SANTRI DALAM JEBAKAN SINKRETISME DAN PRAGMATISME



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Hari santri nasional digelar setiap tahun pada tanggal 22 Oktober, namun sangat disayangkan jika para santri kini banyak yang terjebak paham sinkretisme agama, liberalisme hingga pragmatisme.  Kemusyrikan modern yang kini tengah menyerang tauhid umat Islam, sebagaimana terjadi sejak dulu hanyalah sebuah kelanjutan masa lalu.

 

Semisal paham pluralisme dan moderasi agama hanyalah sebuah transformasi bahasa, sementara secara substansial adalah kemusyrikan. Paham pluralisme sebagaimana telah dinyatakan haram oleh fatwa MUI 2005 adalah paham yang mencampur aduk haq dan batil dengan menyatakan bahwa semua agama sama yang membawa kebenaran dan kebaikan.

 

Secara genealogis, paham pluralisme ini berasal dari luar ajaran Islam. Paham pluralisme teologis yang diserukan kaum kafir Quraisy dengan tegas dibantah oleh Rasulullah melalui firman Allah QS Al Kafirun : 1 -6. Moderasi beragama tidaklah jauh berbeda, yakni semacam sinkretisme agama, mencampur aduk ajaran agama-agama. Munculnya batik moderasi sudah kebablasan, sebab ada hukumnya bagi seorang muslim memakai pakaian yang bergambar simbol-simbol agama lain, seperti salib dan patung Sang Budha.

 

Dalam Islam, umat Islam dilarang menyerupai golongan non muslim dalam berbagai hal, salah satunya yang berkaitan dengan cara berpakaian dan berbusana. Namun dalam hal pakian dan busana, ada beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan. Dalam salah satu keterangan dalam kitab Majmu al-Fatawa wa ar-Rasail karya Sayyid Alwi al-Maliki al-Hasani.

 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa gambar salib sudah menjadi identitas dan ciri-ciri khusus umat kristiani. Sehingga hukum memakainya adalah haram bahkan bisa murtad apabila ada kerelaan serta mengagungkan agama mereka. Karena sudah merambah ke dalam ranah ciri khas dan identitas khusus peribadatan yang melekat, alasan toleransi tidak dapat dibenarkan dalam persoalan ini. Apalagi jika batik itu dipakai saat seorang muslim menjalankan ibadah sholat.

 

Allah telah menegaskan katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembahdan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku" (QS Al Kafiruun : 1-6)

 

Tujuan utama kaum kafir Quraisy saat itu adalah untuk mencoba menghentikan dakwah tauhid yang diserukan Rasulullah SAW dengan cara yang halus, yakni mencoba mengkompromikan dan mencampuradukkan ajaran-ajaran jahiliyah saat itu dengan ajaran Islam. Upaya ini akan terus dilakukan hingga zaman dimana kita hidup hari ini, yang berbeda hanya perubahan bahasa yang digunakan dan orang yang mempropagandakan.

 

Pecampuradukan ajaran agama-agama adalah mengoplos yang haq dan yang batil yang dalam bahasa filsafat disebut sinkretisme agama, seperti paham pluralisme dan paham moderasi agama. Allah dengan tegas melarang campur aduk ajaran, sebagaimana firmanNya : “Janganlah kalian campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kalian sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 42).

 

Para santri harus paham bahwa salah satu kebenaran Islam justru ditunjukkan melalui berbagai istilah-istilah yang khas dengan makna yang khas pula.  Berbagai istilah khas Islam misalnya kata kaffah, rahmatan lil’alamin dan washatiyah. Ketiganya memiliki pengertian khas yang sahih karena berasal dari Allah langsung. Sementara istilah moderatisme, sekulerisme, liberalisme, pluralisme dan radikalisme adalah istilah yang berasal dari epistemologi Barat dan tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam.

 

Narasi dan istilah Barat ini adalah refleksi atas ketidaksukaan kepada Islam dengan  menginginkan keterpecahan kaum muslimin. Barat menginginkan polarisasi muslim dengan memberikan lebel dan kampling-kapling Islam sehingga menimbulkan berbagai friksi intelektual hingga fisik sesama muslim. Upaya-upaya semacam ini sesungguhnya hanyalah pengulangan sejarah semata. Karena itu umat Islam khususnya santri harus cerdas dan mampu membaca dengan cepat dan tepat. Inilah yang disebut sebagai ghozwul fikri.

 

Beberapa postulat berikut merupakan ‘Islam’ buatan Barat yang dibangun oleh epistemologi Barat dan tentu tidak ditemukan dalam ajaran Islam karena termasuk sinkretisme. Diantara ‘Islam’ buatan Barat itu adalah : Islam moderat, Islam radikal, Islam Fundamentalis, Islam Nusantara, Islam progresif, Islam Liberal, Islam sekuler, Islam demokratis, Islam sosialis, Islam teroris, Islam tradisional, dan  Islam modern. Ragam Islam inilah hasil dari gerakan imperialisme epistemologi [ghozwul fikr] Barat ke dunia Islam.

 

Jika dalam kajian gender, Barat meluncurkan narasi pengarusutamaan gender dengan tujuan liberalisasi sosiologis. Sedangkan dalam bidang agama, memunculkan narasi pengarusutamaan moderasi agama dengan tujuan mengaburkan hakekat Islam, mencampur aduk kebenaran Islam dengan agama lain, mengkerdilkanajaran Islam, mendegradasi aqidah umat Islam dan melumpuhkan dakwah tauhid serta menghadang kebangkitan Islam.Narasi moderasi agama adalah indikasi kecil dari islamophobia.

 

Kementerian Agama sedang menggalakkan konsep moderasi beragama sebagai amunisi dan alternatif kebijakan pemerintah dalam menanggulangi paham keagamaan yang ekstrim. Jamaknya, paham keagamaan moderat dianggap mampu menanggulangi penyebaran ideologi radikalisme. Melalui kebijakan deradikalisasi yang merupakan salah satu dari 5 (lima) Prioritas Aksi Kementerian Agama, akan dilaksanakan program/kegiatan deradikalisasi melalui diklat aparatur, diklat juru dakwah, kampanye toleransi, sinergi lintas Kementerian/Lembaga, TNI/Polri & Ormas dan penguatan wawasan kebangsaan. (lihat sambutan Menag Fachrul Razi dalam Buku Moderasi Beragam, Jakarta, Desember 2019, hal v)

 

Narasi moderasi beragama jika ditilik lebih dalam adalah bagian dari proyek deradikalisasi. Peristiwa runtuhnya WTC di New York City Amerika pada 11 September 2001 pukul 08.45 karena ditabrak pesawat American Airlines Boing 767 yang konon  merupakan rekayasa selalu dijadikan argumen program deradikalisasi. Pasca runtuhnya WTC, presiden Amerika menyerukan : bersama Amerika atau bersama terorisme. Program war on terrorism dan dilanjutkan dengan war on radicalism tak lebih dari upaya serangan terhadap Islam itu sendiri. Dari sinilah program moderasi beragama bisa ditemukan jejak historis, politis dan ideologis. Siapa yang mendanai proyek deradikalisasi ini ?.

 

Genealogi  perang pemikiran ini telah berlangsung sekitar 3 abad hingga hari ini. Perang asimetrsi ini terbukti efektif, buktinya banyak kalangan intelektual muslim yang terpapar sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Ketiga paham ini adalah produk epistemology barat untuk mendekonstruksi ajaran Islam. Itulah mengapa tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram atas ketiga paham di atas. Secara epistemologi, Islam adalah kebenaran, sedangkan moderasi agama (beragama) adalah kekacauan berfikir.

 

Karena itu tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat, sementara propaganda moderasi agama adalah racun aqidah. Istilah washatiyah berasal dari Al Qur’an, sementara istilah moderat berasal dari epistemologi Barat. Meskipun banyak cendekiawan muslim memaksakan diri untuk menyamakannya. Menyamakan keduanya akan melahirkan epistemologi oplosan yang menyesatkan umat. Pengarusutamaan moderasi agama adalah sia-sia karena merupakan produk gagal paham, dan karenanya pasti akan gagal pula, setidaknya umat tidak boleh diam, terus bersuara untuk membungkam sesat pikir ini.

 

Tanpa diberikan embel-embel moderat, Islam adalah agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Tanpa ada narasi moderasi agama, Islam adalah agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk agama lain. Hanya paham demokrasi sekuler yang diterapkan saat inilah yang justru menuduh Islam sebagai agama radikal dan anti keragaman. Islam memberikan ruang pengakuan atas fakta pluralitas sosiologis, namun tidak dengan pluralisme teologis.

 

Toleransi seagama [tasamuh] sejak awal dibangun oleh Rasulullah, Sahabat, tabiin, atba tabiin, imam mujtahid dan kekhilafahan. Toleransi antaragama dalam Islam terbangun indah saat, di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Di India sepanjang kekuasaan Bani Ummayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, muslim dan hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Di Mesir umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak khulafaur Rasyidin.

 

Jebakan yang tidak kalah berbahaya yang tengah menjerat kaum santri adalah jebakan pragmatisme politik. Para santri, kyai dalam ulama yang menjebakkan diri dalam permainan politik demokrasi sekuler, maka mereka sesungguhnya sedang menjerumuskan  ke dalam jebakan pragmatisme. Istilah Pragmatisme  berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice).

 

Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).

 

Pragmatisme William James menawarkan sebuah konsep baru dalam memandang kebenaran. Ia menolak kebenaran sebagai sesuatu yang sifatnya statis, yang dikandung oleh suatu gagasan. Hal ini menimbulkan implikasi, bahwa kebenaran tidak bersifat mutlak, melainkan berubah-ubah. Pandangan ini juga mengarahkan cara pandang kita untuk menganggap gagasan-gagasan hanya sebagai instrumen atau alat untuk mencapai maksud dan tujuan kita. Dengan demikian, motivasi subjeklah yang akan menentukan kebenaran suatu gagasan.

 

Jelas sekali bahwa pragmatisme –sebagai standar ide dan perbuatan– sangat bertentangan dengan Islam. Sebab Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah halal haram, yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Bukan kemanfaatan atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis.

 

Politik demokrasi menjadikan manfaat sebagai standar kebenaran dan mengabaikan wahyu. Lantas apa jadinya kalau para santri, ulama dan kyai tidak lagi menjadikan wahyu sebagai standar kebenaran dalam berpolitik ?. Benar apa yang disampaikan Imam Al Ghazali bahwa rusaknya rakyat karena rusaknya pemimpin, sementara rusaknya pemimpin karena rusaknya para ulamanya.

 

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS. Al-Maidah : 48)

 

(AhmadSastra,KotaHujan,24/10/22 : 20.54 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.