Oleh : Ahmad
Sastra
Ethical
relativism is the view that there is no one universal standard of right and
wrong, but that what is considered right or wrong varies from culture to
culture and individual to individual. This means that there are no absolute
moral truths, and that what is considered right in one culture may be
considered wrong in another.
Demokrasi, sebuah
ideologi buruk yang kini tengah diterapkan oleh hamper negara di dunia. Keburukan
demokrasi itu terletak pada tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber hukum dan
perundang-undangan, sehingga yang terjadi adalah perebutan kekuasaan manusia pemuja
nafsu duniawi. Jika nafsu telah menjadi standarnya maka hukum agama akan
diabaikan.
Bahkan etika dan
moralitas akan otomatis menjadi sangat relatif, baik oleh tiap individu,
kelompok, bangsa maupun negara. Relativitas etika yang yang diproduk oleh
demokrasi ini akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup manusia. Jika secara
subyrktif, tiap orang bisa memberikan justifikasi atas perilakunya, maka
hancurlah kehidupan manusia.
Relativisme etis
yang berpendapat bahwa penilaian baik-buruk dan benar-salah tergantung pada
masing-masing orang disebut relativisme etis subjektif atau analitis. Adapun
relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian etis tidak sama, karena tidak
ada kesamaan masyarakat dan budaya disebut relativisme etis kultural.
Relativisme etika
adalah pandangan bahwa nilai-nilai moral bergantung pada konteks budaya,
sejarah, atau individu, dan tidak ada standar moral yang universal atau
objektif. Dalam pandangan ini, tidak ada nilai moral yang benar atau salah
secara mutlak, tetapi nilai-nilai moral ditentukan oleh faktor-faktor seperti
kepercayaan budaya, tradisi, atau pandangan subjektif.
Itulah mengapa
dalam setiap budaya dan kebudayaan sejak zaman dahulu hingga sekarang memiliki paradigm
sendiri dalam memandang moral dan etika. Bahkan di negeri ini karena perbedaan
suku, maka berbeda juga adat dan budayanya yang pada akhirnya melahirkan etika
dan moralitas yang berbeda juga.
Setidaknya ada
tiga pandangan terkait relativitas etika ini. Pertama, relativisme budaya.
Pandangan ini menyatakan bahwa nilai-nilai moral berbeda antar budaya. Hal yang
dianggap benar atau salah dapat bervariasi tergantung pada norma dan kebiasaan
budaya masing-masing.
Kedua, relativisme
subjektif. Menurut pandangan ini, nilai-nilai moral berasal dari pandangan atau
keyakinan individu. Artinya, apa yang dianggap benar atau salah oleh seseorang
adalah subjektif dan berbeda-beda antar individu.
Ketiga,
relativisme historis. Pandangan ini menyatakan bahwa nilai-nilai moral berubah
seiring waktu, dan apa yang dianggap benar atau salah dapat berbeda dari satu
periode sejarah ke periode sejarah lainnya.
Meskipun
relativisme etika menekankan pluralitas nilai-nilai moral dan mengakui
keragaman budaya, pendekatannya juga telah mendapat kritik. Kritik terhadap
relativisme etika termasuk argumen bahwa itu dapat mengarah pada moralisme yang
dangkal, karena tidak ada standar moral yang tetap untuk menilai
tindakan-tindakan yang berbeda. Selain itu, kritikus juga berpendapat bahwa
relativisme etika dapat membuat sulit untuk mengatasi masalah moral yang
kompleks, karena tidak ada kerangka kerja moral yang konsisten untuk
merujuknya.
Hubungan antara
demokrasi dan relativisme etika bisa sangat kompleks dan bervariasi tergantung
pada bagaimana konsep-konsep ini didefinisikan dan diinterpretasikan. Pemahaman
tentang kebebasan berpendapat (freedom of speech) merupakan bagian dari
relativisme etika.
Demokrasi sering
kali mempromosikan kebebasan berpendapat, yang mencakup berbagai pandangan
etika yang mungkin relatif satu sama lain. Dalam masyarakat demokratis,
orang-orang memiliki kebebasan untuk mempertahankan dan mempraktikkan
nilai-nilai moral yang berbeda, asalkan tidak melanggar hak-hak atau kebebasan
individu lainnya.
Demokrasi sering
kali dijalankan di dalam masyarakat yang beragam secara budaya dan etnis.
Pendukung demokrasi sering menekankan pentingnya menghormati pluralisme nilai,
yang sesuai dengan pandangan relativisme etika bahwa nilai-nilai moral dapat bervariasi
antara individu dan kelompok. Atas nama HAM misalnya, demokrasi di Amerika
menghargai kaum LGBT, bahkan membuat perlindungan hukumnya.
Namun, di sisi
lain, pendekatan relativis etika juga dapat menimbulkan tantangan dalam konteks
demokrasi, terutama ketika harus membuat keputusan kolektif tentang masalah
moral yang kompleks. Relativisme etika yang ekstrim dapat mengarah pada situasi
di mana tidak mungkin mencapai konsensus tentang nilai-nilai moral tertentu. Inilah
sering terjadi di negeri demokrasi yakni adanya pertarungan politik yang tidak
sehat dengan takaran yang tidak jelas juga. Demokrasi memang ruwet.
Prinsip-prinsip
demokrasi sering kali mencakup perlindungan hak asasi manusia, yang mungkin
memerlukan batasan terhadap relativisme etika yang melanggar hak-hak individu
yang mendasar. Hal-hal yang dilarang oleh agama justru dibolehkan oleh
demokrasi, sementara hal-hal yang dibolehkan oleh agama justru dianggap masalah
oleh demokrasi. Inilah yang disebut relativisme etika dalam demokrasi.
Dalam sistem
demokratis, hukum sering kali menjadi instrumen untuk mencapai keadilan sosial.
Namun, hukum tersebut haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang
diakui secara luas, yang mungkin memerlukan pembatasan terhadap relativisme
etika dalam beberapa kasus.
Hukum dalam
demokrasi itu dibuat oleh manusia yang memang punya banyak kepentingan sakilus
punya pandangan hidup yang relatif. Sekulerisme demokrasi menjadikan hukum
agama tidak dipakai.
Penting untuk
diingat bahwa hubungan antara demokrasi dan relativisme etika tidak selalu
sejalan atau konsisten. Terkadang ada ketegangan antara prinsip-prinsip
demokrasi yang mempromosikan pluralisme nilai dan prinsip-prinsip moral yang
mendasari hak asasi manusia atau keadilan sosial.
Dalam prakteknya,
penyeimbangan antara kedua prinsip ini sering kali merupakan tantangan yang
kompleks bagi masyarakat demokratis. Hal ini ini sulit dan mustahil terwujud. Yang
terjadi sebaliknya, berbagai masalah sosial justru makin subuh dalam sistem
demokrasi. Hal ini tentu saja berbeda jika negeri ini merapkan Islam.
(AhmadSastra,KotaHujan,16/02/24
: 07.40 WIB)