Oleh : Ahmad Sastra
Istilah "sejarah berulang" adalah sebuah ungkapan atau pepatah yang sering digunakan untuk menggambarkan pola atau peristiwa yang tampaknya berulang kembali di masa kini setelah terjadi di masa lalu. Meskipun pepatah ini populer, namun dalam konteks sejarah sebenarnya, peristiwa tidak berulang persis dengan cara yang sama, tetapi kita dapat menemukan pola-pola atau kesamaan tertentu dalam peristiwa yang berbeda. Dalam tulisan fokus kepada berulangnya sejarah munculnya pada musuh agama Allah, sebagaimana terjadi pada zaman setiap Nabi dan Rasul.
Kebanyakan keputusan dan tindakan manusia didorong oleh naluri, emosi, dan dorongan yang serupa. Sehingga, ketika dihadapkan pada situasi yang mirip, manusia cenderung merespons dengan cara yang serupa. Lingkungan, ekonomi, dan keadaan politik dapat mempengaruhi cara orang bertindak dan bereaksi. Ketika kondisi dan faktor eksternal serupa terjadi, respons dan hasilnya mungkin menyerupai masa lalu.
Beberapa peristiwa dapat dipicu oleh kekuatan struktural yang lebih besar, seperti bentrokan kepentingan, ambisi kekuasaan, atau konflik ideologis. Ketika struktur kekuatan tetap ada, mungkin timbul peristiwa serupa. Tidak aneh jika pada setiap periode kenabiah, selalu terjadi konflik antara para Nabi dengan kekuasaan zolim yang ada pada saat itu. Penguasa zolim dan para budak politiknya selalu berperan sebagai musuh-musuh agama Allah dengan memusuhi para Nabi utusan Allah dan menolak ajarannya.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk belajar dari masa lalu dan menghindari kesalahan yang sama. Meskipun pola sejarah dapat memberikan panduan, tetapi tidak ada jaminan bahwa peristiwa akan berulang persis. Perbedaan konteks sosial, teknologi, dan faktor-faktor lainnya dapat menghasilkan hasil yang berbeda dalam situasi yang tampak serupa. Namun, secara esensi seringkali kita akan mendapati kesamaan itu.
Sepanjang sejarah, para pendengki atau musuh-musuh Islam selalu ada di berbagai zaman dan tempat. Fenomena ini sejalan dengan ungkapan bahwa "sejarah berulang" yang telah dibahas di awal tulisan ini.
Musuh-musuh Islam sering kali muncul karena perbedaan keyakinan dan ideologi. Dalam lingkungan pluralistik, berbagai agama dan ideologi akan berinteraksi dan seringkali saling bersaing, menyebabkan konflik dan persaingan. Tindakan para pendengki Islam bisa didorong oleh motif politik dan ambisi kekuasaan. Dalam sejarah, ada penguasa atau kelompok yang melihat kehadiran Islam sebagai ancaman terhadap kekuasaan mereka, sehingga mereka berusaha untuk menekan atau menghilangkan agama tersebut untuk kepentingan politik mereka.
Kebencian atau prasangka terhadap agama atau kelompok tertentu juga dapat memicu pendengkian terhadap Islam. Prasangka dan stereotip negatif yang berkembang dalam masyarakat dapat menyebabkan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap umat Muslim.
Beberapa pendengki Islam mungkin mendasarkan tindakan mereka pada ketidakpahaman atau miskonsepsi tentang ajaran dan praktek Islam. Kekurangan informasi yang akurat tentang agama ini dapat menyebabkan persepsi yang salah dan sikap negatif. Narasi islamopobia membuktikan hal ini. Secara esensi, islamopobia sebenarnya telah terjadi sejak zaman kenabian dan di zaman modern ini kembali terulang.
Meskipun musuh-musuh Islam selalu ada, penting untuk diingat bahwa Islam juga memiliki banyak pengikut yang damai dan berkontribusi positif dalam masyarakat. Musuh-musuh Islam bukan representasi dari seluruh umat Muslim, dan pemahaman yang benar tentang agama ini harus didasarkan pada pengetahuan yang akurat dan konteks yang tepat.
Fir'aun (Pharaoh dalam bahasa Inggris) adalah gelar yang diberikan kepada para penguasa Mesir kuno. Kata "Fir'aun" berasal dari bahasa Mesir Kuno "per-aa," yang berarti "rumah besar" atau "istana." Gelar ini pertama kali digunakan pada sekitar 2700 SM dan berlangsung selama ribuan tahun hingga dominasi Islam di Mesir pada abad ke-7 Masehi.
Para Fir'aun dianggap sebagai dewa di bumi dan dianggap sebagai penguasa tertinggi Mesir. Mereka memiliki kekuasaan absolut atas pemerintahan, agama, militer, dan administrasi. Para Fir'aun memerintah dengan tangan besi, dan keputusan mereka dianggap tidak dapat diganggu gugat.
Salah satu Fir'aun paling terkenal adalah Fir'aun yang tercatat dalam Alkitab dan Al-Quran, yaitu Fir'aun yang hidup pada masa Nabi Musa. Ia merupakan penguasa Mesir yang keras kepala dan menolak untuk membebaskan orang-orang Israel dari perbudakan. Kisah kehidupannya dan konfrontasi dengan Nabi Musa tercatat dalam kitab-kitab agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Seiring berjalannya waktu, banyak Fir'aun lain yang berkuasa di Mesir dan mengukir jejak dalam sejarahnya. Beberapa Fir'aun membangun piramida besar dan monumen megah untuk mengenang mereka. Namun, seiring dengan kemegahan mereka, kekuasaan Fir'aun akhirnya berakhir, dan mereka tidak lagi berkuasa setelah dominasi asing dan penaklukan Mesir oleh bangsa lain.
Dalam catatan sejarah yang tertulis dalam Al-Quran, Fir'aun yang hidup pada masa Nabi Musa memusuhi agama Allah. Kisah ini terkenal dengan cerita keberanian dan ketabahan Nabi Musa dalam memperjuangkan kebebasan bagi orang-orang Israel yang ditindas di bawah kekuasaan Fir'aun.
Fir'aun dianggap sebagai tuhan oleh rakyat Mesir kuno, dan ketika Nabi Musa datang kepada mereka sebagai utusan Allah, Fir'aun menolak untuk mempercayainya. Sebagai tanda kekuasaannya yang sombong, Fir'aun menentang seruan Nabi Musa untuk membebaskan orang-orang Israel dan membiarkan mereka beribadah kepada Allah yang sejati.
Banyak mujizat yang ditunjukkan oleh Nabi Musa sebagai bukti kebenaran utusan Allah, tetapi Fir'aun tetap keras hati dan menolak untuk mengakui kekuasaan Allah. Ia bahkan menantang Allah dan mengancam Nabi Musa dengan hukuman jika tidak berhenti mengajak rakyatnya untuk meninggalkan penyembahan terhadap dirinya.
Akhirnya, keingkaran dan kezaliman Fir'aun mencapai puncaknya, dan Allah menyelamatkan orang-orang Israel dari penindasan mereka dengan mujizatnya yang besar. Kisah ini menegaskan pesan tentang kesombongan dan akibatnya, sementara kebenaran dan keadilan Allah akhirnya muncul sebagai pemenang. Fir'aun dan pasukannya akhirnya tenggelam di laut ketika mereka mengejar orang-orang Israel yang sedang melarikan diri.
Kisah Nabi Musa dan Fir'aun menjadi pelajaran tentang pentingnya taat kepada Allah dan menghindari kesombongan dan tirani dalam menjalani kehidupan. Cerita ini juga menunjukkan bahwa akhirnya kebenaran akan menang dan bahwa kezaliman akan mendapatkan balasan yang setimpal. Mengapa kekuasaan fir’aun melahirkan kedengkian kepada ajaran Islam yang dibawa Nabi Musa, apakah sekarang terjadi lagi ?. Siapa fir’aun modern ?.
Ada fir’aun ada juga namrud. Namrud diyakini oleh banyak orang sebagai seorang penguasa yang kuat dan kontroversial dari zaman kuno. Beberapa sumber menyatakan bahwa Namrud adalah raja pertama Babel (Babilonia), sedangkan sumber lain menyatakan bahwa ia adalah raja Asyur. Beberapa kitab dan cerita menyebutkan bahwa Namrud adalah keturunan Kusy, yang merupakan keturunan Nuh.
Namrud terkenal karena keangkuhannya dan klaim ilahi. Ia menganggap dirinya sebagai tuhan dan menuntut penghormatan yang lebih tinggi daripada penguasa biasa. Namrud juga menentang penyembahan terhadap Allah dan menganggap dirinya sebagai sumber kekuatan dan kebijaksanaan. Beberapa kisah menggambarkan Namrud sebagai musuh para nabi, termasuk Nabi Ibrahim.
Salah satu kisah yang terkenal dalam tradisi agama Samawi adalah ketika Namrud mencoba membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup dalam peristiwa yang disebut "peristiwa tungku api" (the fiery furnace). Namun, menurut kisah tersebut, Allah menyelamatkan Nabi Ibrahim dan membuat api tersebut menjadi sejuk dan aman bagi nabi tersebut.
Namrud sering digambarkan sebagai contoh keangkuhan dan kezaliman, dan kisahnya mengajarkan pelajaran tentang pentingnya rendah hati dan tunduk kepada kehendak Allah. Namrud dianggap sebagai tokoh yang menyimpang dari jalan kebenaran dan mengalami nasib buruk akibat keangkuhannya. Adakah namrud modern, sebagai bentuk pengulangan sejarah ?.
Di zaman Rasulullah lahir pula tokoh pendengki Islam yang bernama Abu jahal. Abu Jahal adalah julukan dari seorang penguasa kafir Mekah yang bernama Amr bin Hisham. Julukan "Abu Jahal" berarti "ayah kebodohan" atau "ayah kefasikan." Ia dikenal sebagai salah satu musuh utama Islam pada awal periode kenabian Nabi Muhammad.
Abu Jahal termasuk dalam golongan kaum Quraisy, kelompok suku utama di Mekah yang memiliki pengaruh besar dalam hal politik dan sosial. Ia adalah paman Nabi Muhammad, dan karena statusnya yang tinggi dalam masyarakat Mekah, ia menggunakan pengaruhnya untuk menentang dan memusuhi Islam.
Abu Jahal adalah salah satu tokoh yang sangat memusuhi agama Allah (Islam) dan Nabi Muhammad. Ia merupakan salah satu musuh utama Islam pada masa awal kenabian Nabi Muhammad di Mekah.
Ketika Nabi Muhammad mulai menyampaikan ajaran-ajaran Islam, termasuk mengajak orang-orang untuk meninggalkan penyembahan berhala dan menyembah Allah yang Maha Esa, Abu Jahal adalah salah satu tokoh yang paling keras menentangnya. Ia mendukung upaya-upaya untuk menghentikan penyebaran agama baru tersebut dan menyakiti dan menindas para pengikut Islam.
Abu Jahal dan kelompoknya melakukan berbagai upaya untuk menghalangi dakwah Nabi Muhammad, termasuk menyiksa dan menganiaya para pemeluk Islam. Meskipun Nabi Muhammad dan para sahabatnya menghadapi banyak kesulitan dan tantangan, mereka terus berjuang dengan kesabaran dan kegigihan.
Ketika Islam semakin berkembang, beberapa orang dari kalangan Quraisy yang sebelumnya keras menentang Islam, akhirnya juga memeluk agama tersebut, namun Abu Jahal tetap tidak mengubah sikapnya. Ia tetap membenci dan memusuhi Nabi Muhammad dan Islam hingga akhir hayatnya.
Abu Jahal merupakan contoh dari orang yang keras kepala dan fanatik dalam mempertahankan kejahatan dan menentang kebenaran. Namun, kisahnya juga menjadi pelajaran tentang betapa pentingnya kesabaran dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan dan kezaliman dalam perjuangan menuju kebenaran dan keadilan. Siapakah abu jahal modern ?.
Meskipun musuh-musuh Islam selalu ada, penting untuk diingat bahwa Islam juga memiliki banyak pengikut yang damai dan berkontribusi positif dalam masyarakat. Musuh-musuh Islam bukan representasi dari seluruh umat Muslim, dan pemahaman yang benar tentang agama ini harus didasarkan pada pengetahuan yang akurat dan konteks yang tepat.
Sebagai makhluk sosial, penting bagi manusia untuk memahami sejarah dan memanfaatkannya sebagai pembelajaran untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Pelajaran dari sejarah dapat membantu kita membuat keputusan yang lebih bijaksana, menghindari kesalahan masa lalu, dan mempromosikan perdamaian serta keadilan dalam masyarakat.
Musuh Islam dan para pendengki agama Allah akan terus muncul pada setiap zaman dan tempat, mungkin sampai hari kiamat kelak. Maka, belajarlah dari sejarah, yakni jadilah para pembela agama Allah sebagaimana para Nabi dan Rasul. Jangan sampai menjadi para pendengki Islam sebagaimana fir’aun, namrud dan abu jahal.
(AhmadSastra,KotaHujan,24/07/23 : 14.55 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad