Oleh :
Ahmad Sastra
Sistem politik
demokrasi yang membawaan gen sekulerisme telah diterapkan sejak zaman plato. Meski
demikian, Plato sendiri justru berikan kritik tajam atas paham demokrasi ini. Menurut murid Sokrates ini bahwa demokrasi
berpotensi besar menghasilkan suatu sentimentalitas (seperti politik identitas)
dan dapat membuahkan suatu ketidakadilan.
Lebih-lebih
lagi, kebebasan dalam demokrasi tersebut dapat menghasilkan suatu oligharki
ephitumia, yakni terpilihnya segelintir orang karena faktor kekayaan untuk
memegang kekuasaan dan mereka mempunyai tujuan untuk mengamankan
kepentingan-kepentingan mereka.
Dengan
kata lain, mempunyai tujuan untuk mengejar suatu nafsu dunia. Sementara itu
menurut Plato, pemimpin harus dipilih berdasarkan alasan rasional, seperti
berdasarkan kemampuan. Dengan demikian secara konseptual dan paradigmatik,
demokrasi telah mengalami cacat bawaan dimana segelintir orang pemuas nafsu
duniawilah yang justru akan mengendalikan rakyat jelata. Hasilnya tentu saja
kontraproduktif, yakni kemiskinan terstruktur, kejahatan terorganisir,
kecurangan masif, dan tipu daya yang membudaya.
Kejahatan
oligarki akan tumbuh subur dalam sistem demokrasi, sebab karakter sekulerisme
demokrasi memberikan ruang lebar bagi kedaulatan hukum yang disusun oleh mereka
sendiri. Apapun keinginan mereka bisa diwujudkan dengan membuat produk hukum,
menghapusnya atau bahkan mengubahnya. Antroposentrisme demokrasi memungkinkan
para penjahat yang justru berkuasa dengan modal uang yang tak terbatas.
Ada
beberapa watak antroposentrisme demokrasi kapitalisme sekuler. Karena hasrat
yang selalu tidak terpuaskan, manusia melalui akal pengetahuannya berusaha
memenuhi hasratnya dengan berbagai gagasan yang mengindikasikan eksploitasi
kapitalis.
Karakter
antroposentrisme kapitalis yakni opresif / eksploitatif, reduksionis,
kuasa-menguasai (kolonialisme), berwawasan ilmu pengetahuan modern dan
berteknologi. Antroposentrisme kapitalis melihat alam sebagai objek, alat,
komoditas, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Antroposentrisme
kapitalis hadir sebagai ideologi untuk menggerakkan kaki- tangan proyek-proyek
pembangunan yang bermisikan ‘pembangunan peradaban’. Antroposentrisme
berkonspirasi dengan ilmu pengetahuan modern dengan mengabaikan cara-cara
pengetahuan ekologi dan pendekatan holistik, serta mengebirikan kaum perempuan
sebagai ahli.
Antroposentrisme
demokrasi dengan kendali penuh kaum oligarki hanya akan menghasilkan berbagai
bentuk kerusakan kemanusiaan, lingkungan dan nilai-nilai. Tidak ada satupun
kebaikan dalam demokrasi ini. Di berbagai belahan negara yang menerapkan
demokrasi akan terjadi berbagai kerusakan, kezoliman, penjajahan, amoralitas, nir
etika, dan ujungnya adalah kerusakan peradaban manusia pada umumnya.
Demokrasi
berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), ia selalu
diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang
paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Ia
juga dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan 'non material' manusia.
Nilai-nilai
Demokrasi itu kemudian diyakini akan dapat memanusiakan manusia, sebab
nilai-nilainya bertitik tolak dari 'nilai-nilai luhur' kemanusiaan. Anggapan
ini terutama muncul karena faktor penderitaan manusia akibat fasisme,
totaliterianisme, komunisme, dan paham-paham anti-demokrasi lainnya pada
beberapa dekade yang lalu. Definisi di atas mempertegas bahwa eksistensi tuhan
tidak dihitung, alias diabaikan. Padahal Indonesia konon katanya sebagai negara
berketuhanan yang maha esa. Semestinya aspek paradigmatic ini menjadi perhatian
utama pada akademisi muslim di kampus-kampus.
Ketiga
mengabaikan peran tuhan, maka praktek berdemokrasi didasarkan oleh teori
kontrak sosial, dimana kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang diberikan begitu
saja (taken for granted) atau berasal dari Tuhan (not derived from God).
Kedaulatan merupakan sebuah produk proses perjanjian sosial antara individu
dalam masyarakat, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan
ataupun berasal dari Tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Maka pada dasarnya
teori Kontrak Sosial merupakan suatu teori politik yang sepenuhnya bersifat
sekuler dan sangat bertentangan dengan manhaj Islam (ketentuan dan kebiasaan
dalam Islam). Perbedaan yang mendasar antara Islam dan demokrasi ada pada
paradigma kedaulatan hukum.
Padahal
Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an: Allah, tidak ada Tuhan (Yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di
langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya.
Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi (kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah
tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
(Qs. al-Baqarah [2]: 255). Dan Dialah Yang Berkuasa atas sekalian
hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs.
al-An'aam: 18).
Sekulerisme
sebagai sifat bawaan demokrasi adalah pandangan dunia yang menolak campur
tangan agama dalam kehidupan sosial, hukum, ekonomi, politik, dan budaya.
Dengan kata lain, sekulerisme adalah paham yang memisahkan antara kehidupan
dengan agama. Konsep ini menganggap bahwa kebijakan publik, hukum, dan etika
harus didasarkan pada akal budi, bukan agama. Dalam masyarakat sekuler,
kebebasan beragama diakui sebagai hak asasi manusia, tetapi agama diperlakukan
sebagai urusan pribadi dan tidak mempengaruhi kebijakan publik.
MUI
pernah menetapkan fatwa haram untuk liberalisme, pluralisme dan sekulerisme
agama pada tahun 2005. MUI berpendapat bahwa agama harus menjadi sumber nilai
dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya, dan bahwa pemisahan antara agama
dan negara yang diusung oleh sekulerisme dapat merusak dan memperlemah keimanan
umat muslim.
Pemisahan
antara agama dan negara yang diusung oleh sekulerisme dapat memperlemah
keimanan umat muslim, karena pandangan sekulerisme menolak campur tangan agama
dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya, sehingga nilai-nilai keagamaan
tidak lagi diakui sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Argumen
inilah yang menguatkan bahwa demokrasi itu haram bagi umat Islam, baik
menerapkan maupun menyebarkan. Muslim harus kembali ke jalan lurus yang telah
disediakan Allah, yakni jalan Islam.
(AhmadSastra,KotaHujan,15/02/24
: 15. 15 WIB)