Oleh : Ahmad Sastra
Jika ada persoalan yang terlalu sulit bagiku, aku pergi ke masjid dan berdoa, memohon kepada Yang Maha Pencipta agar pintu yang telah tertutup bagiku dibukakan dan apa yang tampaknya sulit menjadi sederhana. Biasanya, saat malam tiba, aku kembali ke rumah, menghidupkan lampu dan menenggelamkan diri dalam bacaan dan tulisan. [Ibnu Sina]
Ada dua dimensi mendasar yang bisa diambil pelajaran dari spirit intelektual Ibnu Sina diatas. Pertama adalah kegelisahannya pada persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Ibnu Sina, sebagai seorang ilmuwan sangat memperhatikan problematikan sosial pada zamannya. Kedua, ketekunannya di bidang literasi dengan menenggelamkan diri dalam bacaan dan tulisan. Budaya literasi Ibnu Sina didasarkan oleh persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Ibnu Sina (980-1037) yang dikenal dengan sebutan "Avicenna" di dunia Barat adalah seorang filosuf, ilmuwan, sekaligus praktisi sebagai seorang dokter. Di bidang literasi dan riset, ilmuwan kelahiran Persia ini juga seorang penulis yang produktif dan konstributif. Sebagian besar karyanya terkait bidang filsafat dan kedokteran. Tidak berlebihan jika dia disebuat sebagai "Bapak Kedokteran Modern". Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qānūn fī aṭ-Ṭibb yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Dalam perspektif Islam, ilmuwan disebut dengan istilah ulil albaab, sebuah integrasi antara aktifitas pemikiran sekaligus spiritual. Ketinggian ilmu mestinya berbanding lurus dengan spiritualitas. Perenungan atas fakta-fakta manusia, kehidupan dan alam semesta mestinya mengantarkan kepada tingginya intelektualitas dan spiritualitas seorang ilmuwan. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS. Ali Imran : 190-191.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka [QS Ali Imran : 190-191] Dalam hal ini, Imam Syafi'i berkata: "Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan dengan mengoptimalkan potensi otak, panca indera, fakta penciptaan dan ilmu yang mengantarkan kepada keyakinan dan ma'rifat kepada Allah.
Spirit ilmuwan adalah sebuah perjalanan pencarian kebenaran tiada akhir. Ilmuwan adalah seorang penjelajah samudra pengetahuan. Ilmuwan adalah orang yang memahami konsep-konsep yang telah ada dengan mendalam dan kritis. Ilmu dan pengetahuan adalah bersifat continuum yang terus bergerak, berubah dan berkembang sejalan dengan kompleksitas dan perkembangan sains dan teknologi. Ilmu akan terus bergulir dengan mengalami berbagai penyempurnaan oleh para ilmuwan masa setelahnya.
Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal, President of the Royal Society memiliki spirit ini. Ada banyak penyempurnaan penemuan ilmuwan sebelumnya yang dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya percaya pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian terdahulu seperti logika aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak, cahaya, dan struktur kosmos.
“Saya tidak mendefenisikan ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana yang diketahui banyak orang” ujar Newton. Bagi Newton, dunia keilmuwan tak ada keparipurnaan, yang ada hanya pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah selesai. “ku tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu sampai cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai betul-betul terang”.
Namun demikian, spirit riset dan penelitian seorang ilmuwan dalam pandangan Islam tidaklah cukup. Sebab ilmuwan jika tidak peduli atas persoalan masyarakat dan negara maka hanya akan menjadi menara gading yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Seorang ilmuwan dalam pandangan Islam bukan hanya berkutat persoalan intelektualitas, namun dia juga seorang pemberi peringatan.
Allah menegaskan dalam firmannya, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kami bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang berpaling dan kafir, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar. Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka”, (QS Al Ghasiyyah : 17-26).
Dengan demikian, seorang ilmuwan sejati bukan hanya berdiri sebagai menara gading yang sibuk dengan dirinya sendiri, bukan pula yang hanya mengabdi kepada kekuasaan, namun dia adalah seorang yang berorientasi kepada kebenaran sains sekaligus memberikan pencerahan kepada masyarakat maupun kekuasaan. Ilmuwan atau ulama menjadi salah satu kunci bagi kebaikan peradaban sebuah bangsa. Dalam konteks ini, seorang ilmuwan harus memiliki integritas.
President dari Reflections Ministries, Atlanta, Dr. Kenneth Boa memberikan ilustrasi dan penegasan soal integritas. Dia menempatkan integritas sebagai lawan dari oportunistik. Karakter oportunis pragmatis menurutnya, tidaklah qualified untuk mencerahkan orang-orang lain guna mencapai kebaikan yang lebih tinggi. Dengan demikian integritas pemimpin menduduki posisi penting, selain integritas seorang intelektual.
Integritas itu bermuara kepada karakter berbasis nilai, sebagaimana kepemimpinan Rasulullah yang didasarkan oleh kejujuran, amanah, menyampaikan kebenaran dan memiliki kecerdasan. Kepemimpinan bangsa yang memiliki integritas harus ditopang oleh integritas ulama dan kaum intelektual. Keduanya berjalan seiring sejalan demi kebaikan dan kemuliaan bangsa.
Sifat oportunistik dan pragmatisme duniawi para ilmuwan atau ulama ini dalam pandangan Imam Al Ghazali merupakan sumber kerusakan. Dalam Kitab Ihya ‘Ulumudin juz 2 halaman 357 ditegaskan bahwa kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Sementara rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Sesiapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar ?.
Karena itu, adalah penting membangun integritas intelektual para ilmuwan. Integritas intelektual berpijak kepada nilai-nilai etis yang akan membawa kepada kebaikan dan kemuliaan. Sebaliknya, intelektualitas tanpa integritas berarti suatu bangsa telah kehilangan nilai kejujuran, kredibilitas dan sederet karakter mulia lainnya. Baik kaum intelektual atau ulama maupun penguasa wajib hukumnya memiliki integritas intelektual karena sangat berperan membawa arah suatu bangsa dan peradabannya.
Integritas seorang ilmuwan akan membawa dirinya kepada dua fungsi sekaligus, baik sebagai kaum intelektual yang mengasilkan berbagai bidang ilmu sekaligus sebagai seorang pemberi peringatan atas kondisi bangsanya yang tidak sejalan dengan prinsip dan nilai kebaikan. Ilmuwan bukanlah orang yang berdiri sebagai menara gading, namun menetapkan dirinya juga sebagai pencerah bagi kehidupan bangsanya.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad