Oleh : Ahmad
Sastra
Jikalau Sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96). Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya setan itu musuh yang
nyata bagimu (QS Al Baqarah : 208)
Menjadi seorang
muslim dan mukmin adalah menjadi orang yang dengan sadar harus melaksanakan
segala hukum dan aturan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Menjadi seorang
muslim berarti siap untuk senantiasa terikat dengan ajaran Islam. Keterikatan
semua sikap dan tingkah laku kepada Islam adalah konsekuensi keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT.
Terlebih seorang
pemimpin yang bertanggungjawab memimpin rakyat, maka visinya harus untuk
mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Pemimpin itu
ibarat nahkoda sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah lautan luas dengan
ombal yang setiap saat bisa menghamtamnya. Nahkoda adalah orang yang paling
bertanggungjawab kemana kapal berlayar. Nahkoda adalah pemimpin dan kapal
adalah wadah atau sistemnya.
Misi seorang
pemimpin dalam paradigma Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan rakyat di
dunia dan keselamatan di akhirat. Pemimpin dalam paradigm Islam adalah yang
senantiasa berorientasi kepada kemajuan peradaban bangsa dan keberkahan hidup
di dunia. Pemimpin dalam paradigma Islam juga selalu berorientasi kepada
kehidupan akhirat yang abadi. Allah telah berfirman : Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan
di dunia ini dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka
(QS Al Baqarah : 201)
Islam adalah
agama yang benar dan sempurna karena berasal dari Allah yang maha sempurna.
Islam adalah pedoman hidup menuju keselamatan dunia akherat. Meninggalkan hukum
dan peringatan Allah akan melahirkan kesengsaraan dan kesempitan hidup. Hal ini
sejalan dengan peringatan Allah SWT : Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku,
Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang
sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan
buta". (QS Thaha : 124)
Masalah kepemimpinan
dalam pandangan Islam adalah perkara
yang sangat penting. Saking pentingnya
keberadaan kepemimpinan dalam islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat
menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah
memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu
Bakar Asy Syidiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.
Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk
mengatur urusan manusia agar tertib sejalan
dengan nash Al Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan
perselisihan. Rosulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi
pemimpin dalam sebuah perjalanan. Islam
mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni
orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat
. Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa : 59).
Ayat ini
memberikan pemahaman kepada kita bahwa wajib bagi kita untuk mentaati Ulil Amri
atau pemimpin di antara kita. Secara bahasa (harfiah) ulil amri bermakna
penguasa atau orang yang memegang urusan. Pemimpin menurut Imam Bukhari dan Abu
Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan
orang-orang yang dipimpinnya.
Abu Hurairah
memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin
Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan).
Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama.
Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul.
Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.
Ibnu Abbas
memaknai ulil amri sebagai al umara wa al wullat atau para penguasa. Kontek
ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban mentaati para penguasa. Sayyidina
Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi
menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah
berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah.
Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya.
Sebaliknya tidak
wajib taat kepada kemimpin tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah
diturunkan Allah SWT atau memerintahkan
kemaksiatan kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW laa thoata li
makhluqin fii maksiatil kholiq Tidak ada ketaatan kepada makhluk yang
memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad) Dengan demikian ketaatan
kepada pemimpin dalam pandangan Islam
hanya jika pemimpin tersebut terikat kepada hukum dan aturan Allah SWT dalam
merumuskan hukum dan perundang-undangan.
Kepemimpinan
dalam Islam adalah kepemimpinan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Ketaqwaan
adalah pelaksanaan seluruh perintah Allah dalam urusan pribadi dan negara serta
menjauhi seluruh larangan Allah dalam urusan pribadi dan negara. Allah perintahkan
umat ini untuk menjalankan Islam secara kaffah, tidak boleh setengah-setengah. Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang
nyata bagimu (QS Al Baqarah : 208)
Rasululah adalah
pemimpin teladan dalam Islam yang sepenuhnya berhukum kepada wahyu Allah dalam
mengatur seluruh urusan manusia dan dunia, bukan dengan hawa nafsu. Aturan dan
undang-undang dalam paradigma negara dalam Islam bersumber dari Al Qur’an dan
al hadits, bukan berdasarkan kesepakatan sosial. Dengan demikian, dalam konteks
hari ini, seorang pemimpin yang wajib kita taati adalah pemimpin yang mengatur
sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri atau
hukum-hukum syariah yang lain bersumberkan kepada Al Qur’an dan Al Hadist.
Dengan kata lain seorang pemimpin muslim yang menerapkan Islam secara kaafah.
Selain itu pemimpin itu juga harus seorang muslim, laki-laki, merdeka, berakal,
baligh, adil, dan memiliki kemampuan.
Sebagai seorang
muslim sudah memestinya kita sadar sepenuhnya untuk terikat kepada aturan dan
hukum Allah dalam bersikap dan bertindak sekecil apapun. Semua sikap dan
tindakan kita semestinya didasarkan oleh dalil agar kita tidak terjebak kepada
tindakan yang justru dilarang oleh Allah SWT. Sebab semua tindakan yang kita
pilih akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Jika perbuatan kita
dilandasi oleh niat lillah dan mengikuti sunnah Rasululah, maka kita telah
beramal sholeh dan karenanya mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Menjadi pemimpin
atau atau mentaati pemimpin adalah perbuatan yang juga akan dimintai
pertanggungjawaban kelak di akhirat. Kesalahan memilih pemimpin yang tidak menerapkan Islam secara kaffah
akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Islam memerintahkan kepada
kita untuk masuk Islam secara kaaffah. Udkhulu fissilmi kaafah. Kehidupan
manusia di dunia ini akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan jika diatur
dengan hukum dan aturan Allah semata-mata karena didasari oleh keimanan dan
ketaqwaan.
Hal ini sejalan
dengan janji Allah : Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)
Pemimpinan islami
seperti dalam narasi diatas hanya akan lahir dalam negara islami juga. Kata islami/is·la·mi/ dalam
KBBI memiliki bermakna bersifat keislaman. Kata Islami adalah istilah umum yang
merujuk kepada nilai keislaman yang melekat pada sesuatu. Sesuatu yang dimaksud
bisa saja dalam bentuk karya seni, tradisi, pendidikan, budaya, sikap hidup,
cara pandang, teknologi, ajaran, produk hukum, lembaga, negara, dan lain-lain.
Sesuatu disebut islami apabila nilai-nilai yang terkandung atau sistem yang
bekerja di dalamnya mengadopsi ajaran Islam.
Kata islami jika dilekatkan kepada kata negara menjadi negara islami yang
maknanya adalah negara yang sumber sistem hukumnya berasal dari wahyu. Negara
islami bisa dikatakan sebagai antithesis dari negara sekuler dan negara
komunis. Negara sekuler adalah negara yang sistem hukumnya berdasarkan
konsensus sosial sebagaimana demokrasi sekuler dengan jargon dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Sementara negara komunis adalah negara yang sistem
hukumnya bersumber dari paham materialisme yang ateistik.
Apakah negara pancasila adalah
negara Islami ?. Jika merujuk kepada definisi di atas dan fakta yang ada, maka
negara pancasila belum bisa dikatakan sebagai negara islami. Sebab dari sisi
sumber hukum, negara pancasila tidak menjadikan Al Qur’an sebagai satu-satunya
sumber hukum. Terlebih jika Indonesia menetapkan sebagai negara demokrasi, maka
demokrasi adalah ideologi yang bersumber dari peradaban Yunani. Jika pancasila
itu Islami, mengapa usaha formalisasi syariah Islam justru selalu dibenturkan
dengan Pancasila ?.
Sementara, demokrasi adalah paham Barat yang membawa karakter dasar
antroposentrisme, dimana manusia adalah sumber segalanya dalam kehidupan dan
mengabaikan peran tuhan. Secara ekonomi, paham demokrasi tidaklah mengenal
hukum halal dan haram sebagaimana Islam. Pancasila sendiri sesungguhnya
merupakan set of philosophy yang bebas nilai, bergantung kepada interpretasi
politik kekuasaan.
Penerapan demokrasi pancasila di negeri ini, alih-alih telah memberikan keberkahan ekonomi
bagi rakyat. Justru yang terjadi adalah lahirnya kebijakan ekonomi yang berpihak
kepada oligarki kapitalis yang makin menyengsarakan rakyat banyak. Akhirnya
kekayaan segelintir pemodal lebih banyak dibandingkan dengan kekayaan 100 juta
rakyat miskin di Indonesia. Bukankah hal ini bertentangan dengan Al Qur’an
surat Al Hasyr: 7 yang menegaskan supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
Antroposentrisme kapitalis ala demokrasi di negeri ini justru telah
menyelisihi al maqashid al syar’i yakni penjagaan dan perlindungan atas harta.
Konsep kebebasan kepemilikan ala demokrasi juga menyelisihi hukum Islam. Sumber
daya alam yang semestinya milik rakyat justru diprivatisasi oleh segelintir
oligarki. Antroposentrisme kapitalis
menggambarkan sebuah hasrat yang selalu tidak terpuaskan melalui nafsu
keserakahannya yang berusaha memenuhi hasratnya dengan berbagai gagasan yang
mengindikasikan eksploitasi kapitalistik atas manusia dan alam.
Antroposentrisme kapitalis juga membawa karakter reduksionis dan
kolonialistik. Antroposentrisme politik telah menjadikan negeri ini justru
terjajah oleh ideologi asing, alih-alih menjadi negara islami. Paham
sekulerisme yang menjadi jalan tengah kompromi politik justru sering
diskriminatif kepada ajaran Islam. Bahkan lebih dari itu, di negeri ini tengah
terjadi islamophobia yang makin menggila. Adalah paradoks jika dikatakan
sebagai negara islami, tapi yang terjadi justru islamophobia.
Istilah Dar al mietsaq (negara kesepakatan) dan Dar al ahdi wa al syahadah
(negara hasil perjanjian dan tempat membangun) bagi seluruh rakyat Indonesia justru
menujukkan bahwa negera ini bukan negara islami, namun negara sekuler.
Indikasinya sangat jelas, yakni lahirnya berbagai produk UU hasil kesepakatan
anggota dewan, bukan hasil istimbat hukum yang bersumber dari Kitabullah dan
Sunnah Rasulillah. Bahkan tak jarang produk UU yang lahir justru mendapat
penolakan dari rakyat karena dinggap tidak pro rakyat.
Tujuan lain dari al maqashid al syar’i berdirinya negara dalam Islam adalah
melindungi agama, sebab agama dan negara adalah dua sisi mata uang yang tidak
mungkin dipisahkan. Imam Al Ghazali mengatakan bahwa sesungguhnya dunia adalah
ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan
dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa
saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki
penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan
adanya pemimpin.
Al Qur’an mengenalkan istilah khalifah sebagai konsep kepemimpinan Islam.
Disebut dengan raja karena memimpin kerajaan. Disebut sultan karena memimpin
kesultanan dan disebut khalifah karena memimpin khilafah. Esensi khilafah dalam
Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di
berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan
lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan
persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan.
Di sub tema Nabi Mendirikan Negara, Mahfud menuliskan bahwa membangun
negara, bahkan mendirikan negara dan pemerintahan (khilafah), menurut Islam,
adalah keharusan (wajib) karena bernegara adalah sunatullah. Tidak ada seorang
pun di muka bumi ini yang bisa hidup di luar kekuasaan negara, baik negara
merdeka maupun negara jajahan.
Dengan demikian, khilafah adalah negara Islami sebagai pelanjut negara
Madinah yang dipimpin Rasulullah. Khilafah menyandarkan sistem hukumnya kepada
Al Qur’an, Al Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Lantas dimana letak islaminya negara
pancasila yang menerapkan demokrasi dan sekulerisme ?.
Dengan demikian
penguasa dan pemimpin yang tidak
mendorong terciptanya masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari
keberkahan Allah dalam negara islami. Penguasa
yang tidak menerapkan Islam secara kaffah bukan hanya akan menimbulkan
kesengsaraan rakyat, lebih dari itu kita tidak boleh memilihnya apalagi
mentaatinya, sebab selain hanya akan menjadikan sebuah negeri sengsara, pilihan
kita juga akan dimintai pertanggungjawaban.
(AhmadSastra,KotaHujan,01/01/2024
: 10.30 WIB)