POLITIK NIR-ADAB MELAHIRKAN PEMIMPIN JAHAT



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Bisa dimengerti jika ada anak kecil takut akan gelap, namun sulit dimengerti, hari ini, ada banyak orang dewasa yang justru takut akan terang (Plato)

 

Di negeri ini, masalah  etika dan hukum dipisahkan. Keduanya dianggap dua hal yang berbeda. Namun sering muncul sebuah pertanyaan, apakah etika yang melandasi hukum atau hukum yang melandasi etika. Apakah pelanggaran etika berimplikasi kepada pelanggaran hukum atau tidak ?.  Lebih ironi lagi jika keduanya dipandang dalam sudut pandang politik kepentingan. Jika Etika atau adab diabaikan, Lantas apa artinya pancasila sila ke dua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab.

 

Hasilnya, keduanya menjadi obyek dari subyektivitas politik. Politik pragmatis dan transaksional seringkali justru tak beradab dan tidak berdasarkan hukum. Akibatnya hubungan antara adab, hukum dan politik tak lagi harmonis. Ketiganya menjadi abu-abu, bergantung kepada dominasi  subyektivitas elit politiknya. Dengan demikian sistem politik demokrasi sekuler kapitalisme cenderung melahirkan politik nir adab atau politik tak beradab.

 

Sebenarnya antara Etika dan adab itu dua hal yang berbeda. Namun secara substansi  keduanya merujuk pada nilai. Dasar etika adalah konsensus sosial dalam masyarakat tertentu yang berdasarkan nilai-nilai yang dijadikan sandaran. Karena itu etika berkorelasi juga dengan budaya masyarakat tertentu. Etika yang berlaku dalam komunitas masyarakat yang satu berbeda dengan masyarakat lainnya. Etika biasanya tidak tertulis. Itulah sebabnya pelanggaran etika biasanya berujung kepada sangsi sosial. Etika bersifat informal.

 

Sementara kata adab merupakan kata yang berasal dari terminologi Islam. Adab secara bahasa artinya menerapakan akhlak mulia. Dalam Fathul Bari (10/400) , Ibnu Hajar menyebutkan bahwa adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Karena pentingnya adab, Ibn Sirin mengatakan bahwa dahulu para ulama mempelajari adab sebagaimana menguasai ilmu.

 

Masyarakat beradab adalah masyarakat yang memiliki kepribadian mulia yang berakar dari keimanan dan ketaqwaan. Maka peradaban adalah sebuah sistem kehidupan yang meliputi seluruh aspek dengan landasan iman dan taqwa. Dengan kata lain negara yang berperadaban adalah negara yang berlandaskan syariah Islam.

 

Meminjam bahasa Sir Muhammad Iqbal, negara yang beradab adalah negara yang peradabannya berdasarkan tauhid. Aspek peradaban seperti ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sosial yang berjalan sebagai suatu sistem yang berdiri diatas pondasi tauhid.

 

Bagi Iqbal, Al Qur’an adalah sumber peradaban suatu bangsa. Tujuan diturunkannya Al Qur’an adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi tentang hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Suatu bangsa harus mampu membumikan Al Qur’an dengan nalar dan pemikiran sesuai dengan semangat dan dinamika masyarakat.

 

Allah akan mengangkat derajat suatu bangsa jika beriman dan berilmu, sebab iman melahirkan adab dan adab mendahului ilmu. “ Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).

 

Politik nir adab akan melahirkan tujuan karakter pemimpin. Pertama, pemimpin sesat. Kedua, pemimpin bodoh. Ketiga, pemimpin penolak kebenaran, penyeru kemungkaran. Keempat, pemimpin yang berkuasa dengan mengancam kehidupan dan mata pencaharian rakyatnya. Kelima, pemimpin yang mengangkat pembantu orang-orang jahat. Keenam, pemimpin diktator yang bengis dan kejam. Ketujuh, pemimpin zindik atau pura-pura beriman.

 

Sedangkan hukum adalah seperangkat aturan formal dan tertulis yang mengikat setiap individu dan masyarakat. Pelanggaran hukum berujung kepada sangsi hukum, baik pidana maupun perdata. Dasar hukum sebenarnya sama dengan dasar etika, yakni konsensus sosial. Bedanya, jika hukum adalah hasil konsensus elit politik, sementara etika adalah konsensus elit sosial masyarakat yang terbentuk secara turun temurun.

 

Namun demikian, antara etika dan hukum tetap memiliki kesamaan fundamental, bahwa keduanya adalah nilai yang didasarkan oleh konsensus sosial dalam memandang dan menimbang realitas, apakah baik atau buruk. Karena keduanya dibentuk oleh subyektivitas sosial, maka etika dan hukum akan berbeda dalam setiap negara dan masyarakat.

 

Sementara politik dalam konsensus kekinian adalah upaya untuk meraih kepentingan individu dan kelompok melalui kekuasaan. Meski secara normatif  ada latar belakang ideologis dalam berpolitik, namun secara empirik praktek politik praktis lebih banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan individu dan golongan yang kerap mengakibatkan dominasi orientasi pragmatisme dibanding ideologis.

 

Hasilnya, terjadilah perebutan jabatan melalui praktek transaksional yang materialistik. Dalam kondisi inilah etika dan hukum menjadi tidak berlaku. Bahkan seringkali politik justru memperdaya etika dan hukum demi menjaga kepentingan politiknya. Inilah akibatnya jika kehidupan berbangsa dan bernegara berpusat kepada manusia dan mengabaikan peran Tuhan. Etika, hukum dan politik dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia telah mengakibatkan hilangnya sendi-sendi nilai tergerus oleh kepentingan dan hawa nafsu.       

 

Socrates memandang manusia itu mengatur dirinya, ia membuat peraturan untuk itu. Manusia mengurus dirinya dan alam berdasarkan  manusia itu sendiri. Manusia adalah sentral segalanya. Plato berpendapat  bahwa manusia terdiri dari tiga dimensi utama yakni ruh, nafsu dan rasio. Rasio digunakan manusia untuk dapat mengendalikan kedua dimensi yang lain. Ibarat seorang kusir kereta yang mengendalikan dua ekor kuda yang hitam dan putih sebagai gambaran nafsu dan ruh.

 

Berdasarkan ketiga unsur tadi, Plato membagi manusia menjadi tiga golongan. Pertama, manusia yang didominasi oleh rasio yang hasrat utamanya adalah meraih pengetahuan. Kedua, manusia yang didominasi oleh ruh yang hasrat utamanya adalah meraih reputasi. Ketiga, manusia yang didominasi oleh nafsu yang hasrat utamanya adalah meraih materi. Tugas rasio adalah mengontrol roh dan nafsu.

 

Naquib Al Attas  memandang  keberadaan manusia di dunia ini dilengkapi dengan dua keadaan. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari jasad dan ruh, artinya makhluk jasadiyah sekaligus ruhaniah. Realitas yang mendasari dan prinsip yang menyatukan apa yang kemudian dikenal sebagai manusia bukanlah perubahan jasadnya, melainkan keruhaniaanya. Dengan demikian, ketika bergelut dengan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual dan pemahaman, ia (yaitu, ruh manusia) disebut ’intelek’, ketika ia mengatur tubuh, ia disebut ’jiwa’ ketika sedang mengalami pencerahan intuisi, ia disebut ’hati’ dan ketika kembali ke dunianya yang abstrak, ia disebut ’ruh’.

 

Pada hakekatnya, ia selalu aktif memanifestasikan dirinya dalam keadaan-keadaan ini. Berangkat dari unsur ruh inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki keterikatan khusus dengan Sang  Pencipta. Manusia sebelum dilahirkan atau waktu sebelum perpisahan  (time of the preparation),  ruhnya telah mengadakan perjanjian, karena manusia memiliki keberutangan dengan Allah sang pencipta dirinya.

 

Ghazaly mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu an nafs (jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al makulat) yang berasal dari alam malakut atau alam amr. Ini menunjukkan esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat. Dan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik.

 

Alam al amr atau alam malakut adalah realitas di luar jangkauan indra dan imajinasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Sebagai lawan dari alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia tubuh dan aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subyek yang mengetahui (Bashirah). Menghayati mulai dari kesadaran fisik sampai kepada kesadaran transendental dimana kesejatian manusia adalah sesuatu yang bukan fisik.

 

Al Faruqi yang mengungkapkan bahwa manusia merupakan kajian yang paling menarik sepanjang waktu, sebab manusia merupakan mahakarya Allah SWT terbesar. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan dan menjadi sejarah dan ia makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan.

 

Manusia merupakan satu kesatuan jiwa dan raga dalam hubungan timbal balik dengan dunianya dan sesamanya. Ada unsur lain dalam diri manusia yang dengannya manusia dapat mengatasi dunia dan sekitarnya serta dirinya sebagai jasmani, unsur itu namanya jiwa.

 

Kehidupan bernegara dalam pandangan Islam merupakan upaya mengharmoniskan tiga kekuatan sekaligus yakni rakyat, penguasa dan Tuhan. Meski kepemimpinan negara adalah jabatan duniawi, namun amanah ini sangat berat. Seorang pemimpin dalam Islam harus mampu mengejawantahkan hukum-hukum Allah dalam mengatur rakyat yang dipimpinnya. Karena itu istilah politik dalam Islam dimaknai sebagai upaya untuk mengurus seluruh urusan rakyat dengan timbangan hukum-hukum Allah. Sementara pemimpin sebagai ulil amri adalah orang yang diberi amanah untuk menjalankannya. Ulil amri bukan hanya bertanggungjawab di hadapan rakyat, melainkan harus juga bertanggungjawab di hadapan Allah.

 

Masalah Kepemimpinan dalam pandangan  Islam adalah perkara yang sangat penting.  Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam Islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Syidiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.

 

Fungsi  kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur  urusan manusia agar tertib sejalan dengan  nash Al Qur’an  serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rosulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah  perjalanan  . Islam mewajibkan rakyat untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan rakyat dengan hukum-hukum ilahi.

 

Karena itu antara hukum, akhlak dan politik adalah tiga aspek yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Ketiganya harus melekat dalam diri seorang pemimpin. Dalam mengurus urusan rakyat, seorang pemimpin harus merujuk pada hukum dan aturan yang telah Allah tetapkan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara akhlak adalah segala kebijakan dan  perilaku seorang pemimpin yang sejalan dengan hukum dan aturan Allah. Dengan kata lain, akhlak adalah perwujudan dari hukum-hukum Allah dalam sikap dan perilaku seorang pemimpin.

 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya. Sebaliknya tidak wajib taat kepada pemimpin jika ia tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan  kemaksiatan kepada Allah.

 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW laa thoata li makhluqin fii maksiatil kholiq, artinya tidak ada ketaatan kepada makhluk yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad). Dengan demikian ketaatan kepada pemimpin dalam  pandangan Islam hanya jika pemimpin tersebut terikat kepada hukum dan aturan Allah SWT dalam merumuskan hukum dan perundang-undangan. 

 

Dalam tata kenegaraan yang berbasis nilai sekuler akan melahirkan etika sekuler, hukum sekuler dan politik sekuler.  Prinsip nilai sekuler adalah penafikan peran agama dalam mengatur kehidupan manusia. Sekulerisme hanya berpusat kepada manusia dan dunia, mengabaikan Tuhan dan kehidupan akherat. Seperti ungkapan Sokrates diatas, ujung dari kepentingan politik sekuler adalah materi semata. Sebab hakekat makna sekuler adalah kedisinikian yakni keduniawian semata.

 

Sementara dalam pandangan Islam, ujung dari politik adalah kesejahteraan manusia dengan menjadikan nilai-nilai ilahiyah sebagai asas pengambilan kebijakan. Sebab politik dalam Islam pada hakekatnya adalah amanah Allah yang harus diemban dan dipertanggungjawabkan. Politik adalah ibadah bukan kepentingan individu. Akhlak dan hukum dalam Islam tidaklah berubah sejalan dengan kepentingan manusia. Justru manusia yang harus terikat dengan hukum Allah.

 

Dalam Islam, manusia terikat dengan hukum Allah. Dalam sistem sekuler, hukum terikat dengan manusia.   Islam mengintegrasikan antara akhlak, hukum dan politik sebagai manifestasi keimanan kepada Allah, sementara sekulerisme memisahkan ketiganya. Politik Islam mengantarkan manusia kepada kebajikan dan kebahagiaan sempurna, sementara sekulerisme mengantarkan manusia kepada kerusakan dan kesengsaraan. Politik Islam adalah manifestasi kehendak Tuhan, sementara sekulerisme adalah manifestasi kehendak manusia.

 

Dan yang pasti Allah adalah maha mengetahui yang terbaik bagi makhluknya, sementara manusia untuk memahami diri sendiri saja seringkali tak mampu. Saatnya Indonesia lepas dari jeratan sekulerisme dalam memaknai etika, hukum dan politik demi kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki. Islam adalah konsep yang jelas dan terang benderang, mengapa banyak yang justru takut ?

 

Cukuplah peringatan Allah berikut menjadi renungan untuk bangsa ini, rakyat dan para pemimpinnya, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (QS 20 :124). “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan ( ayat-ayat kami ) itu sehingga Kami mmenyiksa mereka karena perbuatan yang mereka kerjakan”. ( QS 7 : 96 (       

 

Pemikiran Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, seperti politik, sosial kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan, dan akhlaq. Islam hadir dengan membawa aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tercakup dalam aqidah dan ibadah.

 

Sedangkan aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri tercakup dalam hukum-hukum tentang makanan, pakaian, dan akhlaq. Selebihnya adalah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, semisal, masalah mu’amalah, ‘uqubaat, dan politik luar negeri.

 

Menurut Sosiolog muslim, Ibnu Khaldun, suatu peradaban akan runtuh disebabkan oleh lima hal. Pertama, ketidakadilan, yang menyebabkan jarak antara orang kaya dan miskin begitu lebar. Kedua, merajalelanya penindasan, yang kuat menindas yang lemah. Ketiga, runtuhnya adab atau moralitas para pemimpin negara. Keempat, pemimpin yang tertutup, tidak bisa dinasehati, meski berbuat salah. Kelima, bencana alam besar-besaran.

 

Sebagaimana diketahui bahwa Pancasila sila kedua berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini dapat dimaknai dan direalisasikan jika merujuk kepada kepada akar katanya. Islam dengan kesempurnaan konsepnya telah menawarkan keadilan yang benar dan peradaban yang mulia. Konsepsi Islam berbeda yang konsepsi kapitalisme dan komunisme, sebab Islam membangun konsepsi kehidupan berlandaskan apa yang dikehendaki oleh Allah.

 

Sementara konsepsi kehidupan kapitalisme bersifat sekuleristik, dimana kehendak Tuhan tidak dilekatkan dalam mengatur kehidupan. Sementara komunisme berpaham ateistik dimana eksistensi Tuhan tidak diakui. Paham kehidupan komunisme didasarkan oleh dialektika materialisme, dimana segala sesuai berasal dari materi dan akan kembali menjadi materi melalui sebuah proses yang disebut evolusi materi.

 

Karena itu membangun Indonesia yang adil dan beradab yang akan melahirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus didasarkan oleh paradigma Islam ini. Sebab kata adab, beradab dan peradaban berasal dari akar kaya yang sama yakni kemuliaan pola pikir dan pola sikap berlandaskan tauhid. Masyarakat beradab adalah masyarakat yang beriman, bertaqwa, maju dan mulia.

 

Masyarakat beriman dan bertaqwa adalah masyarakat yang dikehendaki juga oleh konstitusi negara ini. Lebih jauh dari ini, masyarakat beradab akan mendatangnya keberkahan dari Allah, baik keberkahan dari langit maupun bumi. Saatnya bangsa ini merefleksi, sudah beradabkan politik bangsa ini ?. Nampaknya belum, politik di negeri ini cenderung nir adab atau tidak beradab. Sebab sekulerisme masih menjadi paradigma berpolitik, bukan Islam.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,26/01/24 : 10. 45 WIB)

 

 

 

              

           

 

 


__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.