Oleh :
Ahmad Sastra
Ketika seorang
pemimpin negara telah mulai memasukkan anggota keluarganya masuk dalam dunia
politik. Apakah masyarakat khususnya generasi milenial dan generasi z secara
tidak langsung, sedang 'dipaksa' menyaksikan praktik politik dinasti ? Saat
ini, apakah indonesia sedang baik-baik saja?
Tentu
saja iya, pertama, sebab terlihat gamblang mulai dinamika di MK soal batas usia
capres dan cawapres hingga pencalonan cawapres Gibran. Kedua, Sebagaimana
pengakuan Prabowo, dia sendiri mengatakan saat pidato di depan partai PSI bahwa
politik dinasti itu hal yang wajar dengan menyinggung partai-partai lain yang
juga mempraktekkan politik dinasti.
Pakar
Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
terkait syarat capres dan cawapres berusia 40 tahun atau memiliki pengalaman
menjadi kepala daerah. Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang
mendasar, dan karenanya dinilai tidak sah.
Denny
menjelaskan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
telah mengatur, "seorang hakim... wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara
yang sedang diperiksa."
Selain
pelanggaran benturan kepentingan, putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 juga
dinilai mempunyai cacat konstitusional lain. Salah satunya terkait legal
standing pemohon "Pemohonnya sebenarnya tidak mempunya legal standing, dan
karenanya, permohonan wajarnya dinyatakan tidak diterima, sebagaimana dengan
baik dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo," pungkasnya.
Dari dua
faktor ini sebenarnya tengah terjadi sebuah praktek politik yang tidak sehat
yang akan ditonton oleh generasi z, tentu saja hal ini tidaklah merupakan
pendidikan politik, sebagaimana disampaikan oleh Prabowo. Apa yang dimaksud pendidikan
politik ketika yang terjadi adalah dinasti politik. Dalam filsafat, pernyataan
Prabowo bisa disebut sebagai apologi.
Indonesia,
jelas tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Sebab demokrasi yang telah
dikenal dalam kendali oligarki, kini malah ditambah seolah politik hukum itu
dikendalikan oleh keluarga. Keputusan MK terbukti memunculkan berbagai polemik
di masyarakat. Indonesai sedang tidak baik-baik saja, sebab masa depan hukum di
negeri ini semakin suram.
Apakah
hukum demokrasi tidak melarang, bahkan menyatakan sah-sah saja terhadap ada
dinasti politik? Apa dampak dan ancaman dinasti politik jika terjadi di
Indonesia? Demokrasi itu kan bersifat antroposentrisme di mana manusia menjadi
penentu segalanya, sementara manusia dipenuhi oleh kepentingan pragmatis. Inilah
yang sesungguhnya menjadikan demokrasi dalam prakteksnya mengalami disorientasi
politik, karena salah sejak dari paradigmanya.
Karena
itu politik dinasti yang akan dianggap bukan masalah selama masih sejalan
dengan kepentingan pragmatisnya. Kuliatas dan kualifikasi calon pemimpin
menjadi no dua, inilah awal kerusakan politik demokrasi.
Politik
dinasti ini tentu saja akan berdampak buruk bagi kemajuan bangsa ini. Sebab
kriteria pemimpin yang berkualitas menjadi tidak berlaku di negeri ini.
Generasi muda bangsa ini juga akan putus asa untuk meningkatkan kualitas diri,
jika para pemimpin hanya diambil dari orang-orang dekat, meski secara kualitas
masih dipertanyakan.
Politik
dinasti yang hanya mengutamakan kedekatan keluarga, bukan karena kualifikasi personal
akan berdampak buruk pada kemajuan negeri ini dalam jangka panjang. Sebab
kompleksitas masalah bangsa ini bukan hanya harus diselesasikan oleh pemimpin
yang punya kualifikasi, namun juga soal sistem yang harus diperbaiki.
Ada beberapa
watak antroposentrisme demokrasi kapitalisme sekuler. Karena hasrat yang selalu
tidak terpuaskan, manusia melalui akal pengetahuannya berusaha memenuhi
hasratnya dengan berbagai gagasan yang mengindikasikan eksploitasi kapitalis.
Karakter
antroposentrisme kapitalis yakni opresif/eksploitatif, reduksionis, kuasa-menguasai
(kolonialisme), berwawasan ilmu pengetahuan modern dan berteknologi. Antroposentrisme
kapitalis melihat alam sebagai objek, alat, komoditas, dan sarana bagi
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Antroposentrisme
kapitalis hadir sebagai ideologi untuk menggerakkan kaki tangan proyek-proyek
pembangunan yang bermisikan ‘pembangunan peradaban’. Antroposentrisme
berkonspirasi dengan ilmu pengetahuan modern dengan mengabaikan cara-cara
pengetahuan ekologi dan pendekatan holistik, serta mengebirikan kaum perempuan
sebagai ahli.
Apakah
dinasti politik membuat orang yang tidak kompeten bahkan kemaruk akan berkuasa ?.
Iya jelas, sudah saya tekankan di awal
tadi, bahwa dinasti politik ini tidak mengutamakan kualifikasi kepemimpinan,
namun hanya karena kedekatan keluarga. Hal ini tentu saja mengkonfirmasi adanya
kerakusan atas kekuasaan. Dinasti politik juga sangat mengabaikan kompetensi,
maka hal ini menunjukkan rasa kemaruk dan tak peduli kepada masa depan bangsa
dan Negara.
Apakah
jika dibiarkan, gurita kekuasaan keluarga akan menjalar ke semua bidang
kenegaraan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? Dan jika gurita
kekuasaan terjadi, yang akan muncul kemudian adalah gurita korupsi, jamaah
keluarga berkorupsi, hingga berlanjut munculnya industri hukum, mafia hukum,
dan mafia peradilan? Dan apakah ini bisa dicegah?
Benar
sekali, sebab mereka yang hari ini punya kuasa akan bisa mengatur dengan
kekuasaan dan uangnya untuk sebanyak-banyaknya mengajak anggota keluarga untuk
ikut berkuasa. Sementara kekuasaan itu sangat dekat dengan kerakusan dan rasa
kemaruk karena pragmatism, sehingga berpotensi akan terjadi tindak korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Pencegahannya
tentu saja menjadikan hukum sebagai panglima dimana hukum dirumuskan
berdasarkan kepentingan bangsa yang lebih besar, bukan bisa dipermainkan sesuai
kepentingan segelintir orang. Antroposentrisme demokrasi berpotensi terjadinya
disorientasi politik. Dalam Islam, syariat Islam adalah hukum yang didasarkan
oleh firman Allah, tak bisa diubah oleh manusia.
Pencegahan
kedua tentu saja kembali kepada individu yang harus memiliki orientasi yang
lurus dan benar. Setiap individu pemimpin harus menyadari bahwa kepemimpinan
adalah amanah berat yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan
pengadilan akhirat. Jika paham ini, maka seorang pemimpin akan takut berebut
jabatan, apalagi mewariskan jawaban kepada keluarganya.
Pencegahan
ketiga adalah dengan adanya kendali dari masyarakat dengan terus melakukan
proses kontroling dan pengawasan. Masyarakat harus memiliki kesadaran politik
agar para pemimpin di negeri ini tidak melakukan penyimpangan. Terlebih pada
intelektual dan ulama yang harus terus memberikan arah dan pencerahan bagi
perjalanan bangsa ini.
(AhmadSastra,KotaHujan,28/10/23
: 08.40 WIB)