Oleh : Ahmad Sastra
Narasi radikalisme dan terorisme nampaknya tak akan pernah berhenti, seiring muatan kepentingan pihak-pihak tertentu. Kata radikal mula-mula bisa dilihat dalam perspektif ontologis yang membahas obyek apa yang telah ditelaah ilmu ?. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?. Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan ?.
Secara etimologis atau bahasa, radikal/isme berasal dari kata radical atau radix yang berarti “sama sekali” atau sampai ke akar akarnya. Dalam kamus Inggris Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disamaartikan (synonym) dengan kata “fundamentalis” dan “extreme”. ‘radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada etimologi kata “akar” atau mengakar ini.
Adapun secara terminologi, kata radikal dimaknai sebagai upaya mencapai tujuan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Dalam perspektif sains mikro biologi, didapati istilah radikal bebas yang merupakan sebutan untuk sel-sel rusak yang dapat menyebabkan kondisi negatif tertentu. Disebut “bebas” karena sel-sel ini kehilangan molekul penting yang membuat mereka dapat mendatangkan kerusakan jika bertemu dengan molekul lain.
Sekarang perspektif epistemologis yang maknya cara Mendapatkan Pengetahuan. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?. Bagaimana prosedurnya?. Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar ?. Islam menjadikan akal dan wahyu sebagai sumber kebenaran, sementara filsafat hanya menjadikan akal sebagai sumber kebanaran.
Dalam KBBI, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Atau secara sederhana, KBBI memuat pengertian terorisme sebagai tindakan teror (dari definisi ini istilah terorisme pada awalnya jelas tidak ada hubungannya dengan agama tertentu, terutama Islam)
Mengenai pengertian yang baku dan definisi dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Dalam konstruk akademik, istilah terorisme masih belum menemukan titik persamaan definisi hingga sekarang.
Secara metodologis, istilah radikalisme dan terorisme tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang filsafat Barat atas Islam. Barat menggunakan metodologi khusus (methodological) dan menerapkan teori yang berdasarkan observasi, analisis, sintesis dan pengalaman (eksperimen) terhadap Islam. Filsafat sebagai metode berpikir adalah kajian tentang pembentukan (constructing), penilaian (evaluating), atau pembahasan (discussing) masalah yang berkaitan dengan sebuah sistem pemikiran dengan pendekatan ilmiah yang tersusun, metodologis dan teoritis.
Studi Islam atau islamologi di Barat dikaji dengan pendekatan filsafat hermeneutika yakni interpretasi berdasarkan akal dengan menjadikan Islam sebagai obyek kajian. Pisau analisa yang digunakan adalah paradigma Barat seperti skeptisisme, empirisme, relativisme, rasionalisme, liberalisme, moderatisme dan sekulerisme. Dengan pendekatan hermeneutika inilah Islam didudukkan sebagai antitesis paradigma barat yang kelak akan melahirkan stigmatisasi monsterisasi Islam.
Kata hermeneutika, dalam bahasa Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi”. Hermeneutika dalam sejarahnya dinisbatkan kepada Dewa Yunani Kuno, Hermes, yang bertugas menyampaikan berita dari yang maha Dewa yang ditujukan kepada manusia. Karena pesan-pesan Dewa masih dalam koridor bahasa langit, maka dibutuhkan upaya penerjemahan dan penafsiran ke dalam bahasa bumi yang dipahami oleh manusia. (Richard E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, terj. Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, hal. 14.)
Mengingat profesi utama Hermes adalah memintal maka kata ini dikaitkan dengan padanan yang sama dalam bahasa latin, yaitu tegere. Hasil dari pemintalan dalam bahasa latin ini adalah textus atau teks. Dan teks merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Dalam perkembangannya, hermeneutika dipraktekkan dalam lingkup wilayah Yunani dalam rangka menggali makna dan peran teks-teks sastra yang berasal dari masyarakat Yunani Kuno.Sekali pun demikian, kata hermenutika sendiri nanti ditemukan pada karya Plato (429-347 SM) Pollitikos, Efinomis, Definitione dan Timues. (Nasir, Malki Ahmad, Hermeneutika Kritis (Studi Atas Pemikiran Habermas), dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, no.1, th.2004).
Istilah radikalisme dan terorisme juga bisa dibaca menggunakan perspektif aksiologis yang maknanya kajian tentang nilai, manfaat dan orientasi. Secara aksiologi, kata radikalisme dan terorisme lebih mengarah kepada motif politik, bukan lagi akademik. Istilah terorisme yang kemudian digulirkan Amerika Serikat dengan narasi perang melawan terorisme (war on terorism) mengambil momentum keruntuhan Gedung WTC pada 11 Maret 2001 dikonstruk secara politik yang maknanya adalah perang melawan Islam.
Jika dilihat dari korbannya, sebagian besar adalah negeri Muslim, kelompok Muslim dan orang yang beragama Islam. Irak dan Afganistan, misalnya, menjadi negeri korban perang melawan terorisme ala Amerika, dengan alasan yang dibuat-buat. Korbannya, jelas sekali umat Islam. HAMAS yang ingin mempertahankan negerinya dari penjajahan Israel masuk dalam daftar kelompok teroris. Sebaliknya, Israel, walaupun nyata-nyata melakukan tindakan terorisme, alih-alih diinvasi, label teroris saja tidak pernah dilekatkan.
Benar apa yang dikatakan oleh Jhon Pilgers, seorang jurnalis Australia bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme. Dari perkataan ini sebenarnya bisa dianalisa berdasarkan akal sehat bahwa narasi radikalisme dan terorisme adalah narasi Barat untuk menyerang Islam. Jika ada sekelompok orang yang terjebak, maka bisa disebut mikirnya memakai dengkul. Terlebih jika ada kalangan muslim justru mendukung dan mensukseskan berbagai proyek deradikalisasi, patut dipertanyakan komitmen keislamannya.
Dalam buku Ceryl Bernard berjudul "Civil Democratic Society" terbitan Rand Corporation, umat Islam dibagi menjadi 4 golongan:1) Muslim Fundamentalis 2) Muslim Tradisionalis 3) Muslim moderat (liberal) 4) Muslim Sekuler. Dengan data ini berarti umat Islam hari ini menghadapi berbagai ancaman dan tantangan baik dari internal umat Islam maupun dari eksternal umat Islam. Ancaman paling serius adalah Ghazwul Fikri (perang pemikiran) sebuah strategi baru yang digunakan untuk menghancurkan Islam.
Faktanya umat Islam jadi tertuduh dengan kedua isu tersebut. Itu akibat dari berbagai upaya pengaitan seperti yang tadi disebutkan. Nah, berdasarkan hal tersebut, tujuan kedua isu itu tentu untuk menyerang umat Islam; atau minimal mengekang umat Islam supaya tidak membawa ajaran Islam ke ranah politik. Sebagai contoh, pada saat Pilkada DKI yang lalu, isu terbesarnya adalah haramnya pemimpin kafir. Isu tersebut semakin membesar ketika ada fakta penistaan terhadap ayat al-Maidah 51. Kondisi itulah yang kemudian melahirkan Aksi 212 yang sangat fenomenal hingga acara Reuni 212.
Muncul kemudian berbagai pihak, termasuk media massa, yang melakukan respon negatif. Di antaranya menuding kelompok Islam yang menolak pemimpin kafir adalah kelompok radikal, intoleran dan berbagai label buruk lainnya. Mereka menggunakan isu radikalisme untuk memukul umat Islam, hal ini tak mungkin terbantahkan.
Dalam perkembangannya, istilah radikal atau radikalisme adalah istilah politik, bukan istilah agama. Karena itu istilah ini akan dimaknai sesuai dengan kepentingan politik penguasa. Dalam pandangan Islam, umat ini tidak diperintahkan untuk menjadi radikal atau moderat, namun diperintahkan untuk menjadi muslim yang sungguh-sungguh bertaqwa, atau muslim kaffah. Dengan demikian, kata radikal dan moderat merupakan proxy war, ghozwul fikr atau perang istilah dengan tujuan devide et impera, politik adu domba Barat atas umat Islam. Tidak ada muslim radikal apalagi moderat. Yang ada adalah kita harus menjadi muslim yang bertakwa dan muslim yang kaffah. Radikal itu sejatinya kata yang netral. Mengapa kemudian berkonotasi negatif ? Nah ini dipengaruhi oleh adanya kepentingan politik.
Dalam perspektif retoris yakni berkaitan dengan penggunaan bahasa sebagai alat ilmu pengetahuan, maka Barat kemudian menciptakan sebuah narasi yang mencampur aduk antara paradigma Islam dan barat yang keduanya yang tidak memiliki korelasi sama sekali, sebab dalam Islam yang namanya ilmu itu ada otoritasnya. Lahirlah istilah-isitlah rancu seperti : islam radikal, islam fundamentalis, Islam moderat, islam nusantara, islam teroris, islam demokratis, islam toleran, islam liberal dll. Kalo mau yang mungkin ada korelasinya semestinya menggunakan diksi muslim, bukan Islam. Islam nusantara secara bahasa adalah kesalahan fatal, namun jika istilah muslim nusantara jelas ada maknanya.
Secara historis, stigmatisasi atau pencitraburukan atas Islam dan muslim, sesungguhnya telah terjadi semenjak zaman para Nabi dan Rasul. Oleh kaum kafir Quraisy, Rasulullah selalu difitnah dan digelari dengan bermacam sebutan negatif. Dikarenakan kebencian dalam dada mereka, kafir Quraisy menfitnah Rasulullah sebagai orang gila, dukun dan bahkan penyihir (lihat QS As Shafat : 36, Ad Dukhan : 14, Ad Dzariyat : 39, 52 dan Al Qamar : 29). Bukan hanya sebatas kata-kata tuduhan, Rasulullah bahkan dikejar-kejar, dibaikot, dilempari batu, hingga hendak dibunuh karena dituduh telah memecah belah bangsa Arab.
Menurut Mr Hamid Algadri dulu Belanda selalu menyebut kelompok yang melakukan perlawanan terhadap penjajah sebagai radikal dan Islam fundamentalis. Seperti yang dilakukan sekarang ini oleh AS dan sekutu-sekutunya terhadapat para pejuang Islam yang tidak mau tunduk padanya (Tulisan Alwi Shahab di Republika.co.id). Raden Saleh (dari keluarga Bin Yahya), yang merupakan anak didik Belanda, pada akhir hayatnya pernah ditangkap dan dituduh membela kelompok Muslim radikal yang memberontak di Bekasi. Belanda juga menyebut para pejuang kemerdekaan sebagai kaum ekstrimis yang membahayakan.
Tuduhan radikal dan radikalisme atas muslim dan Islam oleh Barat dan negara anteknya sesungguhnya bisa ditelusuri jejaknya. Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) pada Desember 2004 merilis laporan dalam bentuk dokumen yang berjudul Mapping The Global Future. “A New Caliphate provides an example of how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system” [Maping The Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project].
Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia. Dalam dokumen tersebut, NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni: (1) Dovod World : Kebangkitan ekonomi Asia; Cina dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia. (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS. (3) A New Chaliphate: Kebangkitan kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. (4) Cycle of Fear, lingkaran ketakutan. Dari sinilah sesungguhnya narasi radikal radikul itu bermula.
Menghadapi perang pemikiran ini, apa yang mesti dilakukan oleh umat Islam yang berakal. Pertama, harus terus berdakwah untuk menjelaskan ajaran Islam yang baik dari Yang Maha Baik dan untuk kebaikan negeri ini. Kedua, perlu pula menjelaskan bahwa ancaman sesungguhnya bagi negeri ini adalah sistem kapitalisme-liberalisme. Ketiga, menanamkan kesadaran politik agar umat tidak terjebak dalam konstalasi politik internasional. Keempat, membina umat dengan pemikiran Islam untuk menghadapi tantangan ghozwul fikr. Kelima, menyadarkan masyarakat bahwa apabila kita peduli untuk melepaskan negeri ini dari berbagai persoalan, kita harus memilih sistem yang baik dan benar. Keenam, memiliki kekuatan politik untuk menghadapi propaganda musuh Islam. Saat ini terjadi “pertarungan” yang tidak seimbang.
Nah, soal narasi radikal radikul ini kita mau memakai akal atau dengkul ?
(AhmadSastra,KotaHujan,09/04/22 : 15.15 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad