Oleh : Ahmad Sastra
Kasus bullying
anak yang beberapa hari ini tengah viral dan meresahkan masyarakat, khususnya
orang tua sebenarnya merupakan fenomena gunung es yang harus menjadi perhatian
serius oleh semua pihak. Bullying adalah segala
bentuk penindasan atau kekerasan, yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang
atau kelompok yang lebih kuat. Tujuan dari bullying ini untuk menyakiti orang lain dan
dilakukan terus menerus.
Masyarakat
dihebohkan oleh kekerasan di kalangan anak SMP di Cilacap, Jawa Tengah. Kasus
perundungan itu viral lewat video di media sosial. Setelah menangkap pelaku,
polisi mengungkap motif penganiayaan siswa SMP di Cilacap tersebut. Dari hasil
penyidikan pihak kepolisian, terungkap bahwa motifnya adalah saat korban
mengaku menjadi anggota kelompok Barisan Siswa (Basis). Padahal dia bukan
sebagai anggota kelompok ini. Ini sebenarnya masalah sepele dan bisa
diselesaikan dengan baik, namun kenapa harus terjadi tindak kekerasan ?
Sebenarnya berbagai
kasus kriminalitas yang melibatkan siswa atau remaja membuat hati miris. Sebab
kriminalitas di kalangan remaja sudah sampai kasus pembunuhan yang tak
terbayang sebelumnya. Berbagai kasus
pembunuhan berantai juga kerap dilakukan oleh seorang remaja, khususnya siswa. Sebagai contoh adalah
kematian akibat tawuran karena terkena senajata tajam. Menghilangkan nyawa
orang lain dengan sengaja adalah bentuk kriminal.
Kriminalitas
di kalangan pelajar ini mengkonfirmasi bahwa generasi muda bangsa ini telah
kehilangan adab (loss of adab). Jika generasi bangsa mengalami krisis adab,
maka rusaklah peradaban bangsa tersebut. Apalah artinya sebuah bangsa yang maju
secara ekonomi dan sains, jika generasi mudanya justru amoral.
Bullying
merupakan masalah serius yang dapat terjadi di berbagai lingkungan, termasuk di
lembaga pendidikan. Ada beberapa faktor penyebab bullying di lembaga pendidikan.
Adanya perbedaan yang disikapi secara berlebihan bisa menyebabkan terjadinya
perundungan. Perbedaan itu bisa berbasis gender, orientasi seksual, ras, kelompok,
organisasi, agama, atau kecacatan fisik dapat memicu tindakan bullying. Kasus
bullying di Cilacap disebabkan oleh perbedaan kelompok atau dipicu oleh ikatan
kelompok.
Sesungguhnya
siswa setingkat SMP atau SMA belum memiliki kesadaran, kedewaan dan pemahaman
akan bahaya perundungan. Kecenderungan mereka adalah mengikuti nafsu dan
keinginan, tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan. Kurangnya pemahaman
tentang dampak buruk bullying dan cara mengatasi masalah ini dapat menyebabkan
terus berlangsungnya perilaku bullying.
Minimnya proses
pendampingan dari orang tua di rumah dan atau guru di sekolah juga bisa
menyebabkan seorang siswa merasa bebas untuk melakukan apapun yang diinginkan. Ketidaktahuan
atau ketidakhadiran staf pengawas dapat memberikan kesempatan bagi pelaku
bullying untuk beroperasi tanpa hambatan. Grup tekanan teman sebaya (peer
pressure) bisa memicu tindakan bullying agar pelaku bisa merasa diterima atau
kuat di antara teman-temannya.
Lebih dari
itu, perilaku bullying juga bisa dipicu oleh psikologi abnormal dengan berbagai
tingkatannya. Pengendalian psikologi yang lemah karena faktor usia sangat
mungkin akan melahirkan berbagai perilaku negative. Seringkali, pelaku bullying
memiliki masalah psikologis atau emosional yang tidak diatasi, yang mendorong
mereka untuk melakukan tindakan agresi.
Sekolah
harus melibatkan siswa, guru, dan orang tua dalam program pendidikan yang
menyoroti dampak buruk bullying dan cara menghentikannya. Sekolah sebaiknya
memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas dan memberlakukan konsekuensi
serius bagi pelaku bullying. Mengajarkan siswa tentang empati, keterbukaan, dan
penghargaan terhadap keberagaman dapat mengurangi ketidakpedulian yang bisa
mendorong tindakan bullying.
Sekolah
harus memiliki sistem pengawasan yang efektif dan memberikan pelatihan kepada
staf untuk mengidentifikasi tanda-tanda bullying serta melakukan intervensi
secepat mungkin. Khusus masalah psikologi abnormal, sekolah harus menyediakan
layanan konseling dan dukungan psikologis bagi pelaku bullying dan korban dapat
membantu mengatasi akar masalah yang mendorong perilaku tersebut.
Orang tua
juga harus dilibatkan dalam upaya pencegahan dengan mengajari anak-anak tentang
pentingnya menghormati orang lain dan melaporkan tindakan bullying. Sementara sekolah
bisa memberikan pelatihan kepada guru dan staf sekolah tentang cara mengelola
situasi bullying, memahami tanda-tanda, dan merespons dengan tepat.
Melalui organisasi
sekolah, pihak sekolah bisa mengadakan kampanye di sekolah untuk meningkatkan
kesadaran dan menggalang dukungan dari siswa, guru, dan orang tua. Sekolah
dapat bekerja sama dengan organisasi dan lembaga di masyarakat untuk
meningkatkan kesadaran tentang masalah bullying dan mendapatkan dukungan dalam
upaya pencegahan.
Melakukan
pemantauan terus-menerus dan berkelanjutan tentang kejadian bullying dan
mengevaluasi keefektifan program pencegahan yang diimplementasikan untuk
membuat perbaikan jika diperlukan. Pencegahan bullying memerlukan upaya bersama
dari seluruh komunitas sekolah, termasuk siswa, guru, staf sekolah, dan orang
tua. Dengan pendekatan holistik dan kerjasama yang baik, sekolah dapat
menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua siswa agar memiliki
moralitas atau adab mulia.
Ketika seorang
siswa telah kehilangan adab, maka akan menjadi pribadi yang tidak beradab, atau
bahasa kasarnya biadab. Perkembangan anak bermula dari pendidikan keluarga,
maka penerapan nilai-nilai kebajikan akan menjadi pengalaman anggota keluarga.
Pertumbuhan kepribadian orang tua dan anak sangat bergantung kepada
pengalamannya dalam keluarga. Sikap dan pandangan hidup orang tuanya, sopan
santun mereka dalam pergaulan, baik dengan anggota keluarga, maupun dengan tetangga,
atau masyarakat pada umumnya akan diserap oleh anak dalam pribadinya.
Demikian
pula sikap mereka pada agama, ketekunan menjalankan ibadah dan kepatuhan
terhadap ketentuan agama, serta pelaksanaan nilai-nilai agama dalam
kehidupannya sehari-hari, juga akan menjadi faktor pembinaan bagi anak secara
langsung maupun tidak langsung.
Nilai-nilai
religius akan menjadi pilar bagi paradigma berkeluarga. Berkeluarga dalam
perspektif paradigma religius akan melahirkan sebuah visi kemuliaan. Segala
permasalahan dipandang dalam konteks yang positif. Sebab paradigma religius,
berkeluarga bukan sekedar ikatan sosial, melainkan sebagai bagian dari ibadah.
Setelah keluarga,
maka anak akan bergaul di tengah masyarakat dalam arti luas. Semisal hilangnya
berbagai kebajikan di masyarakat akan bisa memicu perilaku menyimpang pada
anak. Berbagai tayangan media yang tidak diseleksi oleh pemerintah, khususnya
media online juga memberikan konstribusi signifikan bagi tumbuh kembang anak.
Gaya hidup
yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama ditayang secara masif oleh media
televisi dan media sosial akan memberikan pengaruh terhadap generasi muda. Teknologi itu memiliki dua sisi mata pisau. Lebih luas lagi loss of adab terjadi karena
perkembangan sains dan teknologi yang tidak ditopang oleh paradigma agama. Karena
itu pencegahan kasus perundungan harus bersifat sistematis, komprehensif dan
berkelanjutan.
(AhmadSastra,KotaHujan,02/10/23
: 09.00 WIB)