Oleh : Ahmad
Sastra
Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183). Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran :
110).
Alhamdulillah,
kembali kita berjumpa melalui tulisan seri The Power Of Ramadhan hari ke
duapuluh bulan suci Ramadhan 1445 H. Ramadhan adalah bulan istimewa bari orang
beriman dan bertaqwa, sebab hanya yang beriman dan bertaqwa yang akan
mendapatkan keberkahan Ramadhan karena ketaatannya kepada perintah Allah.
Sasaran perintah
puasa Ramadhan bersifat jama’, yakni untuk orang-orang beriman, bukan hanya
satu orang. Ujung dari puasa juga adalah pencapaian ketaqwaan kolektif. Karena
itu hendaknya Ramadhan ini menjadi kekuatan bagi orang-orang beriman untuk
merealisasikan kataqwaan dalam ranah sosial kebangsaan.
Artinya, Ramadhan
mestinya menjadi kekuatan kesadaran untuk menjadikan ideologi Islam sebagai
refleksi ketawaan kolektif di negeri ini atau di seluruh penjuru dunia. Sebagai
ideologi, Islam tidaklah sama dengan kapitalisme sekuler dan komunisme ateis.
Islam adalah beyod ideology.
Islam dikatakan sebagai beyond ideology
karena kesempurnaan dan orientasi Islam yang melampau ideologi apapun yang
dibuat manusia. Islam adalah agama sekaligus ideologi yang bisa diterapkan di
dunia untuk menyelesaikan seluruh persoalan, menebarkan rahmat bagi alam
semesta, bahkan menjadi penyelamat di akhirat kelak.
Beberapa karakter di atas tentu tidak
dimiliki oleh agama dan ideologi selain Islam. Ada agama yang hanya mengurusi
urusan akhirat dan ada ideologi yang hanya mengurusi dunia saja. Kapitalisme
sekuler dan komunisme ateis adalah dua ideologi yang hanya mengurusi dunia
saja. Kedua ideologi ini bersifat pragmatisme atau materialisme, tidak memiliki
ruh. Islam sebagai beyond ideologi karena memiliki ruh, yakni berorientasi
kepada nilai ketuhanan untuk kebaikan dunia akhirat.
Ada beberapa karakteristik Islam, pertama Islam
Din Yang Diridhoi Allah. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (QS Ali Imran : 19).
Kedua, Islam adalah din yang sempurna. Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS Al Madinah : 3).
Ketiga, Islam memiliki karakter universalitas : Dan tiadalah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS al Anbiyaa :
107).
Keempat, Islam itu holistik : keseluruhan
masalah yang berkaitan dengan manusia, kehidupan dan alam semesta dibahas dan
berikan aturan dan solusi dalam Islam. Hal ini sejalan dengan firmanNya : Dan
Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (QS
An Nahl : 89).
Kelima, Islam berorientasi kepada kebahagiaan
dan keselamatan dunia akhirat. Inilah yang membedakan dengan agama atau
ideologi selain Islam. Agama selain Islam hanya mengurusi urusan akhirat. Sementara
ideologi selain Islam hanya mengurusi urusan dunia. Sementara Islam mengurusi
keduanya. Hal ini sejalan dengan firman Allah : Dan di antara mereka ada orang
yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" (QS Al Baqarah : 201).
Karena itu, makna din yang merujuk kepada
Islam, tidak selalu identik dengan istilah agama yang biasa dikenal selama ini.
Ad-din merupakan istilah yang banyak terdapat dalam Alquran. Di dalam Alquran,
terdapat lebih kurang 101 ayat yang menyebutkan istilah ini. (Fuad A. Baqi,
t.t: 340-342).
Istilah ad-din berasal dari bahasa Arab yang
merupakan bentuk masdar dari kata kerja dana yadinu. Menurut bahasa Arab arti
asalnya adalah hutang atau memberi pinjaman (Warson, 2002:436-438). Kemudian
diartikan pula dengan: taat, balasan, adat, pahala, ibadah, ketentuan, paksaan,
tekanan, kerajaan, pengaturan, perhitungan, undang- undang, hukum, tauhid, hari
kiamat, perjalanan hidup, siasat, wara’, nasehat, keputusan, tunduk, dan agama.
Dengan demikian arti ad-din amat luas sekali, (S. Zaini, t.t: 17).
Din, sebagaimana dipahami masyarakat awam
adalah istilah yang terlalu terbatas untuk mendeskripsikan sebuah agama atau
beberapa agama selain dari agama Islam. Pengkonsentrasian istilah din kepada
makna agama itu, membuat istilah ini menjadi terbatas dan kaku. Pembahasan
mengenai istilah din jarang menunjuk kepada penafsiran luas yang seharusnya
dapat memberikan pemikiran filosofis dan pandangan dunia (worldview / pandangan
hidup / ideologi, mabda / way of life) yang dapat diterapkan dalam kehidupan
umat Islam.
Islam bukanlah semata-mata suatu agama,
adalah suatu pandangan hidup jang meliputi soal-soal politik, hukum,
pendidikan, ekonomi, sosial dan kebudajaan. Baginya Islam itu adalah sumber
dari segala perdjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan
setiap macam penjajahan : eksploitasi manusia atas manusia ; pemberantasan
kebodohan, kejahilan, pendewaan dan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan
kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Sebab itu,
Islam itu adalah primer (M Natsir)
Sayyid Qutb mengatakan bahwa sejarah Islam,
sebagaimana yang pernah ada, merupakan sejarah dakwah dan seruan, sistem dan
pemerintahan. Tidak asumsi lain yang dapat diklaim sebagai Islam, atau diklaim
sebagai agama ini, kecuali jika ketaatan kepada Rasul direalisasikan dalam satu
keadaan dan sistem (Tafsir fi Dhilal al Qur’an, Juz II hlm. 696)
Sebagai way of life, ia mempergunakan segala
aspek eksistensi manusia dan prestasinya. Tidak satupun aspek yang diberikan
mendahului yang lain atau bertentangan antara satu dengan lainnya. Tiap-Tiap
aspek kebudayaan dan peradaban secara penuh dipelihara dari kelebihan dan
keekstreman pada kedua sisinya. Semua sisi kehidupan sosial tetap berada dalam
timbangan yang sempurna (A. Rahman, 2003:251). Tentu saja timbangan yang
sempurna menurut Allah Yang Maha Sempurna yang telah menurukan Islam yang
sempurna kepada Rasulullah, manusia sempurna.
Kata din menurut Naquib Al Al-Attas, dapat
dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, (1) keberhutangan; (2) ketundukan;
(3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah.
Ia lebih lanjut “dâna” yang diturunkan dari dÄ«n bermakna
sedang berhutang. Dalam kondisi dimana seseorang sedang berhutang,
mengindikasikan bahwa seorang “dâ’in” (pemberi hutang) menyertai diri orang
yang berhutang. Dalam kasus ini, maka ditemukan ada pihak yang memerintah orang
berhutang tersebut, yaitu dalam kepatuhannya pada hukum dan peraturan dalam
hutang-piutang.
Selain itu, dalam ilustrasi tersebut juga
ditemukan fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau
“dainun” (kewajiban membayar hutang). Berada dalam kondisi sedang berhutang dan
di bawah kewajiban secara alamiah melibatkan pengadilan (dainûnah), dan
kesaksian (idânah).
Semua penanda di atas yang inheren dalam
“dâna”, hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir yang terlibat
dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang ditunjukkan dengan kata
“mudun” atau “madâ’in”.
Sebuah kota atau kota besar, “madÄ«nah”,
memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, yaitu seorang “dayyân”. Dari situ,
kemudian diturunkan istilah lain yaitu “tamaddun”, yang bermakna peradaban dan
perbaikan kebudayaan sosial.
Karakteristik syariah Islam itu unik. Syariat
Islam memiliki keterkaitan dan keterpaduan antara yang satu dengan yang lain. Pelaksanaan
satu hukum menuntut pelaksanaan hukum yang lain secara terpadu. Pelaksanaan
syariah secara parsial akan menyebabkan ketimpangan.
Karena itu, Islam adalah masalah hidup dan
mati, juga masalah surga dan neraka. Maka tak ada yang lebih berharga di dunia
sampai akhirat bagi seorang muslim, kecuali beriman, bertaqwa dan istiqomah
sebagai muslim. Mungkin lebih simpel kalau disebut dengan istilah Islam Harga
Mati. Inilah kekuatan ideologis yang mestinya muncul saat melaksanakan puasa
Ramadhan.
Kesadaran ini mestinya bersifat kolektif pada
semua level sosial, sebab perintah puasa juga bersifat kolektif. Artinya, semua
level sosial, dari pemimpin, pejabat, militer, ASN, sampai rakyat mestinya tumbuh
kesadaran ideologis dan segera menerapkan dalam kehidupan individu, keluarga,
masyarakat hingga berbangsa dan bernegara.
Penerapan ideologi Islam secara holistik dan
komprehensif inilah konsekuensi keimanan dan ketaqwaan yang terdapat dalam QS Al
Baqarah : 183. Inilah juga yang akan melahirkan keberkahan dari berbagai
penjuru. Hal ini sejalan dengan firman Allah : Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS Al A’raf : 96)
(Kota Hujan, 30/03/24 M - 20 Ramadhan 1445 H
: 08.03 WIB)