Oleh : Ahmad
Sastra
Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183). Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran :
110).
Alhamdulillah,
kembali kita berjumpa melalui tulisan seri The Power Of Ramadhan hari ke dua
belas bulan suci Ramadhan 1445 H. Sebagai seorang muslim, jangan pernah
berhenti bersyukur kepada Allah atas anugerah Ramadhan ini dengan terus
memperkuat nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan nilai keilmuwan, baik sebagai
individu maupun sebagai rakyat.
Pelaksanaan puasa
Ramadhan akan memberikan kekuatan nilai pada setiap orang beriman, khususnya
pemimpin untuk semakin bertaqwa kepada Allah. Ketaqwaan seorang pemimpin adalah
dengan menerapkan hukum-hukum Allah, sebab seorang pemimpin diberikan amanah
kekuasaan. Paradigma kepemimpinan Islam sangat berbeda dengan paradigma
kepemimpinan demokrasi sekuler.
Paradigma
kepemimpinan dalam Islam misinya adalah untuk mewujudkan keberkahan kehidupan
di dunia dan keselamatan di akhirat yakni dengan menerapkan Islam secara
kaffah. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah :
Jikalau Sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96).
Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu
(QS Al Baqarah : 208)
Menjadi seorang
muslim dan mukmin adalah menjadi orang yang dengan sadar harus melaksanakan
segala hukum dan aturan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Menjadi seorang
muslim berarti siap untuk senantiasa terikat dengan ajaran Islam. Keterikatan
semua sikap dan tingkah laku kepada Islam adalah konsekuensi keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT.
Konsep
kepemimpinan dalam Islam bukan sekedar mendudukan seorang muslim di panggung
kekuasaan. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kekuasaan digunakan untuk
menjaga, menerapkan dan mendakwahkan Islam serta bertanggungjawab dunia akhirat
dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam.
Seorang pemimpin
yang bertanggungjawab memimpin rakyat, maka visinya harus untuk mewujudkan
masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Pemimpin itu ibarat nahkoda
sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah lautan luas dengan ombak yang
setiap saat bisa menghantamnya. Nahkoda adalah orang yang paling
bertanggungjawab kemana kapal berlayar. Nahkoda adalah pemimpin dan kapal
adalah wadah atau sistemnya.
Misi seorang
pemimpin dalam paradigma Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan rakyat di
dunia dan keselamatan di akhirat. Pemimpin dalam paradigm Islam adalah yang
senantiasa berorientasi kepada kemajuan peradaban bangsa dan keberkahan hidup
di dunia. Pemimpin dalam paradigma Islam juga selalu berorientasi kepada
kehidupan akhirat yang abadi.
Kekuasaan dalam
Islam adalah untuk menerapkan hukum Allah demi mewujudkan hasanah di dunia dan
hasanah di akhirat. Allah telah berfirman : Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan
di dunia ini dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka
(QS Al Baqarah : 201)
Islam adalah
agama yang benar dan sempurna karena berasal dari Allah yang maha sempurna.
Islam adalah pedoman hidup menuju keselamatan dunia akherat. Meninggalkan hukum
dan peringatan Allah akan melahirkan kesengsaraan dan kesempitan hidup. Hal ini
sejalan dengan peringatan Allah SWT : Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku,
Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan
buta". (QS Thaha : 124).
Masalah
kepemimpinan dalam pandangan Islam
adalah perkara yang sangat penting.
Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam islam, tatkala
Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua
malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah
dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Syidiq menjadi seorang khalifah pertama
dalam Islam.
Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk
mengatur urusan manusia agar tertib
sejalan dengan nash Al Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan
perselisihan. Rosulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi
pemimpin dalam sebuah perjalanan. Islam
mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni
orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat
. Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa : 59).
Ayat ini
memberikan pemahaman kepada kita bahwa wajib bagi kita untuk mentaati Ulil Amri
atau pemimpin di antara kita, selama ulil amri tersebut taat kepada hukum Allah
dan RasulNya. Secara bahasa (harfiah) ulil amri bermakna penguasa atau orang
yang memegang urusan. Pemimpin menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki
makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang
dipimpinnya.
Abu Hurairah
memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin
Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan).
Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama.
Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul.
Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.
Ibnu Abbas
memaknai ulil amri sebagai al umara wa al wullat atau para penguasa. Kontek
ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban mentaati para penguasa.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al
Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah
berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah.
Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya.
Kata
khilâfah menurut makna syariah banyak dinyatakan dalam hadis, misalnya:
Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu
akan ada khilafah dan rahmat, kemudian akan ada kekuasaan yang tiranik. (HR
al-Bazzar).
Kata
khilâfah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan, pewaris
pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul ï·º:
Dulu Bani Israel dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi
wafat, nabi lain menggantikannya. Namun, tidak ada nabi setelahku, dan yang
akan ada adalah para khalifah, yang berjumlah banyak. (HR al-Bukhari dan
Muslim).
Dalam
pengertian syariah, Khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan
Nabi saw. dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyah)
(Al-Baghdadi, 1995:20). Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian,
dalam perkembangan selanjutnya, istilah Khilafah digunakan untuk menyebut
Negara Islam itu sendiri (Al-Khalidi, 1980:226. Lihat juga: Dr. Wahbah
az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, IX/823).
Banyak
sekali definisi tentang Khilafah—atau disebut juga dengan Imamah—yang telah
dirumuskan oleh oleh para ulama. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Khilafah adalah kekuasaan umum atas seluruh umat, pelaksanaan urusan-urusan
umat, serta pemikulan tugas-tugasnya (Al-Qalqasyandi,Ma’âtsir al-Inâfah fî
Ma‘âlim al-Khilâfah, I/8). Imamah (Khilafah) ditetapkan bagi pengganti kenabian
dalam penjagaan agama dan pengaturan urusan dunia (Al-Mawardi, Al-Ahkâm
as-Sulthâniyah, hlm. 3).
Khilafah
adalah pengembanan seluruh urusan umat sesuai dengan kehendak pandangan syariah
dalam kemaslahatan-kemaslahatan mereka, baik ukhrawiyah maupun duniawiyah, yang
kembali pada kemaslahatan ukhrawiyah (Ibn Khladun Al-Muqaddimah, hlm. 166 &
190).
Imamah
(Khilafah) adalah kepemimpinan yang bersifat menyeluruh sebagai kepemimpinan
yang berkaitan dengan urusan khusus dan urusan umum dalam
kepentingan-kepentingan agama dan dunia (Al-Juwaini,Ghiyâts al-Umam, hlm. 15).
Dengan demikian, Khilafah (Imamah) dapat didefinisikan sebagai : kepemimpinan
umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan
mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Definisi
inilah yang lebih tepat. Definisi inilah yang diadopsi oleh Hizbut Tahrir
(Lihat: Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, Qadhi an-Nabhani dan diperluas oleh Syaikh
Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir, cet. VI [Mu’tamadah]. 2002 M/1422 H). Dalam
buku yang dikeluarkan Hizbut Tahrir berjudul, Azhijah ad-Dawlah al-Khilâfah
(Libanon: Beirut, 2005), perbedaan sistem pemerintahan Khilafah dengan
non-Khilafah disebutkan sebagai berikut. Khilafah bukan monarki (kerajaan).
Khilafah bukan kekaisaran (imperium). Khilafah bukan federasi. Khilafah bukan
republik. Khilafah: Sisitem Pemerintahan Khas.
Rasululah adalah
pemimpin teladan dalam Islam yang sepenuhnya berhukum kepada wahyu Allah dalam
mengatur seluruh urusan manusia dan dunia, bukan dengan hawa nafsu. Aturan dan
undang-undang dalam paradigma negara dalam Islam bersumber dari Al Qur’an dan
al hadits, bukan berdasarkan kesepakatan sosial.
Dengan demikian,
dalam konteks hari ini, seorang pemimpin yang wajib kita taati adalah pemimpin
yang mengatur sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar
negeri atau hukum-hukum syariah yang lain bersumberkan kepada Al Qur’an dan Al
Hadist.
Dengan kata lain
seorang pemimpin muslim yang menerapkan Islam secara kaafah. Selain itu
pemimpin itu juga harus seorang muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh,
adil, dan memiliki kemampuan. Menjadi pemimpin atau atau mentaati pemimpin
adalah perbuatan yang juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Kesalahan memilih
pemimpin yang tidak menerapkan Islam
secara kaffah akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Islam
memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaaffah. Nah, Ramadhan bagi
seorang pemimpin akan menjadi kekuatan untuk merealisasikan misi peradaban Islam.
(Kota Hujan,
22/03/24 M – 12 Ramadhan 1445 H, 05.22 WIB)