MEMBACA PRO KONTRA DISKURSUS KHILAFAH

 


 

Tanggapan atas Tulisan Prof. Akh. Muzakki, MAg, bertajuk Radikalisme Khilafah di Harian Umum Jawa Pos, 7 Juni 2022

 

Oleh : Ahmad Sastra  

 

Melalui WAG, saya mendapatkan kiriman tulisan berjudul Radikalisme Khilafah. Sejenak agak kaget membaca judul tulisan itu, namun akhirnya saya luangkan waktu untuk membaca seluruh isi tulisan itu. Pada prinsipnya saya senang dengan adanya tradisi literasi dimana tradisi intelektual bisa terbangun, konstruksi argumentasi bisa ditanggapi. Inilah salah satu cara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbeda pendapat itu biasa, mari sikapi dengan kepala dingin. Izinkan saya untuk memberikan tanggapan atas tulisan Prof. Akh. Muzakki MAg yang saya hormati.

 

Publik mungkin bertanya : mengapa khilafah harus dipermasalahkan di Indonesia ?  Bukankah pengusung khilafah, minimal hingga masa terkini, tidak mempertontonkan praktik ekstremisme kekerasan (violent extremism)? Mengapa mereka harus diributkan? Mengapa pula khilafah dipersalahkan ?

 

Paragraf di atas adalah paragraf pertama tulisan Prof. Akh. Muzakki, MAg,   Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, wakil sekretaris jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di HU Jawa Pos, 7 Juni 2022 berjudul Radikalisme Khilafah. Tulisan ini dimuat di tengah terjadinya tindakan rasis dan intoleran Nupur Sharma dan Delhi Naveen Kumar Jindal dari Partai Bharatiya Janata (BJP) yang menghina Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA., Keduanya melontarkan kata-kata yang menghina Nabi Muhammad SAW.

 

Tulisan ini juga dimuat di tengah berbagai bentuk carut marut urusan dalam negeri yang semakin semrawur akibat penerapan ideologi  sekulerisme liberal. Akibatnya rakyat semakin susah hidup di negeri yang konon katanya kaya raya. Banyak rakyat melarat yang terpaksa bunuh diri karena faktor ekonomi. Sementara para menteri berlomba menumpuk kekayaan di tengah utang negara yang semakin menggunung. Belum lagi soal tindakan teror OPM yang belum juga berhenti hingga hari ini. Dengan terang-terangan mereka mempertontonkan praktik ekstremisme kekerasan (violent extremism) dengan membunuh aparat keamanan.  Entah sudah berapa aparat keamanan, baik polisi maupun TNI bahkan rakyat sipil yang menjadi korban  ekstremisme kekerasan OPM.

 

Karena itu paragraf pertama tulisan Akh Muzakki justru menjadi narasi kontraproduktif dan paradoks di tengah berbagai persoalan tindakan kekerasan yang terang-terangan terjadi di negeri ini. Sementara orang-orang yang meyakini gagasan khilafah sebagai ajaran Islam hanyalah orang yang berdakwah dengan pendekatan intelektual, terbuka. Para pendakwah khilafah adalah mereka yang berdakwah dengan penuh keterbukaan dan tidak mengenal kekerasan, apalagi pemaksaan.

 

Mengapa khilafah harus dipermasalahkan di Indonesia ? Mengapa pula khilafah dipersalahkan ?. Pertanyaan ini juga cukup aneh, sebab khilafah itu sangat jelas sebagai salah satu ajaran Islam yang terdapat pada kitab-kitab para ulama klasik maupun kontemporer. Islam itu kan ajaran sempurna yang meliputi aqidah, syariah, ibadah, akhlak, muamalah, sains, budaya, peradaban, politik, pendidikan, ekonomi dan aspek lainnya secara holistik. Kalo mau menyalahkan, lebih baik penulis menyalahkan OPM yang jelas-jelas telah melakukan tindakan ekstremisme kekerasan (violent extremism). Memangnya apa salah konsep khilafah kepada negeri ini ?.

 

Khilafah adalah salah satu ajaran Islam dalam aspek politik, kepemimpinan, kekuasaan dan pemerintahan sebagaimana telah terwujud dalam sejarah peradaban Islam masa lalu. Menyalahkan khilafah berarti menyalahkan ajaran Islam, padahal khilafah sendiri hari ini belum tegak di muka bumi. Gagasan khilafah bahkan masih sebatas diskursus intelektual.

 

Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan menegaskan bahwa khilafah tidak identik dengan terorisme. Di tegaskan oleh ketua MUI Sulsel, Prof. KH. Najamuddin menyampaikan pernyataan yang menuai banyak perhatian publik, ia menyebut khilafah tidak identik dengan terorisme. “Khilafah tidak identik dengan terorisme dan khilafah tidak boleh disalahartikan,” tegas KH Najamuddin.

 

Prof KH Najamuddin mengungkapkan, khilafah dalam arti kepemimpinan adalah sesuatu yang wajib dalam pandangan Islam. Menurut KH Najamuddin, Nabi Muhammad SAW memerintahkan, jika kalian bertiga keluar dari daerah, angkatlah satu pemimpin dalam perjalanan. “Jika tiga saja harus ada pemimpin, dalam komunitas Rukun Tetangga atau Rukun Warga (RT/RW), hingga negara perlu ada pemimpin,” jelas KH Najamuddin pada Senin, 6 Juni 2022. (dimuat di Onlineindo News - 2022-06-06,12:45).

 

Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam. Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”

 

Dalam Kitab fikih yang sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid, dicantum bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Terlepas dari berbagai ragam sikap, namun seluruh imam mazhab bersepakat bahwa Khilafah atau imamah adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan wajib untuk ditegakkan.

 

Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati  agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."

 

Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal  al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.

 

Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."

 

Esensi khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan. Ketiga esensi di atas adalah kebaikan, bukan keburukan, apalagi ekstrimisme kekerasan, sama sekali bukan. Sebab syariah, dakwah dan persatuan umat adalah kebaikan yang diperintahkan oleh Allah.

 

Penulis menjadikan konvoi bermotor kelompok Khilafatul Muslimin yang secara mencolok melakukan kampanye menggunakan motor atas ideologi khilafah sebagai latar belakang munculnya perbincangan kembali masalah khilafah ini. Namun pada paragraf kedua ini, penulis menulis khilafah sebagai ideologi. Padahal sama sakali tidak tepat menyebutkan khilafah sebagai ideologi. Mari kita kaji lebih dalam soal ideologi ini agar masyarakat muslim tidak salah paham atau pahamnya salah tentang apa dan bagaimana ideologi itu.

 

Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2)  sekularisme; (3) Islam.

 

Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.

 

Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22). Pada kenyataannya berdasarkan penjelasan di atas, maka di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam. Menyebut khilafah sebagai ideologi adalah kesalahan fatal yang tidak ada dasar pijakan epistemologinya. Ada dua buku referensi untuk mendalami masalah ideologi ini.

 

Pertama, buku berjudul Today's Isms: Communism, Fascism, Capitalism, Socialism yang ditulis oleh William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Terbitan: Swada, 1965. Buku ini diterjemahkan dengan judul isme-isme dewasa ini dan diterbitkan oleh Erlangga tahun 1994. Jika dibaca buku ini, maka tidak ditemukan selembarpun yang menyatakan bahwa khilafah adalah ideologi. Padahal Prof. William Ebenstein adalah penulis buku yang memiliki wawasan global, namun tidak memasukkan khilafah sebagai ideologi dalam karyanya ini.

 

Kedua, buku berjudul Political ideology today : Second edition (Politics Today) yang ditulis oleh Ian Adams dan diterbitkan oleh Manchester University Press; 2nd edition (November 10, 2001) yang diterjemahkan menjadi Ideologi Politik Hari Ini. Prof. Ian Adams yang mengenalkan diri di akun facebooknya sebagai discover more of the author’s books, see similar authors, read author blogs and more juga tidak pernah menyebutkan dalam bukunya bahwa khilafah adalah ideologi. Pemahaman yang benar bahwa khilafah adalah sistem pemerintah Islam yang awalnya dicontohkan oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau yang menerapkan syariah Islam.

 

Di paragraf ketiga, Prof Akh. Muzakki menyinggung tentang rekam jejak Abdul Qadir Hasan Baraja sebagai pemimpin kelompok Khilafatul Muslimin di atas mendapat catatan tebal dari aparat keamanan. Tercatat oleh Densus 88, sebagai misal, yang bersangkutan pernah ditangkap karena terkait dengan tindak terorisme melalui kelompok Negara Islam Indonesia (NII).

 

Jika catatan densus 88 itu benar, maka tulisan ini tentu saja bukan argumentasi kuat untuk mengkaitkan dan apalagi menyalahkan konsep khilafah. Tentu saja berbeda antara muslim dan Islam, muslim bisa salah, Islam tak mungkin salah. Beda pula antara khalifah dan khilafah, khalifah bisa salah, sementara khilafah pasti benar. Adalah tidak bijak menyalahkan Islam karena dikaitkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang muslim. Apakah dibenarkan menyalahkan kampus ketika dikaitkan dengan pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang dosen.

 

Penulis mengulangi kesalahan soal khilafah sebagai ideologi di paragraf keempat yang berbunyi : Rekam jejak yang demikian memperparah profil khilafah di ruang publik. Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan dan dilarang di Indonesia oleh pemerintah sejak 19 Juli 2017 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas), kemunculan kelompok Khilafatul Muslimin di atas membelalakkan mata publik bahwa sebagai ideologi, khilafah tidak pernah mati.

 

Pada paragraf berikutnya, Prof. Akh Muzakki mencoba mengetengahkan argumentasi soal kaitan antara khilafah dan radikalisme. Menurutnya ada tiga tingkatan radikalisme, yakni radikalisme konstitusi, radikalisme takfiri dan radikalisme jihadis. Tingkatan radikalisme ini mirip dengan pendapat Nahfud MD yang mengatakan bahwa radikalisme memiliki tiga tingkatan, pertama takfiri, jihadis dan ideologis. Pendapat keduanya hampir mirip namun tidak sama. Jujur, saya sendiri tidak tahu buku apa yang dijadikan referensi dimana tiga level radikalisme itu ditulis di dalamnya.

 

Setahu saya yang namanya kata kafir itu memang terdapat dalam kitab suci Al Qur’an dan Islam telah memberikan aturan yang rinci soal ini (QS Al Kafirun : 1-6) . Bahkan bisa dikatakan bahwa Islam adalah agama paling toleran di dunia. Kata jihad juga terdapat dalam Al Qur’an, lihat QS al-Hajj/22: 78 dan QS. al-Baqarah/2:218. Tentu saja keduanya tidak relevan jika dikaitkan dengan istilah radikalisme yang berasal dari epistemologi barat. Istilah takfiri dan jihadis telah mengalami tambahan huruf dan sifat yang kemudian distigmatisasi dan dimonsterisasi seolah punya makna yang negatif dan menakutkan. Mungkin istilah-istilah yang seperti yang kini memunculkan islamophobia di seluruh dunia. Istilah-istilah seperti ini nampaknya telah berkontribusi munculnya psikoabnormal yang namanya islamophobia.

 

Penulis menekankan dan mengaitkan radikalisme konstitusi dengan upaya orang-orang yang dianggap merongrong konstitusi Indonesia yang telah menyepakati UUD 45 sebagai konstitusi dan Pancasila sebagai ideologi negara. Padahal fakta sejarah tentang kesepakatan masih banyak menimbulkan pertanyaan hingga kini, bahkan hari lahir pancasila saja masih berbeda pendapat. Negara ini juga sudah berulang kali melakukan amandemen UU.

 

Bahkan jika dicermati banyak produk UU yang justru diprotes rakyat karena dianggap merugikan rakyat dan menguntungkan oligarki. Bahkan ingatan kita masih kuat, beberapa waktu lalu ada komponen pejabat yang mewacanakan konsep ekasila dan trisila sebagai perubahan pancasila. Semoga Prof Akh. Muzakki juga membahas persoalan penting di atas dalam tulisan-tulisan berikutnya, insyaallah saya akan membacanya.

 

Berbicara masalah radikalisme, ada buku yang bisa dikaji lebih kritis. Adalah M. Zaki Mubarok, pengamat gerakan radikalisme dari UIN Jakarta, dalam bukunya Genealogi Islam Radikal di Indonesia : gerakan, pemikiran dan prospek demokrasi (tesis) memasukkan HTI sebagai salah satu ormas radikal, selain MMI dan FPI. Secara genealogis, munculnya HTI adalah bagian dari lahirnya gerakan radikalisme agama di Indonesia. Penulis tidak memasukkan Khilafatul Muslimin sebagai kelompok radikal, entah lupa atau sengaja.

 

Buku ini sesungguhnya berasal dari tesis penulis di Program Migister Ilmu Politik FISIP UI yang pada awalnya berjudul, “Islam Fundamentalis Radikal: Gerakan dan Pemikiran FPI, Laskar Jihad, Majlis Mujahidin dan Hizbut Tahrir Indonesia Tahun 1998-2003.” Menurut penulis buku ini, aktor dan aktivis Islam radikal sebetulnya pemain lama yang muncul kembali secara terang-terangan pada masa reformasi ini, seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Mari kita bahas radikalisme secara epistemologis. Radikalisme adalah istilah yang dikonstruk oleh epistemologi Barat, bukan dari khasanah ajaran Islam. Radikalisme berasal dari kata radical atau  radix yang berarti “sama sekali” atau sampai ke akar akarnya. Dalam kamus Inggris Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disama-artikan (synonym) dengan kata “fundamentalis” dan “extreme”. ‘radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada etimologi kata “akar” atau mengakar.

 

Secara historis, istilah fundamentalisme atau radikalisme muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-19, untuk menunjukkan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan filsafat modern serta sikap konsisten mereka yang total terhadap agama Kristen. Gerakan Protestan dianggap sebagai awal mula munculnya fundamentalisme.

 

Mereka telah menetapkan prinsip-prinsip fundamentalisme pada Konferensi Bibel di Niagara tahun 1878 dan Konferensi Umum Presbyterian tahun 1910, dimana saat itu mulai terkristalisasi ide-ide pokok yang mendasari fundamentalisme. Ide-ide pokok ini didasarkan pada asas-asas teologi Kristen, yang  bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan  yang lahir dari ideologi kapitalisme yang berdasarkan aqidah pemisahan agama dari kehidupan.

 

Istilah radikalisme mengalami semacam politisasi makna, istilah radikal oleh Barat kemudian dijadikan sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang kelak melahirkan islamophobia di Barat dan seluruh dunia. Ini adalah fakta sejarah, bukan ilusi apalagi fitnah. Menggunakan istilah radikal untuk Islam merupakan sebuah kerancuan epistemologi atau cacat intelektual dan cacat historis.

 

Hegemoni wacana neomodernisme dan postmodernisme yang kini dikendalikan  Barat telah menyeret kaum muslimin di seluruh belahan dunia kepada jebakan epistemologis yang rumit. Barat sangat serius melakukan kajian tentang Islam dalam perspektif dan paradigma mereka. Sebagian besar cendekiawan muslim telah merasakan hidangan intelektual ini dan menyantapnya dengan lahap. Akibatnya, justru kaum muslimin masuk dalam jebakan kebingungan intelektual. Dengan metode hermeneutika,  lambat laun pemikiran umat tercerabut dari fundamental Islam itu sendiri.

 

Sederet fakta ini sudah menjadi bukti yang cukup bahwa perang melawan radikalisme adalah perang melawan Islam. Perang terhadap radikalisme tidak hanya muncul di Indonesia. Ini adalah proyek global. Setelah Amerika Serikat dipimpin oleh Donald Trump, slogan " Global War on terroris " di ubah menjadi slogan " Global War ON Radicalism ", karena  " Global War on terroris "  tidak lagi bisa menjangkau kelompok-kelompok Islam yang ingin menerapkan Syariah Islam secara Kaffah dalam institusi Khilafah yang menggunakan metode dakwah non kekerasan. Karena itu digunakan " Global War on Radicalism ". Dewan Keamanan Donald Trump menyatakan, kini Amerika Serikat sedang berperang dengan "terorisme radikal Islam" atau " Islam radikal ", atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti " Islamisme ".  

 

Istilah radikalisme khilafah dengan demikian adalah istilah yang mengandung kerancuan epistemologis. Sebab radikalisme adalah negatif dari barat, sementara khilafah adalah ajaran Islam yang tentu saja baik. Demikian pula, adalah tidak bijak menyalahkan khilafah sebagai ajaran Islam hanya karena kesalahan tindakan orang-orang yang mengaku mengusungnya. Mungkin yang radikal itu orangnya, bukan khilafahnya. Sama dengan istilah Islam nusantara, yang benar itu muslim nusantara, yakni seorang muslim yang tinggal di nusantara. Beberapa paragraf tentang radikalisme ini saya maksudnya untuk menanggapi tulisan Prof. Akh Muzakki dari paragraf kelima dan seterusnya.

 

Di akhir tulisan, Prof Akh Muzakki menulis : Pada titik inilah mengapa publik penting untuk menyoal dan mempermasalahkan khilafah. Radikalisme konstitusi bisa saja kemudian bergerak ke arah radikalisme takfiri melalui pengembangan pemikiran monolitik yang tidak mengakui keberadaan selainnya hingga radikalisme jihadis yang berbasis praktik ekstremisme kekerasan. Hanya soal waktu pergeseran pergerakan itu akan mewujud. Apalagi, rekam jejak pemimpin gerakan khilafah, seperti dijelaskan di atas, tidak clean and clear dari ekstremisme radikal.

 

Akhir tulisan itu tentu saja baru sebatas kekhawatiran karena menggunakan diksi ‘bisa saja’, yang artinya belum menjadi kenyataan. Namun secara psikologis, akhir tulisan ini bisa saja berpotensi menimbulkan ketakutan dan kegaduhan di masyarakat awam yang tidak memahami hakikat khilafah. Indonesia itu kan negara hukum, dimana orang yang melanggar hukum ya semestinya ditindak. Namun mempermasalahkan konsep khilafah dengan dasar perilaku manusia, tentu saja tidak mendidik. Adalah tidak bijak juga menstigmatisasi muslim yang mendakwahkan ajaran Islam, sebab dakwah memang kewajiban dari Allah.

 

Demikian tanggapan saya atas tulisan Prof Akh. Muzakki, MAg yang terhormat, semoga tulisan ini bisa menambah wawasan bagi masyarakat luas tentang khilafah. Kebenaran datangnya dari Allah, kesalahan karena keterbatasan saya sebagai penulis. Saya mohon ampun kepada Allah atas kekurangan dan kesalahan.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,08/06/22 : 11.03 WIB)

 

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories