Oleh :
Ahmad Sastra
Politik
demokrasi sejak kelahirannya berwatak pragmatisme dan transaksional, karena
bersifat antroposentrisme dimana relasi antara penguasa dan rakyat didasarkan
oleh transaksi politik. Penguasa disebut sebagai pengemban amanah rakyat yang
memilihnya. Hanya saja untuk menjadi penguasa, sistem demokrasi mengharuskan
adanya biaya sangat tinggi karena adanya traksaksi ini. Disinilah lahirnya pragmatisme
dan transaksional sistem demokrasi yang menjadi awal dari munculnya berbagai
bentuk kerusakan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme bahkan penipuan dan
kebohongan.
Pragmatisme adalah pandangan filosofis yang
menekankan pentingnya mempertimbangkan konsekuensi praktis dari ide atau
tindakan sebagai kriteria utama dalam menilai kebenaran atau nilai. Menurut
pandangan ini, suatu gagasan atau tindakan dianggap benar atau berguna jika
menghasilkan hasil yang diinginkan atau berhasil memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam rumus demokrasi, yang disebut hasil itu bersifat materialisme semata. Demokrasi
dengan demikian tidak memiliki ruh ketuhanan.
Pragmatisme menempatkan penekanan pada
pengalaman langsung, observasi, dan eksperimen sebagai cara untuk memperoleh
pengetahuan yang berguna. Filosof terkenal seperti William James, John Dewey,
dan Charles Sanders Peirce merupakan tokoh-tokoh utama dalam perkembangan
pragmatisme sebagai aliran filosofis yang signifikan. Pandangan ini
kemudian berkembang di dunia politik dan tumbuh subur dalam sistem demokrasi
sekuler.
Pragmatisme
politik adalah pendekatan dalam politik yang menekankan pada penyesuaian
tindakan dan kebijakan politik berdasarkan pada apa yang dianggap sebagai
"pragmatis" atau efektif dalam mencapai tujuan tertentu, tanpa harus
terlalu memperhatikan ideologi atau prinsip yang mendasarinya. Dalam
pragmatisme politik, keputusan politik diambil berdasarkan pada penilaian atas
konsekuensi praktis dari suatu tindakan atau kebijakan, bukan berdasarkan pada
pertimbangan ideologis atau nilai-nilai yang abstrak. Sejak lahir, demokrasi
sudah sekuler. Memisahkan antara agama dan politik.
Tokoh-tokoh
politik yang mengadopsi pendekatan pragmatis ini sering kali menekankan
pentingnya fleksibilitas, adaptabilitas, dan responsibilitas terhadap perubahan
situasi dan kondisi yang ada. Mereka mungkin menggabungkan elemen-elemen dari
berbagai ideologi atau pendekatan politik, tergantung pada apa yang dianggap
paling efektif dalam konteks tertentu.
Namun demikian,
kritik terhadap pragmatisme politik sering kali menyoroti potensi untuk
mengorbankan konsistensi ideologis atau nilai-nilai prinsipil dalam kepentingan
pencapaian tujuan-tujuan pragmatis, termasuk di dalamnya etika. Pragmatisme politik juga dapat memicu
ketidakpastian atau kebingungan mengenai arah atau identitas politik suatu
pihak atau pemimpin politik, karena terkesan lebih fokus pada pencapaian
keuntungan atau kekuasaan daripada pada kesetiaan terhadap ideologi atau
nilai-nilai yang konsisten. Demokrasi tak beretika, tak beragama sekaligus tak
bertuhan.
Politik transaksional adalah pendekatan dalam
politik yang menekankan pada pertukaran atau transaksi antara pihak-pihak
politik untuk mencapai tujuan mereka. Dalam konteks ini, pertukaran tersebut
bisa berupa dukungan politik, suara dalam pemilihan, atau sumber daya lainnya
seperti uang.
Pendekatan ini sering kali menekankan
pragmatisme dan penggunaan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu, terlepas
dari pertimbangan ideologis yang kuat, sebab yang ada dalam pikiran hanya
bagaimana bisa berkuasa lantar mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta dunia.
Pihak yang terlibat dalam politik transaksional sering kali melihat politik
sebagai permainan kekuasaan dan menggunakan strategi taktis untuk memperoleh
keuntungan.
Meskipun politik transaksional dapat
menciptakan kesepakatan yang dapat menghasilkan perubahan atau keputusan
politik, kritikusnya sering menyatakan bahwa pendekatan ini dapat mengorbankan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang lebih mendasar demi kepentingan singkat.
Pragmatisme politik pada faktanya selalu mengabaikan nilai, etika dan agama. Esensi
demokrasi itu tak bertuhan. Negara yang menerapkan tak mementingkan agama. Pendukung
demokrasi tak mementingkan etika.
Praktek politik demokrasi biasanya cenderung berwatak machievalistik,
sebab paham ini paling cocok dalam demokrasi. Politik Machiavellianisme merujuk
pada pendekatan politik yang terinspirasi oleh karya Niccolò Machiavelli,
terutama "The Prince" ("Il Principe") yang ditulisnya pada
abad ke-16. Dalam karyanya, Machiavelli menguraikan prinsip-prinsip yang
dianggapnya efektif untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik.
Pendekatan ini sering kali dianggap sebagai cenderung realistis dan
kadang-kadang diinterpretasikan sebagai membenarkan tindakan-tindakan yang
tidak bermoral atau manipulatif dalam politik. Dalam "The Prince",
Machiavelli menekankan pentingnya bagi seorang penguasa untuk menggunakan
segala cara yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaannya, bahkan jika itu
berarti bertindak tidak jujur, melanggar janji, atau menggunakan kekerasan. Demokrasi
itu sebenarnya sebuah kejahatan politik, jika tidak hendak dikatakan keculasan.
Politik Machiavellianisme menempatkan kepentingan dan keberhasilan
politik di atas segala-galanya, dan pihak yang mengadopsi pendekatan ini
cenderung mengutamakan kekuasaan, stabilitas politik, dan keuntungan pribadi
atau kelompok atas segala hal lainnya. Meskipun sering kali dianggap
kontroversial atau bahkan immoril, pendekatan ini tetap menjadi subjek kajian
dan debat dalam ilmu politik dan filsafat politik, karena menghadirkan
pertanyaan-pertanyaan penting tentang hubungan antara etika dan kekuasaan dalam
politik.
Dari sifat machievalistik demokrasi menuju paham materialisme. Materialisme
politik adalah kerangka pemikiran dalam ilmu politik yang menekankan peran
materi atau faktor ekonomi dalam membentuk struktur politik, kebijakan, dan
dinamika kekuasaan dalam masyarakat. Konsep ini berakar dalam teori
materialisme historis yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels.
Dalam konteks materialisme politik, faktor-faktor ekonomi seperti
kepemilikan properti, distribusi kekayaan, dan struktur kelas sosial dianggap
sebagai kekuatan utama yang membentuk politik dan kebijakan. Pemikiran ini
menekankan bahwa kebijakan politik sering kali mencerminkan kepentingan kelas
dominan atau elite ekonomi dalam masyarakat. Elit ekonomi disebut sebagai
oligarki sebagai anak kandung ideologi kapitalisme.
Materialisme politik juga memperhatikan bagaimana kekuatan ekonomi
memengaruhi proses pembentukan kebijakan, pengambilan keputusan politik, dan
distribusi kekuasaan di dalam masyarakat. Misalnya, teori materialisme politik
dapat menjelaskan bagaimana oligarki atau kelompok kepentingan ekonomi mempengaruhi
kebijakan fiskal, regulasi bisnis, atau kebijakan perdagangan internasional.
Meskipun materialisme politik memberikan wawasan penting tentang
hubungan antara ekonomi dan politik, kritikusnya menyoroti bahwa pendekatan ini
terlalu deterministik dan kurang memperhitungkan faktor-faktor non-ekonomi yang
juga dapat memengaruhi dinamika politik, seperti budaya, identitas, atau faktor
institusional. Selain itu, pendekatan ini juga bisa mendorong untuk mengabaikan
peran agen individu atau kelompok dalam mengubah struktur politik dan ekonomi.
Daya rusak pragmatisme
politik demokrasi yang berwatak pragmatis, transaksional, machievalistik dan
sekuleristik dapat tercermin dalam
beberapa aspek. Pertama, pragmatisme politik sering kali memungkinkan para
pemimpin untuk mengabaikan atau mengorbankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang mendasari demokrasi atau hak asasi manusia demi mencapai tujuan-tujuan
pragmatis. Ini bisa mengarah pada tindakan-tindakan yang tidak etis atau tidak
bertanggung jawab.
Kedua, karena pragmatisme politik cenderung berfokus pada tindakan yang
paling efektif dalam situasi tertentu, hal ini dapat menciptakan ketidakpastian
dan ketidakstabilan dalam kebijakan publik. Perubahan kebijakan yang sering
atau tidak konsisten dapat mengganggu kepercayaan publik dan stabilitas
politik.
Ketiga, dalam beberapa kasus, pragmatisme politik dapat
menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada kekuasaan dan kepentingan
khusus, seperti korporasi atau kelompok politik tertentu, dari pada kepentingan
masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat mengakibatkan korupsi, kebijakan
yang merugikan, atau konsentrasi kekuasaan yang tidak sehat.
Keempat, pendekatan pragmatis yang terlalu pragmatis dalam
politik dapat memperkuat polarisasi politik dengan menekankan pada
taktik-taktik jangka pendek yang memperkuat perpecahan antara partai politik
atau kelompok masyarakat, daripada mencari kesepakatan atau solusi jangka panjang
yang dapat memperbaiki perbedaan-perbedaan politik.
Kelima, ketika pragmatisme politik diinterpretasikan sebagai
keengganan untuk memegang teguh nilai-nilai atau janji-janji kampanye, hal ini
dapat menyebabkan kehilangan kepercayaan publik terhadap pemerintah atau
institusi politik secara keseluruhan.
Dengan penjelasan di atas, penerapan demokrasi yang pragmatis dan
transaksional sebenarnya suatu negara sedang mewariskan keburukan bagi generasi
bangsa sekaligus sedang menjerumuskan ke dalam jurang kehancuran peradaban
bangsa tersebut. Indonesia sendiri menerapkan ideologi rusak ini, jadi
bersiaplah menuju jurang kehancurannya.
(AhmadSastra,KotaHujan,24/02/24 : 13.16 WIB)