Oleh :
Ahmad Sastra
Penolakan
Relokasi itu Wajar
Sangat
ironi dan menyakitkan menyaksikan konflik yang terjadi antara masyarakat pulau
Rempang Kepulauan Riau dengan pihak keamanan yang dipicu oleh kepentingan
oligarki asing. Negeri ini yang konon katanya berdasarkan pancasila yang memuat
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia justru hilang dari tanah Rempang. Dengan
adanya konflik berdarah antara masyarakat Rempang dengan pihak kepolisian
akibat kebijakan pemerintah yang menebar karpet merah bagi investasi China
menjadikan pancasila tidak memiliki makna apa-apa, kecuali hanya sekedar omong
kosong.
Kasus
Rempang jelas mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan karena melakukan penggusuran
paksa yang mengorbankan seluruh elemen masyarakat, dari seorang bayi, siswa
hingga orang tua. Mereka berhamburan keluar rumah dan sekolah karena
mendapatkan tekanan dari pihak keamanan. Bukan hanya sampai disitu, upaya
pengosongan juga diwarani oleh berbagai tekanan psikologis dari pihak
pemerintah yang seharusnya melindungi rakyatnya. Ucapan bolduser dan piting
menyeruak dari petinggi negeri ini bagi masyarakat yang dianggap melawan
kebijakan. Ironis, sungguh ironis.
Sebenarnya penolakan penggusuran kawasan Rempang kepri ini
sudah terjadi sejak akhir agustus lalu.
Hampir 4 ribu orang turun ke jalan berdemonstrasi menolak
investasi dari China. Demo digelar hampir oleh seluruh warga Pulau Rempang,
Galang, Bulang dan simpatisan anak Melayu Kepri di depan Gedung Badan
Pengusahaan (BP) Batam. Demo tidak berjalan lancer damai, namun berakhir rusuh,
tegang dan sengit. Adu argumentasi, adu data dan adu sejarah mewarnai debat
siang terik itu.
Kericuhan
yang terjadi di Rempang ini menjadi bisa dipahami, karena masyarakat mencoba
mempertahan tempat tinggalnya yang secara turun temurun telah ditinggali.
Bahkan di Rempang juga telah berdiri lembaga Pendidikan. Wajar jika masyarakat
Rempang merasa gerah dengan pemerintah dan penguasa. Mereka telah bermohon
berkali-kali agar kampung mereka tidak digusur. Tapi tak ada yang mau
mendengar. Jadi penolakan relokasi oleh masyarakat pulau rempang adalah wajar
belaka.
Dikutip
dari Pikiran Rakyat, bentrok antara aparat dan warga Pulau Rempang, Batam,
Kepulauan Riau, pada Kamis 7 September 2023 menuai banyak kritikan. Pasalnya,
aksi memaksa masuk ke kawasan pemukiman itu menyebabkan sejumlah warga terluka
dan diamankan, hingga pelajar yang dilarikan ke Rumah Sakit karena terkena gas
air mata.
Berdasarkan
informasi dari Fraksi Rakyat Indonesia, pecahnya bentrok dengan aparat gabungan
TNI-Polri, Ditpam Badan Pengusahaan (BP) Batam, dan Satpol PP dipicu oleh warga
yang tidak setuju dengan rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) di kawasan
mereka. Pasalnya, 10.000 warga Pulau Rempang-Galang yang tersebar di 16 Kampung
Melayu Tua, terancam tergusur dan terusir dari ruang hidup yang telah mereka
huni turun-temurun sejak 1834.
"Ruang
hidup mereka diincar pebisnis rakus yang didukung rezim Jokowi yang pro
investasi, meski membuat rakyatnya sendiri mati," ucap Fraksi Rakyat
Indonesia, Kamis 7 September 2023.
Mereka
menuturkan bahwa PT Makmur Elok Graha (MEG) diberikan konsesi 17.000 hektare
sampai 2080 karena dianggap mampu menanam investasi Rp381 triliun. PT MEG
merupakan anak perusahaan Artha Graha, yang sahamnya dimiliki oleh Tomy Winata.
"Konsesi
itu diberikan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam selama 80 tahun untuk dijadikan
kawasan bisnis Rempang Eco City di Pulau Rempang-Galang," tutur Fraksi
Rakyat Indonesia. "Hebatnya lagi, demi investasi itu bahkan KLHK rela
melepaskan 7.560 hektare kawasan hutan yang penting bagi kelestarian ekosistem
untuk dijadikan proyek tersebut," katanya menambahkan.
Program
Pengembangan Kawasan Rempang KPBPB Batam Provinsi Kepulauan Riau resmi
diluncurkan pada Rabu (12/4/2023) setelah sempat tertunda selama 18 tahun.
Pengembangan Kawasan tersebut dilakukan PT Makmur Elok Graha (MEG), anak
perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata. Menko Perekonomian, Airlangga
Hartarto, menyampaikan, pelaksanaan rencana investasi yang dilakukan oleh PT
MEG secara total sampai dengan 2080 kurang lebih sebesar Rp. 381 triliun dan
diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 306.000 orang. “Investasi
yang akan dilakukan antara lain industri menengah, industri manufaktur dan
logistik, kawasan pariwisata terintegrasi, serta kawasan perumahan dan
perdagangan jasa terintegrasi,” kata Airlangga, dikutip Kamis (13/4/2023).
Penandatangan
MOU Xinyi Group China dan Menteri investasi Bahlil Lahadalia, menetapkan batas
waktu penyerahan lahan Pulau Rempang secara "clean and clear" 30
hari. Xinyi mendesak, pelaksanaan pembebasan lahan rampung pada 28 September
mendatang. Artinya, pemerintah hanya punya waktu kurang dari 2 minggu untuk
memaksa warga mengosongkan lahan Pulau Rempang.
Namun
kenyataan menunjukan, rumit bagi pemerintah memenuhi dedline waktu yg didesak
Xinyi Cina. Masyarakat melawan. Relokasi memicu bentrokan, memperlambat proses
pengosongan lahan. Kenyataan ini direspon Group Xinyi Cina dengan sinyal:
ancaman mencabut kesediaan investasi di Pulau Rempang, Galang dan akan
mengalihkan investasinya ke wilayah Johor Malaysia.
Sinyal
dan peluang hengkangnya Xinyi ke Malaysia disampaikan Sekretaris Kemenko
Perekonomian, Sisiwijono Moegiarso. Menurutnya, pada Kamis 14 September
kemarin, Pihak Xinyi Group mendatangi kantor Kemenko Perekonomian, menanyakan
dinamika perlawanan warga Pulau Rempang dan progres upaya pengosongan lahan.
Susiwijono menyatakan, pihak Xinyi sangat sensitif dengan kerasnya perlawanan
warga. Apalagi perlawanan tersebut telah berkembang menjadi isu ras dan agama
(Melayu-Islam) sehingga perlawanan rakyat diperkirakan akan sulit meredah.
Perlawanan rakyat pulau Rempang adalah wajar belaka dilihat dari banyak aspek,
baik psikologis, sosiologis, historis dan ideologis.
Demi
Kepentingan Oligarki, Kebijakan Zolim dan Tidak Adil
Upaya
penggusuran demi kepentingan oligarki adalah kebijakan yang tidak masuk akal.
Kebijakan penggusuran ini menggambarkan betapa arogansi oligarki nampak telah
menguasai rezim ini. Bagaimana mungkin suatu kawasan yang telah ditinggali
rakyat selama hampir 300 tahun, yakni sejak tahun 1700 an, mendadak digusur
hanya demi kepentingan oligarki.
Akibatnya
tujuh ribuan penduduk kini dalam kondisi terancam. Jika wilayah itu diklaim
sebagai kawasan konservasi, lantas mengapa justru akan dibangun menjadi kawasan
industri. Mestinya pemerintah justru membela rakyatnya dengan membangun Rempang
menjadi kawasan yang lebih nyaman dan bisa juga dijadikan sebagai destinasi
wisata nusantara berbasis sejarah peradaban Melayu.
Konflik
Rempang ini dipicu oleh rencana pembangunan pabrik yang tentu saja akan
mendatangnya investasi para pomodal besar, alias oligarki. Hal ini diungkap
oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan BP Batam bahwa
pembangunan pabrik kaca dan solar panel terbesar di Indonesia akan segera
dibangun oleh Xinyi Grup dari China dengan nilai investasi sebesar 11,6 miliar
USD atau setara Rp174 triliun.
Dikabarkan
pabrik itu akan menjadi yang terbesar nomor dua di dunia setelah China, dan
terbesar nomor satu di luar Tiongkok. Hasilnya nanti, difokuskan untuk ekspor,
karena pasar utamanya adalah pasar internasional. Produknya digunakan dalam
sektor otomotif, konstruksi dan energi.
Rempang
termasuk jalur One Belt One Road (OBOR) nya Cina. OBOR digunakan oleh Cina
untuk membuat jalur ekonomi, investasi dan relokasi penduduknya ke seluruh
dunia. Jalur ini strategis bagi Cina. Namun pandainya Cina, akses OBOR ini
dibuat oleh negara yang dilalui dengan investasi dan hutang dari Cina, sehingga
yang membayar akses itu adalah rakyat dari negara negara yang dilaluinya,
termasuk Indonesia. Salah satunya adalah jalur tol lautnya Indonesia.
Kehadiran investor China di pulau Rempang yang menimbulkan kegaduhan
diawali oleh pertemuan bilateral antara Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan
Presiden China Xi Jinping pada hari Kamis (27/7/2023) di Chengdu, China.
Pertemuan itu sebagai rangkaian perjalanan Presiden Jokowi ke China yang
berlangsung pada 27-28 Juli 2023.
Dalam pernyataan resmi yang ditayangkan akun Youtube Sekretariat
Presiden, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan, perjalanan Presiden
Jokowi ke China adalah atas undangan Presiden Xi Jinping dan kunjungan itu
bertepatan dengan 10 tahun kemitraan strategis komprehensif Indonesia-China.
Retno memaparkan, pertemuan kedua Kepala Negara terutama membahas penguatan
kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan, selalu mempertimbangkan tenaga
lokal, dan ramah lingkungan.
Dalam
bidang investasi, Retno mengatakan minat investasi China ke Indonesia juga
masih besar. Rencananya, Jumat (28/7/2023), Presiden Jokowi akan menggelar
pertemuan dengan para investor China. "Berbagai sektor investasi yang
berpotensi diantaranya energi hijau, fiberglass, Kesehatan, dan juga
petrokimia. Presiden juga mengundang investasi RRT dalam pembangunan IKN,"
kata Retno.
Berikut
8 kesepakatan hasil pertemuan Jokowi-Xi Jinping : (1) Protokol tentang
Persyaratan Pemeriksaan dan karantina untuk Ekspor Serbuk Konjac dari Indonesia
ke Tiongkok (2) Protokol tentang Persyaratan Phytosanitary untuk Ekspor
Tabasheer dari Indonesia ke Tiongkok (3) Rencana Aksi Kerja Sama Bidang
Kesehatan (3) Nota Kesepahaman tentang Pusat Penelitian dan Pengembangan
Bersama
(5)
Nota Kesepahaman tentang Kerja Sama Perencanaan Berbagi Pengetahuan dan
Pengalaman terkait Pemindahan Ibu Kota Baru Indonesia (6) Nota Kesepahaman
tentang Peningkatan Kerja Sama Indonesia-Tiongkok "Two Countries,Twin
Parks (7) Nota Kesepahaman tentang Pendidikan Bahasa Tiongkok dan (8) Nota
Kesepahaman tentang Kerja Sama Ekonomi dan Teknis.
Sebelumnya,
dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri RRT Li Keqiang dan
Presiden Xi di Beijing pada tahun 2022, kedua negara telah menyepakati beberapa
kesepakatan, yaitu: (1) Pembaruan MoU Sinergi Poros Maritim Dunia dan Belt Road
Initiative, (2) MoU Kerja sama Pengembangan dan Penelitian Vaksin dan Genomika,
(3) MoU mengenai Pembangunan Hijau, (4) Pengaturan Kerja sama Kelautan, (5)
Protokol mengenai ekspor nanas Indonesia, (6) Pengaturan Kerja Sama Pertukaran
Informasi dan Penegakan Pelanggaran Kepabeanan, dan (7) Rencana Aksi Kerja Sama
Pengembangan Kapasitas Keamanan Siber dan Teknologi.
Turut
mendampingi Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan Presiden Xi Jinping, yaitu
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan,
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri
BUMN Erick Thohir, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, dan Duta
Besar RI Beijing Djauhari Oratmangun. (Ida/ANTARA)
Historiografi
Pulau Rempang, Warisan Peradaban Islam Melayu
Historiografi
adalah studi tentang cara sejarah ditulis, direkam, dan dianalisis. Ini
merupakan cabang ilmu dalam bidang sejarah yang memeriksa metode, teori,
sumber, dan konsep yang digunakan dalam penulisan sejarah. Historiografi tidak
hanya mencakup penyusunan narasi sejarah, tetapi juga pemahaman tentang
bagaimana sejarah dipahami, dianalisis, dan digunakan oleh masyarakat.
Historiografi
memainkan peran penting dalam membantu kita memahami cara kita memahami masa
lalu dan bagaimana pandangan ini dapat memengaruhi cara kita memahami dunia
saat ini. Hal ini juga membantu kita menghindari bias dalam penulisan sejarah
dan meningkatkan pemahaman kita tentang kompleksitas peristiwa sejarah.
Historiografi pulau Rempang erat hubungannya dengan Peradaban Islam Melayu
berdasarkan manuskrip Tuhfat Al-Nafis yang ditulis oleh ayah dan anak, Raja
Ahmad atau Engku Haji Tua dan puteranya Raja Ali Haji.
Penduduk
asli Rempang, Galang dan Bulang (kini masuk wilayah Kota Batam), sebagaimana
diungkap oleh Prof Dr. Dato' Abdul Malik M.Pd adalah keturunan para prajurit
Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah I. Perang Riau I (1782-1784) mereka menjadi prajurit
Raja Haji Fisabilillah. Dan, dalam Perang Riau II (1784–1787) mereka adalah
prajurit Sultan Mahmud Riayat Syah.
Ketika
Sultan Mahmud Riayat Syah berhijrah ke Daik-Lingga pada 1787, Rempang-Galang
dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga.
Pemimpinnya Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman yang ditunjuk oleh Sultan
Mahmud. Berdasarkan catatan sejarah, pasukan Belanda dan Inggris saja tak
berani memasuki wilayah Kesultanan Riau-Lingga. Anak-cucu merekalah sekarang
yang mendiami Rempang-Galang secara turun-temurun. Pada Perang Riau itu
nenek-moyang mereka disebut Pasukan Pertikaman Kesultanan.
Dikutip
dari Islam Today.id, dalam manuskrip Tuhfat Al-Nafis merupakan historiografi
peradaban Melayu yang ditulis oleh ayah dan anak, Raja Ahmad atau Engku Haji
Tua dan puteranya Raja Ali Haji. Raja Ali Haji merupakan ulama, sejarawan,
pujangga Melayu yang hidup masa Kesultanan Melayu Riau-Lingga-Johor-Pahang.
Kesultanan ini berpusat di daerah Panyengat Inderasakti, Kota Tanjung Pinang,
Provinsi Kepulauan Riau. Kesultanan ini merupakan salah satu kesultanan yang
cukup besar di tanah Melayu, usai Kesultanan Malaka yang berpusat di Johor
runtuh.
Menurut
Ai Wardah Mardiah Koswiar, seorang peneliti lulusan Magister Philosofi Centre
of Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation (CASIS), Universitas
Teknologi Malaysia (UTM) ini mengungkapkan jika saat ini banyak pihak yang
sengaja ingin menghapus peran tokoh-tokoh Islam dan kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia. Termasuk disini ialah sosok Raja Ali Haji, dia adalah sosok ulama,
intelektual yang paripurna, setidaknya ada 14 judul buku yang berhasil
ditulisnya.
Sebuah
buku berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, merupakan kamus bahasa Melayu yang
akhirnya pada 28 Oktober 1928 kita pun memiliki bahasa persatuan. Pemerintah
Indonesia menganugerahinya gelar pahlawan nasional pada 5 November 2004 atas
jasanya dalam menjaga bahasa Melayu sebagai bahasa standar yang setara dengan bahasa-bahasa
lain di dunia. Itulah kecerdasan linguistik sosok Raja Ali Haji.
Sebagai
seorang sastrawan dia pun meninggalkan sebuah karya yang agung, menjadi rujukan
para penulis terutama pemerhati bahasa di rumpun Melayu. Karya tersebut ialah
Gurindam Dua Belas yang berisi tentang nasihat, ajaran tentang berbagai
permasalahan akidah, budi pekerti, akhlak, syariat Islam dan konsep
pemerintahan.
Dikutip
dari tulisan Adian Husaini, Karya ini (gurindam 12) begitu populer di kedua
provinsi itu. Kitab Gurindam 12 – yang aslinya ditulis dalam huruf Arab
berbahasa Melayu/Jawi – mengandung konsep-konsep penting dalam pendidikan dan
kebangkitan diri, masyarakat, dan bangsa. Pasal 1 Gurindam 12 memuat
ajaran-ajaran penting pembentukan pandangan hidup Islam (worldview of Islam).
Pasal ini dibuka dengan kalimat tegas tentang pandangan dan sikap seseorang
terhadap agama: “Barangsiapa tiada memegang agama, maka sekali-kali tiada boleh
dibilangkan nama.”
Baris-baris
berikutnya, diberikan rumus untuk menjadi orang yang ma’rifat dan bertaqwa:
“Barangsiapa mengenal Allah, maka suruh dan tegah-Nya tiada ia menyalah.
Barangsiapa mengenal diri, sungguh ia telah mengenal Tuhan yang bahri.
Barangsiapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang terperdaya. Barangsiapa
mengenal akhirat, tahulah ia dunia itu mudharat!”
Sekedar
contoh, silakan simak pasal 3 Gurindam 12: “Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita. Apabila
terpelihara kuping, khabar yang jahat tiadalah damping. Apabila terpelihara
lidah, niscaya dapat daripadanya paedah.
Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan, daripada segala berat dan ringan. Apabila
perut terlalu penuh, keluarlah fi'il yang tiada senunuh. Anggota tengah hendaklah
ingat, di situlah banyak orang yang hilang semangat. Hendaklah peliharakan
kaki, daripada berjalan yang membawa rugi.”
Upaya
paksa penggusuran Pulau Rempang akan berpotensi mencerabut warisan sejarah peradaban melayu Islam ini. Hal ini
sejalan dengan ucapan cendekiawan Muslim Muhammad Asad : bahwa suatu peradaban
tidak akan bangkit jika peradaban itu kehilangan kebanggaannya atau terputus
dari sejarahnya. Penggusuran pulau Rempang menjadi kawasan industri china
komunis pastinya akan menghilangkan jejak sejarah peradaban Melayu Islam di
sana.
Salah
satu peristiwa sejarah yang dimuat dalam manuskrip yang ditulis pada abad ke-19
ini adalah peristiwa perang laut terbesar abad ke-18 yang terjadi di Selat
Malaka. Dikutip dari JantungMelayu.com menjelaskan jika pada waktu itu
peristiwa perang antara Yang Dipertuan Muda Riau Raja Haji Fisabilillah dan
Belanda pada 6 Januari 1784. Manuskrip Tuhfat Al-Nafis Trengganu menjelaskan
pula tentang peristiwa gugurnya Raja Haji Haji di Tanjung Palas, Teluk
Ketapang, Malaka pada 17 Juni 1784.
Naskah
ini juga menyebutkan tentang silsilah raja Melayu, Bugis, Siak, Johor dan
berdirinya negara Singapura pada masa Raffles. Alasan dimasukannya peristiwa
terlepasnya Singapura dari Kesultanan Johor-Riau adalah bukti semakin sempitnya
wilayah kekuasaan kesultanan akibat lemahnya kekuatan politik. Pasca terjadinya
traktat London pada 1824, Kesultanan Riau pisah dan berdirilah Kesultanan
Riau-Lingga yang berkedudukan di Penyengat.
Sejak
saat itu gerakan politik berubah menjadi gerakan intelektual dan dakwah Islam.
Sampai terbitlah naskah Tuhfat Al-Nafis pada 1866, tepat enam tahun sebelum
wafatnya Raja Ali Haji pada 1872. Naskah ini konon dinilai sangat Bugissentris,
mengangung-ngaggungkan orang Bugis sebagai nenek moyang dari Raji Ali Haji
seorang keturunan Bugis yang merantau ke tanah Melayu.
Belajar
dari Kebijakan Khalifah Umar Bin Khathab atas Tanah Milik Kaum Yahudi
Dalam
hukum agraria Islam haram hukumnya menggusur tanah milik rakyat. Memberikan
karpet merah untuk investor asing berarti telah membuka jalan kepada orang
kafir untuk menguasai kaum muslimin. Hal ini diharamkan, berdasarkan firman
Allah : “ dan Allah sekali - kali tidak
akan memberi jalan kepada orang - orang kafir ( untuk mengalahkan ) orang -
orang yang beriman . ” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 141).
Adalah
sebuah kisah yang berharga yakni ketika Gubernur Mesir Amr bin Ash berencana membangun
sebuah masjid besar, namun ada kendala karena di atas tanah itu ada sebuah
gubuk reot milik kaum yahudi. Pemilik tanah itu tak mau direlokasi, meskipun
akan diganti rugi dua kali lipat harganya. Singkat cerita akhirnya turun
perintah dari Gubernur Amr bin Ash untuk tetap menggusur gubuk tersebut.
Kecewa
berat orang Yahudi itu atas kebijakan sang gubernur dan hendak mengadukan
kepada Khalifah Umar Bin Khathab. Dengan agak ragu, orang Yahudi itu tetap ke
Madinah mencari keadilan. Dia bergumam dalam hati, “kalau gubernur saja galak
main gusur apalagi khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika
mengadu?”.
Sesampai
di Madinah dia bertemu dengan seorang yang sedang tidur-tiduran di bawah pohon
Kurma. dia hampiri dan bertanya, bapak tau dimana khalifah Umar bin Khattab?
Dijawab orang tersebut, ya saya tau. Di mana Istananya?. Istananya di atas
lumpur, pengawalnya yatim piatu, janda-janda tua, orang miskin dan orang tidak
mampu. Pakaian kebesarannya malu dan
taqwa.
Si Yahudi
tadi malah bingung dan lalu bertanya sekarang orangnya di mana pak? Ya di
hadapan tuan sekarang. Gemetar Yahudi ini keringat bercucuran, dia tidak
menyangka bahwa di depannya adalah seorang khalifah yang sangat jauh berbeda
dengan gubernurnya di Mesir.
Setelah
mengadukan masalahnya, Umat Bin Khathab memberikan sepotong tulang dengan garis
lurus kepada yahudi ini dan langsung
menyampaikan pesan Sayyidina Umar dengan memberikan sepotong tulang tadi kepada
Gubernur Amr bin Ash. Seketika dibatalkan penggusuran itu.
Sang
gubernur bercerita kepada yahudi, dengan tulang itu seolah Khalifah mengatakan
: ‘hai Amr bin Ash, jangan
mentang-mentang lagi berkuasa, pada suatu saat kamu akan jadi tulang-tulang
seperti ini. Maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku lurus dan
adillah kamu seperti lurusnya garis di atas tulang ini. Lurus, adil, jangan
bengkok, sebab kalau kamu bengkok maka nanti aku yang akan luruskan dengan
pedang ku.
Ada
beberapa hikmah dan pelajaran dari kisah indah di atas : Pertama, bahkan untuk
membangun fasilitas umum seperti masjid saja, penguasa tidak boleh
sewenang-wenang menggusur penduduk, sekaligpun diganti harganya 2x. Apalagi kalau itu sekedar membangun untuk
investasi, oleh asing lagi. Kedua, keadilan hukum Islam bahkan berlaku juga
bagi non muslim.
Ketiga, Khalifah
Umar tidak menunggu kasus ini menjadi objek demo besar-besaran, jadi rusuh,
lalu viral. Meski baru satu orang yang
komplen, Umar tidak berkilah dengan mengatakan, "Ah itu kan cuma soal
komunikasi saja", lalu "Soal kayak gini saja koq harus sampai ke
Khalifah!".
Keempat,
keadilan ini hanya bisa tegak, bila penguasanya adalah orang yang bertaqwa,
bukan orang yang tergadai hatinya oleh dunia. Kelima, keadilan seperti ini baru
bisa terwujud bila referensi hukum yang dipakai negara adalah Kitabullah, bukan
referensi yang dapat diubah-ubah kapan saja oleh rakyat (atau yang mengaku
mewakilinya) seperti dalam sistem demokrasi.
Karena
dalam sistem demokrasi, kapan saja bisa muncul UU yang sah, sekalipun dengan UU
itu bisa ada perampasan tanah rakyat secara legal, seperti yang terjadi di
daerah-daerah yang sebenarnya berstatus tanah adat, yang tiba-tiba muncul
HGU/HGB untuk swastas dengan istilah konsesi, atau tanah hak milik yang
dibeli-paksa dengan alasan demi "kepentingan umum".
Khotimah
Semestinya
penguasa menjadikan kisah khalifah Umar, seorang khalifah dalam sistem khilafah,
sebagai inspirasi kebijakan dengan tidak
melakukan penggusuran, sementara rakyatnya tidak mau. Dalam sistem Demokrasi
hakikatnya yang berkuasa adalah kaum pemodal, segala kebijakannya mengikuti
kepentingan mereka sedangkan negara adalah alat untuk memenuhi kepentingan
tersebut (disarikan dari Nizham Islam bab Qiyadah Fikriyah fil Islam, karya
Syaikh Taqiyuddin an nabhani, pendiri Hizbut Tahrir)
Sementara
dalam sistem Khilafah hakikatnya yang berkuasa adalah para ulama, segala
kebijakannya mengikuti pandangan mereka sebab Khilafah itu pelaksana syariat
Islam sedangkan orang yang paling tahu akan syariat Islam adalah ulama
(disarikan dari Ghiyatsul Umam fil Tiyatsizh zhulam, karya Imamul Haramain Al
Juwaini Asy Syafi'i).
Semestinya
penguasa tidak lupa dengan sejarah bangsanya yang akan terus menjadi inspirasi
dan aspirasi bagi generasi penerus negeri ini. Situs bersejarah perlawanan umat
Islam Rempang kepada para penjajah adalah sebuah peninggalan yang sangat
berharga bagi keberlangsungan sejarah perjuangan negeri ini. Tentu saja nilai
sejarah ini lebih bernilai dibandingkan dengan triliunan rupiah, terlebih
investasi dari China yang jelas-jelas anti Islam. Penggusuran ini merupakan
preseden buruk bagi upaya penguburan dan pengaburan sejarah bangsa ini.
Semestinya
penguasa mempertahankan situs sejarah yang sangat pentingnya ini dan lebih
mengedepankan keberpihakan kepada rakyatnya sendiri dibandingkan kepada
oligarki asing dan aseng. Sebaliknya, semestinya masyarakat Rempang dengan
warisan sejarah perjuangan ini terus dirawat dan dilestarikan sebagai warisan
perjuangan kepada anak cucu negeri ini. Investasi tidak harus dengan menggusur
rakyat dan mengubur situs sejarah ini.
Oleh
karena itu, sebaiknya presiden yang konon katanya mirip dengan khalifah Umar
bin Khathab segera menghentikan proyek Rempang, mengambalikan hak-hak kepada
rakyat, membuatkan sertifikat tanah gratis untuk masyarakat pulau Rempang,
menarik pasukan dan membebaskan warga yang masih ditahan. Jika presiden memang
betul-betul berpihak kepada kepentingan rakyat sebagaimana diucapkan dalam
kampanye.
(AhmadSastra,KotaHujan,19/09/23
: 15.00 WIB)