Oleh : Ahmad
Sastra
Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183). Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran :
110).
Alhamdulillah,
kembali kita berjumpa melalui tulisan seri The Power Of Ramadhan hari ke tujuh
belas bulan suci Ramadhan 1445 H. Sebagai seorang muslim yang senantiasa
beriman, bertaqwa dan bersyukur kepada Allah hendaknya selalu menjadikan bulan
suci Ramadhan sebagai bulan yang mendatangkan kekuatan dalam berbagai aspeknya,
diantaranya adalah aspek ruhiyah.
Setiap mukmin
tidak akan pernah berhenti dari menghadapi ujian dan cobaan dalam aktifitasnya
sebagai seorang yang beriman kepada Allah, ini sudah menjadi sunnatullah,
semisal ujian dan cobaan dalam dakwah. Semua nabi menghadapi cobaan dan
hambatan dakwah, bahkan kadang dari keluarga terdekatnya sendiri, sebagaiman
Nabi Musa, Ibrahim dan Muhammad SAW.
Dakwah itu ibarat
perjalanan sebuah kapal di tengah laut, maka parti akan menghadapai badai dan
ombak. Begitulah dakwah harus dihadapakan oleh berbagai ujian sebagai
konsekuensi keimanan. Allah berfirman : Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS Al Ankabut
: 2)
Tantangan dalam diri pengemban
dakwah yang umumnya dirasakan dalam era kapitalisme saat ini adalah masalah rezeki. Apalagi ketika melihat orang
lain yang sebaya sudah banyak yang sukses dan mapan dari segi ekonomi.
Anak-anak pun mulai besar sehingga membutuhkan biaya yang semakin besar. Hati
kadang ciut. Namun, bagi seorang beriman, hal itu tidak menjadi penghambat
dakwah. Mengapa?
Sebab, dia meyakini bahwa rezeki itu
dari Allah SWT. Dialah Yang memberikan rezeki kepada orang yang Dia kehendaki
tanpa ada hitung-hitungan (TQS al-Baqarah [2]: 212; an-Nur [24]: 38). Kita
semua tentu pernah mengalami saat rezeki datang tanpa disangka-sangka dan dari
arah yang tidak terduga-duga. Tidak jarang, ada pengemban dakwah yang hidupnya
biasa-biasa saja, tetapi dia mendapatkan rezeki sehingga bisa haji dan umrah.
Ada juga pengemban dakwah kesulitan
rumah, tiba-tiba ada yang meminjamkan rumahnya dengan gratis. Memang, ada juga
kesulitan. Namun, bukankah Allah SWT telah menggariskan bahwa kesulitan selalu
bergandengan dengan kemudahan?
Para Sahabat adalah contoh terbaik
dalam hal ini. Salah satu contoh yang jelas adalah saat mereka berhijrah dari
Makkah ke Madinah. Mereka tidak tahu kelak akan tinggal dimana, bisa bekerja
atau tidak, makan apa, dsb. Namun, dengan dorongan iman dan ketaatan, mereka
berangkat meninggalkan kampung halaman, handai taulan dan harta kekayaan. Demi
ketaatan kaum Muhajirin rela hidup dalam kefakiran (TQS al-Hasyr [59]: 8). Lalu
apa yang terjadi? Perjuangan mereka berbuah manis. Mereka tetap bisa makan,
minum dan punya tempat tinggal, bahkan menjadi orang-orang pertama pendukung
peradaban Islam di Madinah.
Sudah merupakan sunnatullâh,
jalan dakwah itu terjal. Dulu para Sahabat ditimpa kesulitan yang luar biasa,
kesempitan, bahaya dan berbagai peristiwa yang mengguncangkan. Begitu beratnya
cobaan yang menimpa kaum beriman di jalan dakwah tersebut mereka bertanya
kepada Nabi saw., “Kapan pertolongan Allah itu tiba, matâ nashrullâh?”
Allah pun cukup menjawab dengan menyatakan, “Ingatlah, pertolongan Allah itu
dekat.” (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 214.
Para Sahabat pun bersabar dalam kondisi
demikian. Mereka menyadari betul bahwa tidak ada sesuatu pun yang menimpa
mereka kecuali hal tersebut terbaik dari Allah SWT bagi mereka sebagaimana
difirmankan Allah SWT dalam surat at-Taubah [9]: 51.
Oleh sebab itu, tidak ada rasa
kekhawatiran dalam diri seorang pengemban dakwah mendapatkan perlakuan
semena-mena oleh penguasanya, namun tidak berarti juga berlaga sombong
menantang datangnya cobaan baginya. Dia berprinsip, ‘musuh jangan dicari; kalau
ada, hadapi’, dan ‘kalau ingin selamat, ketika ada kemungkaran, hadapi dan
jangan lari’.
Nah Ramadhan mestinya memberikan kekuatan kesabaran bagi
pengemban dakwah dalam menghadapai berbagai ujian dan cobaan hidup, baik yang
ada pada diri sendiri maupun yang ada di luar dirinya. Ubahlah pola pikir, perkokoh keimanan bahwa rezeki dan kematian berasal dari
Allah SWT.
Sadarlah bahwa dakwah adalah poros
kehidupan dan sangat urgen bagi diri, keluarga dan masyarakat. Lalu aktivitas
dimenej sedemikian rupa hingga tantangan dakwah apapun akan disikapi secara
proporsional. Pikiran pada waktu menghadapi tantangan itu pun tetap jernih.
Dakwah itu ibarat air yang akan terus mengalir tanpa
bisa dihalangi. Jika air yang mengalir dibendung, maka air itu akan mencari
celah-celah terkecil dari bendungan. Jika airnya mengalir terus, maka bendungan
itu akan dilampaui oleh aliran air. Jika air itu mengalir sangat deras, bahkan
akan mampu menjebol bendungan itu. Menghalangi dakwah adalah kesia-siakan, jika
tidak hendak disebut sebagai kebodohan.
Menghalangi dakwah ibarat hendak mematikan cahaya
matahari, hal yang mustahil bukan ?. Bisa saja manusia-manusia durjana seperti
fir’aun yang menghalangi dakwah Nabi Musa, namrud yang menghalangi dakwah Nabi
Ibrahim atau abu jahal yang menghalangi dakwah Nabi Muhammad SAW, namun toh
mereka akhirnya binasa, sementara dakwah makin menggelora. Bisa jadi ada
manusia yang mencabut bunga-bunga di taman, namun tak ada satupun manusia yang
bisa menghentikan datangnya musim semi.
Nah, jika hari ini masih saja ada orang-orang durjana
yang ikut-ikutan mempersoalkan dakwah Islam, bahkan berusaha menghalanginya,
maka dia akan dijungkalkan oleh Allah sebagaimana yang terjadi pada dalam
sejarah para Nabi terdahulu. Meskipun adalah hukum alam, dakwah selalu
dihalangi. Dimana ada dakwah, maka disitu ada pula orang yang menghalanginya.
Namun, sejarah membuktikan, dakwah Islam tak akan pernah kalah.
Untuk para pejuang dakwah Islam, teruslah mengalir dan
menari seperti air. Teguhkan hati untuk selalu memberikan pencerahan Islam
kepada seluruh manusia. Teruslah mencari celah jalan sekecil apapun. Manfaatkan
setiap detik waktu kita untuk mendakwahkan Islam.
Rendah hatilah seperti air yang tidak menyakiti
bebatuan di sungai. Lembutkan hati dalam dakwah seperti Musa kepada fir’aun
atau seperti Rasulullah kepada Abu Thalib. Sebab memilih jalan dakwah adalah
sebuah kemenangan diri, sementara hidayah dan kemenangan Islam adalah hak Allah
semata.
Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat
memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang
yang mau menerima petunjuk. [Al Qashash/28 : 56]
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penerima taubat (QS An Nashr : 1-3)
(Kota Hujan, 27/03/24 M – 17 Ramadhan 1445 H 05.30
WIB)