MENJADI ‘IBRAHIM’ DAN ‘ISMAIL’ MASA KINI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Idul Adha memiliki akar sejarah  yang agung dan tak akan pernah terulang yakni tentang sebuah ujian ketaatan dan pengorbanan  yang melampaui  batas-batas naluri kemanusiaan yakni saat nabiyullah Ibrahim as harus mempertaruhkan naluri kepabakan dan kemanusiaan untuk menyembelih anaknya yang telah lama dinanti kelahirannya dan ketika rasa cinta itu sedang memuncak kepada anaknya Ismail as demi sebuah keimanan dan kenabian.

 

Sejarah agung tentang ketaatan kepada Allah dan pengobanan kemanusiaan  ini diabadikan oleh Allah dalam Surat Asshofat ayat 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". (QS Ashofat : 102).

 

Apa susungguhnya tujuan Allah mengabadikan sejarah agung tentang ujian keimanan dan pengorbanan ini. Tidak lain agar kita yang hidup di kemudian hari mampu menjadikan guru kehidupan bagi sebuah kesadaran akan konsekuensi keimanan seorang muslim sekaligus bagaimana membangun harapan dan optimisme atas balasan kebaikan dari Allah bagi yang bersabar. Semestinya  kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran besar lantas meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari kita. Beberapa pelajaran itu adalah :  

 

Pertama,  berguru kepada Nabiyullah Ibrahim as tentang kekokohan keimanan dan konsekuensi yang harus dihadapi. Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita tentang totalitas ketaatan menjalankan perintah Allah sebagai konsekuensi keimanan, meskipun perintahnya itu terasa sangat berat. Menyembelih anaknya adalah perintah sekaligus ujian terberat untuk seorang manusia, namun karena itu adalah perintah Allah, maka dengan yakin Nabi Ibrahim melaksanakannya dan tidak memperdulikan syetan yang terus menggodanya.  Nabi Ibrahim sadar bahwa keimanan akan dihadapkan dengan ujian.  Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS Al Ankabut : 2).

 

Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita bahwa konsekuensi keimanan juga adalah kerelaan mengorbankan harta dan jiwa yang paling berharga kepada Allah. Jika diibaratkan harta, maka anak adalah harta yang tidak bisa dinilai harganya dengan uang sebanyak apapun. Jadi kita dikatakan beriman jika telah ikhlas mengorbankan harta yang paling baik, paling dicintai, dan paling berkualitas karena Allah akan menggantikannya dengan surga dan kebahagiaan yang jauh lebih mahal. Begitu juga dengan pengorbanan jiwa dan perasaan kemanusiaannya demi pengabdiannya kepada Allah. Sebab sesungguhnya jiwa dan harta adalah milik Allah, bukan milik kita.

 

Meskipun menyembelih Ismail adalah perintah Allah, namun Nabi Ibrahim tetap menanyakan bagaimana pendapat Ismail putranya. Dalam peristiwa ini Nabi Ibrahim mengajarkan kepada kita tentang prinsip-prinsip dan metode pendidikan keluarga kaitannya dengan fungsi seorang ayah. Kedudukan ayah dalam konteks pendidikan keluarga selain berfungsi sebagai pemimpin, juga berfungsi sebagai guru sekaligus sahabat bagi anak-anaknya. Ayah adalah tempat berbagai rasa dan solusi atas permasalahan anak-anaknya. Sehingga ayah akan dicintai, dipercaya dan diikuti oleh anak-anaknya.  Perisitiwa ini juga menunjukkan Nabi Ibrahim sedang mewariskan nilai-nilai aqidah kepada Ismail putranya sebagai upaya kaderisasi.

 

Kedua, kita bisa berguru kepada Nabiyullah Ismail as sebagai seorang anak. Dalam peritiwa ini Nabi Ismail telah mengajarkan kepada kita tentang ketaatan kepada ayahnya sebagai pemimpin rumah tangga selama ayahnya taat kepada Allah dan memerintahkan perkara yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah.  Bahkan Ismail rela menyerahkan raga dan nyawanya untuk menegakkan syariat Allah. Tidak ada ketaatan kepada manusia atau pemimpin yang tidak taat kepada Allah dan Rasulnya. Ismail adalah sosok anak sholeh yang pantas menjadi teladan dalam hal ketaatan kepada orang tua dan kepada Tuhannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa : 59).

 

Allah melarang seorang muslim menjadikan orang kafir sebagai wali atau pemimpin, sebagaimana firman Allah : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ? (QS An Nisaa : 144)

 

Untuk menolong agama Allah,  nabi Ismail telah menjadi guru kehidupan kita dengan rela menjual nyawanya kepada Allah demi menggapai kemenangan hukum Allah. Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.  (QS At Taubah : 111)

 

Digantikannya nabi Ismail dengan seekor domba yang bagus untuk disembelih adalah pelajaran hidup bahwa konsekuensi keimanan juga diwujudkan dengan selalu memperhatikan, mencintai dan memikirkan saudaranya yang tidak mampu dengan berbagi rizki agar turut bergembira merayakan Idul Adha. Tidaklah dikatakan beriman sebelum mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Kebahagiaan bukanlah ketika kita makan daging korban, kebahagiaan adalah ketika kita melihat saudara kita yang tidak mampu bisa ikut merasakan makan daging korban untuk merasakan kebahagiaan menyambut idhul adha, meskipun hanya setahun sekali.

 

Ya, meskipun hanya setahun sekali. Makan daging bagi kita yang mampu tidak ada hubungannya dengan iman. Memikirkan nasib dan mengupayakan kebahagiaan saudaranya yang tidak mampu untuk bisa makan daging adalah bagian dari ibdah dan keimanan. Adalah dosa membiarkan tetangga atau saudara seiman dalam keadaan lapar dan miskin, sedangkan kita hidup mewah dan bersenang-senang.

 

Pelajaran Ketiga, moment idul adha sebagai guru kehidupan, kita bisa berguru pada peristiwa Haji. Haji adalah moment besar pertemuan umat Islam di dunia menuju satu titik yakni ka’bah dalam rangka menyambut panggilan Allah dengan meninggalkan seluruh ikatan,  atribut ashobiyah  seperti kewarganegaraan, kesukuan, keorganisasian, warna kulit, bahasa,  menuju satu ikatan visi persaudaraan karena Allah, ukhuwah Islamiyah. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, (QS Ali Imran : 103).

 

Ibadah haji adalah madrasah spiritual bagi persatuan dan persaudaraan kaum muslimin di seluruh dunia. Pelajaran ini sangat penting untuk kita renungkan, sebab faktanya kaum muslimin masih mengalami perpecahan, pertikaian, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan di berbagai belahan dunia.  Padahal dengan jumlah 1,6 milyar diseluruh dunia, jika bersatu dan berkualitas, ini adalah kekuatan besar bagi tegaknya peradaban mulia demi kesejahteraan seluruh manusia dan alam semesta. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS Al Anbiyaa : 107)

 

Sejarah dihadirkan bukan untuk sekedar bahan cerita. Sejarah hadir untuk dijadikan ibrah bagi kehidupan kita hari ini. Jika diibaratkan, sosok Ibrahim adalah sosok para orang tua  dan Ismail adalah sosok para anak. Karena itu, sebagai orang tua, jadilah sosok Ibrahim masa kini. Sebagai anak, jadilah sosok Ismail masa kini.

 

Ibrahim masa kini adalah orang tua yang  sholeh  yang taat kepada Allah, rela berkorban, ikhlas mendidik para anak-anaknya, sabar membimbing dan membina keluarga, menjadi teladan bagi anggota keluarga, menjadi tempat berbagi perasaan dan permasalahan anggota keluarganya, memberikan peluang dan kebebasan  bagi kreativitas dan ide anak dalam koridor agama dan senantiasa mewariskan aqidah dan akhlak bagi kemuliaan keluarganya dalam kehidupan di kemudiaan hari.

 

Ismail masa kini adalah anak sholeh yang  taat kepada Allah dan Rasulnya, taat kepada kedua orang tua dan guru-gurunya, ikhlas dan sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, rela berkorban untuk menolong orang lain sebagai saudara seiman, bersabar menjalani proses pendidikan,  berperilaku jujur, mandiri dan senantiasa mendoakan kedua orang tua dan guru-gurunya.

 

Sementara ibadah haji adalah cermin bagi pentingnya persatuan kaum muslimin sedunia. Semua ini adalah modal bagi perjuangan Islam di masa mendatang. Sebab, hari ini pemuda, esuk adalah pemimpin. Semoga momen Idul Adha kali ini para orang tua atau guru menjadi sosok Ibrahim masa kini dan para anak dan pemuda menjadi sosok Ismail masa kini yang penuh ketaatan, pengorbanan dan mengutamakan rasa persaudaraan sebagai modal meraih  kemajuan dan perjuangan Islam dan untuk  meraih pertolongan Allah swt. Jayalah Islam, jayalah Islam, jayalah Islam. Hasbunal-Lâh wa ni’mal wakil nikmal maula wa ni’kman nashiir, laa haula wala quuwata illa billah.  

 

(AhmadSastra,KotaHujan,07/07/22 : 23.45 WIB)

 

 

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.