Oleh : Ahmad Sastra
Ada sebagian orang umum dan bahkan seorang muslim yang menuduh tanpa ilmu bahwa khilafah adalah ideologi. Ada diantara mereka yang menyebutnya dengasn istilah khilafatisme, padahal ini adalah kesalahan besar. Penuduhnya bisa jadi belum paham apa itu ideologi, atau bisa juga karena kedengkian semata.
Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam.
Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22). Pada kenyataannya berdasarkan penjelasan di atas, maka di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam. Menyebut khilafah sebagai ideologi adalah kesalahan fatal yang tidak ada dasar pijakan epistemologinya.
Setidaknya ada dua buku referensi untuk mendalami masalah ideologi ini. Pertama, buku berjudul Today's Isms: Communism, Fascism, Capitalism, Socialism yang ditulis oleh William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Terbitan: Swada, 1965. Buku ini diterjemahkan dengan judul isme-isme dewasa ini dan diterbitkan oleh Erlangga tahun 1994. Jika dibaca buku ini, maka tidak ditemukan selembarpun yang menyatakan bahwa khilafah adalah ideologi. Padahal Prof. William Ebenstein adalah penulis buku yang memiliki wawasan global, namun tidak memasukkan khilafah sebagai ideologi dalam karyanya ini.
Kedua, buku berjudul Political ideology today : Second edition (Politics Today) yang ditulis oleh Ian Adams dan diterbitkan oleh Manchester University Press; 2nd edition (November 10, 2001) yang diterjemahkan menjadi Ideologi Politik Hari Ini. Prof. Ian Adams yang mengenalkan diri di akun facebooknya sebagai discover more of the author’s books, see similar authors, read author blogs and more juga tidak pernah menyebutkan dalam bukunya bahwa khilafah adalah ideologi. Pemahaman yang benar bahwa khilafah adalah sistem pemerintah Islam yang awalnya dicontohkan oleh Rasulullah dan dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau yang menerapkan syariah Islam.
Sementara masalah khilafah, seluruh mazhab bersepakat soal kewajiban menegakkan kembali, karena bagian dari ajaran Islam. Khilafah juga dengan demikian merupakan sistem kepemimpian atau sistem pemerintahan Islam yang diwariskan Rasulullah. Khulafaurasyidin adalah bukti sejarah, bahwa sistem khilafah lah yang menjadi satu-satunya sistem pemerintahan yang diwariskan Rasulullah. Sebab dalam seluruh referensi kitab sirah, tidak ditemukan satupun pembahasan bahwa Rasulullah mewariskan sistem kerajaaan apalagi sistem demokrasi.
Dalam Kitab fikih yang sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid, dicantum bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Terlepas dari berbagai ragam sikap, namun seluruh imam mazhab bersepakat bahwa Khilafah atau imamah adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan wajib untuk ditegakkan.
Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.
Para ulama sepakat atas kewajiban mengangkat khalifah, yakni menegakkan khilafah. Banyak dalil dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan kaidah syariah yang menegaskan kewajiban ini. Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2] ayat 30, menegaskan: “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham yang tuli dari syariah.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani juga menyatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, XII/205). Kewajiban mengangkat seorang khalifah, yakni menegakkan khilafah, telah disepakati oleh seluruh Sahabat atau menjadi Ijmak Sahabat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii menegaskan :
Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Ijmak Sahabat sebagai dalil tidak boleh ditolak. Menolak Ijmak Sahabat dapat mengantarkan pada kekufuran. Imam as-Sarakhsi [w. 483 H] menegaskan : Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang menghasilkan ilmu (keyakinan) sungguh dia telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini (Lihat: Ash-Sarakhsi, Ushûl as-Sarakhsi, I/296).
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali di dalam Al-Mushtashfa fi ‘Ilmi al-Ushûl menegaskan bahwa Ijmak Sahabat tidak dapat dibatalkan. Karena itu Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan atau dicampakkan, seakan tidak berharga, hingga dikalahkan atau dibatalkan oleh “ijmak” para pendiri bangsa, seandainya itu benar-benar ada.
Memang sangat menyedihkan jika sebagian muslim justru merendahkan khilafah, sementara di satu sisi memuja sistem politik dari Barat. Menolak konsep khilafah dengan hujjah yang berkualitas, masih bisa didiskusikan, namun jika telah melakukan pelecehan, maka seorang muslim itu tentu telah tersesat pola pikirnya. Bukankah cermin keimanan dan keislaman seseorang adalah memuliakan Islam, hukum, syariah dan ajaran Islam. Hal itu didorong oleh ketakwaan yang ada dalam dirinya. Allah SWT berfirman : Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS al-Hajj [22]: 32).
Imam Abu al-Hasan al-Mawardi di dalam tafsirnya, An-Naktu wa al-‘Uyun (Tafsir al-Mawardi), mengatakan, “Terkait sya’âirulLâh, ada dua pendapat. Pertama, berbagai kefardhuan Allah. Kedua, ajaran-ajaran agama-Nya.” Imam an-Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya, Syarh Sullam at-Tawfiq, menjelaskan ayat tersebut, bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar agama-Nya.
Imam Abu Manshur al-Maturidi di dalam tafsirnya, Ta’wilâh Ahli as-Sunnah, menjelaskan ayat di atas: “Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah dengan perbuatan lahiriahnya maka pengagungan itu muncul dari ketakwaan hati. Begitulah perkara yang tampak pada manusia. Jika di dalam hatinya ada sesuatu dari ketakwaan atau kebaikan maka yang demikian itu tampak dalam perilaku lahiriahnya. Demikian juga keburukan, jika ada di dalam hati, maka tampak pada perilaku lahiriahnya.”
Tentu saja, kita jangan sampai mendukung orang yang melakukan istihzâ` bi ad-dîn (penistaan agama Islam) atau bahkan termasuk pelakunya. Hal itu merupakan dosa besar, pelakunya dinilai bermaksiat, menjadi orang zalim, fasik bahkan bisa kafir. Jika belum memahami hakikat khilafah, jangan menolaknya, namun teruslah belajar. Jangan pula menolak hanya karena kedengkian dalam hatinya, maka orang tersebut bisa terjerumus kepada kemunafikan bahkan kesombongan. Allah menegaskan soal rasa kedengkian ini.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (QS Al Maidah : 19)
Maka, sebaiknya, kita harus menjadi Muslim yang memuliakan Islam, syariahnya dan ajarannya, termasuk khilafah. Apalagi menegakkan khilafah adalah kewajiban bagi kita. Semoga Allah membuka hati kaum muslimin untuk ikhlas menerima seluruh ajaran Islam, tanpa memilah dan memilih sesuai selera dan kepentingan, sebab Islam bukanlah prasmanan.
(AhmadSastra,KotaHujan,21/06/22 : 10.50 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad