Oleh : Ahmad Sastra
Tokoh pertama
pembebas Palestina adalah Umar bin Khattab. Umar bin Khattab merupakan salah
satu tokoh penting dalam sejarah Islam. Ia adalah khalifah kedua dalam sejarah
Islam, sekaligus pahlawan perjuangan masyarakat Islam. Salah satu bentuk
perjuangan dari Umar bin Khattab adalah misi pembebasan Palestina dan Yerusalem
dari cengkeraman Romawi. Kala itu, Palestina berada dibawah tekanan bangsa
Romawi selama ribuan tahun. Lantas, bagaimana kisah Umar bin Khattab dalam
pembebasan Palestina dari Cengkeraman Romawi?
Kisah
Umar bin Khattab dalam Membebaskan Palestina Sebelum Umar bin Khattab menjadi
khalifah, Islam telah berkembang pesat di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW
dan khalifah pertama Abu Bakar. Namun, Islam masih menghadapi tantangan besar
dari dua kekaisaran besar, yaitu Persia dan Bizantium. Kedua kekaisaran ini
memiliki kekuatan militer dan politik yang sangat besar, serta memiliki
pengaruh kuat di wilayah Timur Tengah, termasuk Palestina dan Yerusalem.
Palestina dan Yerusalem adalah tanah suci bagi tiga agama samawi, yaitu Islam,
Yahudi, dan Kristen.
Setelah
Abu Bakar wafat pada tahun 634 M, Umar bin Khattab terpilih menjadi khalifah
kedua Islam. Salah satu prioritas beliau adalah melanjutkan perjuangan melawan
Bizantium, yang telah menyatakan permusuhan terhadap Islam sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Sebuah kota penting yang menjadi target mereka adalah Yerusalem,
yang merupakan ibu kota provinsi Palestina di bawah Bizantium. Kota ini dikenal
dengan nama Aelia Capitolina oleh Bizantium, dan al-Quds oleh Muslim.
Pasukan
Muslim mulai mengepung kota ini pada tahun 637 M. Pengepungan ini berlangsung
selama beberapa bulan, dengan beberapa kali terjadi pertempuran sengit antara
kedua belah pihak. Akhirnya, pada tahun 638 M, Bizantium menyerah dan bersedia
menyerahkan kota itu kepada pasukan Muslim. Namun, ia menolak untuk menyerahkan
kota itu kepada siapa pun selain Umar bin Khattab sendiri. Oleh karena itu,
Umar bin Khattab meninggalkan Madinah dan melakukan perjalanan ke Yerusalem
untuk menerima penyerahan kota itu secara langsung.
Ketika
sampai di Yerusalem, Umar bin Khattab disambut dengan hormat oleh pasukan
Bizantium. Umar bin Khattab kemudian membuat sebuah perjanjian yang dinamakan
dengan 'Perjanjian Umar'. Perjanjian ini mengatur hak-hak dan kewajiban
penduduk kota, baik Muslim maupun non-Muslim. Perjanjian ini menjamin kebebasan
beragama, perlindungan terhadap gereja-gereja dan salib-salib, serta kewajiban
membayar pajak. Ketika Umar bin Khattab membebaskan Yerusalem dari Bizantium,
beliau juga memberikan hak kepada umat Yahudi untuk kembali ke kota itu dan
beribadah di Tembok Ratapan. Hal ini merupakan sebuah pengakuan dan
penghormatan terhadap umat Yahudi sebagai saudara seiman dari umat Islam.
Banyak umat Yahudi yang bersyukur dan mengagumi sikap Umar bin Khattab
Tokoh kedua pembebas Palestina adalah Sholahudin Al Ayyubi, Kemenangan Muslimin
dalam Perang Hattin pada Juli 1187 mengawali pembebasan Baitul Maqdis. Usai
pertempuran tersebut, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi menawan ratusan prajurit
Salib. Pimpinan mereka, Raja Latin Yerusalem Guy Lusignan dan Pangeran
Antiokhia Raynald Chatillon, juga ikut ditangkap.
Ada sekitar 200
orang yang dieksekusi. Termasuk di antaranya adalah para Kesatria Templar.
Merekalah yang sebelumnya menyarankan Raja Guy untuk menyongsong pasukan
Muslimin di luar, alih-alih dalam benteng Yerusalem. Imbas dari strategi itu,
balatentara Salib justru mengalami kelelahan dan kemerosotan semangat tempur
akibat jauhnya perjalanan dari kota tersebut ke Lembah Hattin. Apalagi, pasukan
Kristen-Barat ini tidak membawa perbekalan logistik yang memadai.
Sultan Shalahuddin
menginstruksikan agar para tawanan yang tidak dijatuhi hukuman mati dibawa ke
pusat pemerintahan Daulah Ayyubiyah, Damaskus. Ia juga menetapkan sejumlah
bayaran sebagai uang tebusan mereka. Maka yang kemudian di Lembah Hattin adalah
si raja Yerusalem dan sahabatnya itu. Dengan tegas, Shalahuddin memancung kepala Raynald Chatillon.
Bangsawan Frank itu divonis mati karena berbagai kejahatan yang telah
dilakukannya terhadap Muslimin. Melihat mayat sahabatnya, Guy berlutut
ketakutan.
Tokoh ketiga pembela
Palestina adalah Sultan Hamid dua. Sejak zaman Kesultanan Turki Utsmani,
bangsa Israel sudah berusaha tinggal di tanah Palestina. Kaum zionis itu
menggunakan segala macam cara, intrik, maupun kekuatan uang dan politiknya
untuk merebut tanah Palestina.
Di masa Sultan Abdul
Hamid II, niat jahat kaum Yahudi itu begitu terasa. Kala itu, Palestina masih
menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana dikisahkan dalam buku
Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II karya Muhammad Harb,
berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus
dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.
Pertama, pada
1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid
II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan
dengan ucapan ''Pemerintan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum
Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di
Palestina''. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga
duta besar Amerika turut campur tangan.
Kedua, Theodor
Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada
1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin
mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu dijawab sultan, ''Sesungguhnya
Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui
permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian
sendiri''.
Melihat keteguhan
Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi
Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru
menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah. Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi
akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas
rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk
tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan
kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan
mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902, Hertzl
untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali
ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan
yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk
Sultan; Membayar semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta
poundsterling; Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta
frank; Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan Membangun
Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Namu, kesemuanya
ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah
Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan
kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, ''Nasihati Mr
Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun
sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak
umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka
telah menyiraminya dengan darah mereka.''
Sultan juga
mengatakan, ''Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat
kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil
Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku
lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina
dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu
yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi
kami masih hidup.''
Sejak saat itu
kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan
Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "liberation",
"freedom", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid
II sebagai "Hamidian Absolutism", dan sebagainya.
''Sesungguhnya
aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk
menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab
atas umat ini. Tempatku adalah di sini. Di Istanbul!'' Tulis Sultan Abdul Hamid
II dalam catatan hariannya. (sumber : Republika)
Begitulah gambaran ketika masih ada institusi khilafah yang dipimpin seorang
khalifah, maka mereka akan mati-matian membela Palestina, tanah suci pertama
umat Islam sedunia. Pembelaan atas palestina seorang khalifah adalah karena ikatan
aqidah dan konsekuensi keimanan kepada Allah. Maka, jika khilafah masih ada, jangankan untuk menjajah palestina, sekedar
untuk menginjakkan kakinya di bumi palestina, entitas yahudi tidak akan pernah
bisa. Namun ketika khilafah telah tiada, maka Palestina tak lagi memiliki
pelindung, akhirnya terjadilah apa yang kini tengah terjadi, dimana palestina
dijajah dan dizolimi entitas yahudi, sementara negeri-negeri muslim diam membisu
karena tak memiliki kekuatan untuk membantunya. Semestinya negeri-negeri muslim
mengirimkan tentara terbaiknya untuk melumat entitas yahudi serta mengusir dari
bumi Palestina.
(AhmadSastra,KotaHujan,
12/11/23 : 12.30 WIB)