Oleh : Ahmad Sastra
Pendidikan karkater diartikan sebagai usaha sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu pengembangan karkater dengan optimal. Hal ini berarti bahwa untuk mendukung perkembangan karkater peserta didik harus melibatkan seluruh komponen sekolah baik dari aspek isi kurikulum (the content of the curriculum), proses pembelajaran (the process of instruction), kualitas hubungan (the quality of relationship), penanganan mata pelajaran (the handling of discipline), pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, serta seluruh lingkungan sekolah.
Pendidikan karakter juga bisa diartikan usaha sengaja (sadar) untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara obyektif, bukan hanya baik secara individu perseorangan, namun juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter menurut David Elkind dan Freddy dalam Zubaidi diartikan sebagai usaha sengaja (sadar) untuk membantu manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika inti. Williams dan Schnaps mengartikan pendidikan karkater sebagai usaha yang dilakukan olah seorang personel sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan tanggungjawab.
Lebih lanjut William menjelaskan bahwa makna dari istilah pendidikan karakter tersebut awalnya digunakan oleh National Commision on Character Education (USA) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan, filosofi, dan program. Pendidikan karakter adalah proses pengembangan nilai untuk mewujudkan manusia berkarakter baik. Berkarakter artinya berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Manusia berkarakter baik dinyatakan dengan hidup berperilaku benar dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, alam lingkungan, dan dengan diri sendiri. Karakter adalah nilai-nilai yang bersifat operasional atau nilai yang terwujud dalam perbuatan.
Oleh karena itu, pendidikan karakter identik dengan pendidikan nilai. Penyelenggaraan pendidikan karakter harus berpijak kepada nilai-nilai yang bersumber dari agama, filsafat, ideologi, sosio-kultural dan psikologi, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak (yang bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan pendidikan. Pendidikan karakter perlu diselenggarakan dengan pendekatan komprehensif, yang melingkupi pengembangan dimensi pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action).
Setiap dimensi tersebut diwujudkan dalam nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri (intrapersonal), sesama (interpersonal), alam lingkungan, berbangsa dan bernegara secara bermakna (interaktif). Dengan demikian, pendidikan karakter dapat menjadikan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, individu, sosial, dan warga negara yang berkarakter baik. Berikut ini adalah deskripsi nilai dan indikator dari dimensi intrapersonal, interpersonal, dan interaktif. Dimensi intrapersonal terfokus pada kemampuan atau upaya manusia untuk memahami dirinya.
Esensi dari dimensi intrapersonal adalah kemampuan yang bersifat reflektif dan retrospektif dari manusia yang diarahkan pada dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dimensi interpersonal secara umum dibangun atas kemampuan inti untuk mengenali perbedaan; sedangkan secara khusus, merupakan kemampuan mengenali perbedaan dalam suasana hati, temperamen, motivasi, dan kehendak. Dalam bentuk yang lebih maju, dengan dimensi interpersonal ini memungkinkan orang dewasa mampu membaca kehendak dan keinginan orang lain, bahkan ketika keinginan itu disembunyikan (Gardner, 2003).
Dengan pengembangan kecakapan interpersonal dapat menjadikan seseorang mampu memahami dan bekerja dengan orang lain. Dimensi interaktif adalah kemampuan manusia berinteraksi sosial dengan sesama secara bermakna. Dalam kehidupan nyata, manusia tidak mungkin beraktivitas hanya memahami dirinya sendiri dan atau memahami orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia berinteraksi dengan lingkungan alamiah atau fisik dan dengan lingkungan sosial atau sesama manusia. Melalui lingkungan sosial itulah manusia belajar, yang merupakan aktivitas khas manusiawi, yang berbeda dari makhluk lainnya.
Menurut Vygotsky (1978), belajar membangkitkan berbagai proses perkembangan internal yang mampu beroperasi hanya ketika seseorang berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya dan dengan teman-temannya. Pengembangan karakter diyakini perlu dan penting diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya mewujudkan peserta didik yang berperilaku baik.
Tumbuh dan berkembangnya perilaku baik akan mendorong peserta didik mengaktualisasikan dirinya secara baik, benar dan bertujuan ke arah kemaslahatan kehidupannya. Konsep pendidikan cukup baik dan sarat dengan nilai-nilai kebaikan, berharap generasi bangsa ini akan tumbuh menjadi generasi berkarakter mulia dengan program revolusi mental.
Masalahnya adalah disaat para pemimpin justru tidak berkarakter dan tidak bermoral karena melanggar berbagai etika agama dan aturan negara. Seperti kasus korupsi, kebohongan, pembunuhan dan sebagainya. Mungkinkah pendidikan karakter dan program revolusi mental akan berhasil jika para pemimpin negeri ini justru tidak menjadi contoh teladan ?. (AhmadSastra,KotaHujan,03/08/22 : 07.48 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad