dan mengagetkan Ubaidillah. Ada
apa gerangan keputusan ini diambil oleh sang khalifah. Berkat kelapangan dada,
keikhlasan hati dan kebesaran jiwa Khalid ibn Walid akhirnya mampu
menyelesaikan persoalan pelik ini dengan baik. Keduanya sepakat untuk
membicarakannya secara diam-diam tanpa diketahui oleh pasukan
yang tengah bertempur. Jalan keluar yang mereka sepakati adalah membiarkan
pertempuran berjalan dan pergantian dilakukan secara diam-diam sambil menunggu
saat yang tepat untuk mengumumkannya.
Setelah gemuruh pertempuran sedikit mereda, barulah diumumkan kepada
segenap pasukan kaum muslimin atas perintah pergantian panglima perang dari
Khalifah Umar bin Khaththab tersebut. Dan saat itu Khalid bin Walid berubah
status menjadi prajurit seperti yang lain di bawah komando panglima perang yang
baru : Ubaidillah ibn al Jarra.
Sakit hatikah Khalid ibn Walid ? Ternyata tidak. Khalid ibn Walid dengan
gigih melaksanakan semua tugas-tugas sebagai prajurit biasa. Inilah gambaran
keteladanan yang luar biasa dalam sejarah umat manusia. Adakah pada zaman
sekarang orang yang seperti ini. Rasanya sulit kita mendapatkannya. Konon usai
serah terima jabatan, beberapa anggota pasukan kaum muslimin menanyakan
langsung kepada Khalid ibn Walid perihal bagaimana perasaannya tatkala beliau
diberhentikan dengan hormat oleh sang Khalifah Umar dan menjadi prajurit biasa.
Dan ditanyakan juga bagaimana dia bisa bersikap bijak dan rendah hati
terhadap proses pergantian yang sedemikian mendadak yang cenderung tidak wajar
itu. Apalagi pergantian itu dilakukan di tengah api pertempuran yang sedang
membara. Tentu secara logika dilihat dari perspektif kebutuhan mental pasukan,
pergantian itu terlihat tidak pantas.
Namun, Khalid ibn Walid tampaknya tumbuh sebagai panglima sejati. Maka
dengan nada tenang tetapi mantap dia menjawab, "Saya berjuang bukan karena
Abu Bakar yang mengangkatku, juga bukan karena Umar yang memberhentikanku,
tetapi saya berjuang semata-mata karena Allah, semata-mata demi pengabdian
kepada Allah".
Inilah jiwa keikhlasan yang telah tumbuh dalam hati seorang pejuang
sejati, Khalid ibn Walid. Seorang pejuang yang bekerja hanya dilandasi oleh
keinginannya untuk mengabdi secara tulus ikhlas kepada Allah semata untuk
memperjuangkan agama dan daulah Islam saat itu.
Tampak dalam kisah ini bahwa orientasi dan motivasi Khalid ibn
Walid berjuang dengan penuh keikhlasan
adalah karena membela yang haq dan membela agama yang diyakininya. Dengan kata
lain dia berjuang dengan semangat pengabdian yang mahatinggi. Itulah sebabnya,
soal jabatan atau pangkat tidak mempengaruhi penampilannya. Justru karena
sikapnya yang demikian itulah harga dirinya menjadi mulia.
Kebanggaan di hati prajurit yang pernah dipimpinnya menjadi begitu
besar, dan rasa hormat mereka kepadanya semakin tinggi. Ia justru menjadi
panglima yang sesungguhnya di hati para prajuritnya. Meski telah menjadi
prajurit biasa, ia tetap berjuang dengan semangat yang sama. Dia siap memimpin
dan siap dipimpin. Dia siap menjadi panglima perang dan siap menjadi
seorang prajurit. Dengan
demikian, Khalid ibn Walid telah
mewariskan keteladanan tentang nilai keikhlasan dalam berjuang. Demikianlah mestinya kita juga mampu
mewarisi nilai keikhlasan panglima perang Khalid ibn Walid.
Allah berfirman dalam Al Qur'an, "Dan katakanlah (Muhammad),
bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan
menyaksikan pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang maha
mengetahui dan ghoib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS At
Taubah/9 : 105)
Ikhlas termasuk amal hati yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang
yang bersangkutan dan Allah. Menjadi
orang yang ikhlas itu tidak mudah. Membutuhkan waktu dan kesungguhan. Jika
seseorang telah sampai pada martabat dan kemampuan untuk menyembunyikan segala
kebaikan, maka dirinya telah memiliki sikap
ikhlas. Al Qurtubi berkata, "Al-Hasan pernah ditanya tentang ikhlas
dan riya, kemudian ia
menjawab, " Di antara tanda keikhlasan adalah jika engkau suka
menyembunyikan kebaikanmu dan tidak suka menyembunyikan kesalahanmu".
Abu Yusuf berkata, "Mas'ar telah memberitahukan kepadaku dari Saad
ibn Ibrahim, ia berkata, “Mereka (para sahabat) menghampiri seorang laki-laki
pada perang al Qadisiyah. Laki-laki itu kaki dan tanganya putus, ia sedang
memeriksa pasukan seraya membacakan firman Allah : “ Mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Yaitu
nabi-nabi, para shiddiqien, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
sholeh. Dan mereka itulah teman-teman yang terbaik ” (QS. Annisa : 69).
Seseorang itu bertanya kepada laki-laki itu, "Siapa engkau wahai
hamba Allah. Dia menjawab, "Aku adalah salah satu dari kaum Anshor".
Laki-laki itu tidak mau menyebutkan namanya. Inilah fragmen tentang nilai
keikhlasan.
Banyak ayat yang menegaskan tentang
keikhlasan ini, diantaranya pada Surah Al-Bayyinah (98:5) : "Mereka mengatakan, 'Kami hanya
menghendaki keridhaan Tuhan kami, karena sesungguhnya kami tidak pernah mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun.' Itulah yang diinginkan oleh Allah bagi orang yang Dia beri
petunjuk. Dan Dia melapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam; dan Dia
menyempitkan dadanya untuk (menerima) kesesatan. Seperti itulah Allah
menjadikan kemurkaan atas orang-orang yang tidak beriman."
Surah Al-Ankabut (29:69) : "Dan
orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik."
Surah Al-Kahf (18:110) : "Katakanlah,
'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhanmu itu adalah Tuhan yang Esa. Oleh karena
itu, barangsiapa mengharap (pertemuan) dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadah kepada Tuhannya.'
Setidaknya ada empat hal sebagai indikator keikhlasan seseorang dalam
melakukan segala aktivitas, tugas dan kerja baik sebagai guru, siswa, pimpinan,
pekerja kantor, petani, dan profesi lainnya. Keempat indikator itu adalah.
Pertama, kapasitas besar. Dengan lapang dada dan kejernihan hatinya,
seorang yang ikhlas akan mampu menghadapi persoalan seberat apapun. Mereka
mampu membawa diri, persoalan dan
pekerjaannya dengan hati riang dan ringan sebab tidak pernah dibebani oleh
kekerdilan emosi dalam berbagai bentuknya. Ketika orang lain yang telah bekerja
keras maupun bekerja cerdas tidak sanggup lagi memikul pekerjaan yang berat,
seorang yang bekerja dengan penuh keikhlasan mampu menembus semua keterbatasan
itu dan menyelesaikan dengan sempurna.
Kedua, kejernihan pandangan. Seseorang yang telah tertanam nilai
keikhlasan dalam hatinya, dengan kesucian hatinya dapat mempersepsi keadaan
lebih jernih dan kemudian dapat menyimpulkan lebih proporsional terhadap setiap
masalah yang dihadapinya. Sebenarnya keputusan yang salah lahir dari penyakit
hati yang ada dalam dirinya. Dzun Nun Al Misri pernah berkata, "Keyakinan
akan memperpendek angan-angan, angan-angan yang pendek akan mengantarkan pada
zuhud, zuhud akan mewariskan hikmah, dan hikmah akan melahirkan kejernihan
pandangan".
Ketiga, keberuntungan besar. Seseorang yang berhati ikhlas, dengan
kejernihan hatinya akan terlihat hidupnya aman dimanapun mereka berada. Bahkan
ketika di daerah rawan sekalipun. Mereka yakin akan keikhlasan dirinya. Dia
tidak pernah membawa maksud buruk sebab tabungan energi positifnya (amal saleh) akan menjaga dirinya.
Dikarenakan keikhlasan adalah puncak dari amal, maka wajar jika seorang yang
penuh keikhlasan akan mendapatkan keberuntungan dan kebaikan dari berbagai sisi
yang tiada pernah dia bayangkan sekalipun. Kebaikan, keberuntungan, keberkahan,
ketenteraman, keamanan dan kebahagiaan akan menyertai bagi orang-orang yang
ikhlas. Sudahkah kita menjadi orang-orang ikhlas ?
Keempat, banyak memberi manfaat. Seorang yang berhati ikhlas dalam beraktivitas
dengan kejernihan hatinya akan memiliki banyak kelebihan energi positif untuk
membantu orang lain. Mereka tidak pernah kerdil dan pelit untuk membantu orang
lain, sekalipun orang lain itu bisa jadi pesaingnya, bahkan mungkin musuhnya.
Apalagi terhadap orang yang disayangi dan menyayangi.
Mereka tidak pernah punya halangan untuk membantu orang yang
memusuhinya, karena sikap nothing to lose-nya berada di tingkat paling tinggi.
Mereka akan sanggup bekerja dengan siapa saja, bahkan dengan orang paling sulit
sekalipun. Keikhlasan adalah sumber kemuliaan. Orang yang ikhlas adalah orang
yang mulia. Orang ikhlas bisa menjadi penengah terhadap
dua orang yang konflik, karena selalu memihak pada kemuliaan.
Dia bisa menjadi kakak dan motivator bagi bawahan dan rekan-rekan
kerjanya. Mampu melepaskan haknya untuk
membantu orang lain. Akan banyak mengeluarkan hartanya untuk meringankan
beban orang yang tidak mampu. Akan mudah melepaskan harta dan barang yang
dicintainya jika dibutuhkan orang lain. Karena harta tidak akan mampu menodai
kejernihan hatinya.
Kenapa kita harus menjadi orang yang berhati ikhlas dan penuh ketulusan
? Karena di sanalah sesungguhnya manusia menemukan eksistensi dirinya sendiri.
Ia akan mendapatkan fitrahnya bahwa hidup ini menjadi bernilai kalau manusia
ada dalam bekerja dan setiap kerja yang tulus akan membawa kebahagiaan bagi
orang yang bersangkutan.
Karena itu Islam tidak pernah meridhoi umatnya menganggur, berpangku
tangan berharap pemberian orang lain dan atau menantikan belas kasihan
masyarakat sekitar. Islam menganjurkan pemeluknya untuk selalu beramal dan bekerja
dengan landasan ketulusan dan keikhlasan. Nah, Ramadhan adalah momentum yang
akan memberikan kekuatan dalam menumbuhkan jiwa ikhlas hingga pada level
tinggi, karena selama puasa, hubungan hati dengan Allah akan terawat dari waktu ke waktunya.
(Kota Hujan, Kamis, 14/03/24 – 4 Ramadhan 1445 H : 05.35 WIB)