Oleh : Ahmad Sastra
Sebenarnya tidaklah ada yang aneh munculnya berbagai isu, narasi dan kebijakan yang anti Islam di negeri ini, seperti cacian atas suara adzan, tuduhan masjid sebagai sarang kebencian, tuduhan pesantren sebagai sarang terorisme, pernikahan beda agama, munculnya praktek perdukunan atas nama kearifan lokal dan ‘hilangnya’ kata madrasah dalam RUU Sisdiknas. Mengapa, karena memang Indonesia itu negara sekuler yang anti Islam. Ya Begitulah watak sekulerisme. Hanya saja sekulerisme di negeri ini makin radikal.
Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara Arifin Junaidi yang dikutip Republika.co.id, mengatakan, alih-alih memperkuat integrasi sekolah dengan madrasah, draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menghapus penyebutan madrasah. Padahal, menurut dia, madrasah merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan nasional.
Dia menuturkan, madrasah merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan nasional. Akan tetapi, peranan madrasah selama ini terabaikan. Arifin mengatakan, UU Sisdiknas 2003 sebenarnya sudah memperkuat peranan madrasah dalam satu tarikan nafas dengan sekolah.
Di samping itu, Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Alpha Amirrachman, mengatakan, tujuan pendidikan nasional di dalam naskah kademik diredusir menjadi profil pelajar Pancasila. Dia menilai, ada kecenderungan sekedar melanggengkan program temporer Kemendikbudristek.
Alpha juga menjelaskan, UU yang terkait dengan pendidikan bukan hanya UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, dan UU Sistem Pendidikan Nasional. Seluruhnya ada 23 UU yang harus diintegrasikan karena saling terkait satu lain. Jika semua itu tidak dipilah dan diintegrasikan, maka UU yang baru nanti malah akan menimbulkan kompleksitas perundangan yang tidak diinginkan.
Sebelumnya, pemerhati pendidikan, Doni Koesoema, menyoroti RUU Sisdiknas menunjukkan pemerintah memberikan perlakuan berbeda pada penyelenggara pendidikan swasta. Dalam RUU Sisdiknas, dia mengatakan, peranan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan atau sekolah swasta hanya mendapatkan porsi yang teramat sedikit.
Nampaknya kebijakan moderasi beragama kian menggila dan menuju kesempurnaan liberalisme. Padahal jika ditilik secara historis, model pendidikan nasional adalah warisan penjajah Belanda melalui politik etis. Dikhotomi ilmu pengetahuan ala Belanda sangat bertentangan dengan pandangan Islam tentang ilmu. Islam mengenal integrasi ilmu, bukan dikhotomi ilmu. Pesantren atau madrasah sejak zaman Belanda telah mendapatkan perlakukan diskriminatif, bahkan dimusuhi. Mengapa ketika negeri ini sudah merdeka (katanya), pesantren dan madrasah masih juga diperlakukan secara tidak adil, mengapa ?.
Padahal pesantren merupakan lembaga pendidikan khas nusantara yang lahir jauh sebelum negara ini lahir. Para kyai dan santri yang tinggal di pesantren inilah yang justru berperan besar dalam melawan dan mengusir penjajah yang berlangsung hingga 400 tahun. Penjajah seperti Portugis, Perancis, Belanda, Jepang dan lainnya harus berhadapan para pahlawan ulama yang dengan semangat jihad melawan dan mengusir para penjajah hingga pada akhirnya negeri ini mencapai kemerdakaan pada tahun 1945.
Pesantren dalam sejarah negeri ini adalah lembaga yang dengan sangat konsisten berjuang melawan penjajah. Penjajahan Belanda bagi pesantren jelas tergolong kedzaliman yang harus dilawan jika mereka diperangi. Sejak P. Diponegoro, lalu Imam Bonjol dan Teuku Tjik di Tiro adalah pemimpin pesantren yang melakukan perlawanan menghadapi Belanda selama kurun hampir 100 tahun. Perang yang dipimpin Diponegoro yang disebut sebagai Perang Jawa adalah perang yang membangkrutkan VoC. Serikat dagang Belanda itu akhirnya harus diambil alih kerajaan Belanda.
Bahkan Belanda harus mengirim Snouck Hurgronje ke Mekkah dan Aceh untuk merumuskan strategi penaklukan Tengku Cik di Tiro dan Tjut Nyak Din untuk memenangkan Belanda dalam perang di Aceh. Setelah upaya mencampuri urusan pengelolaan pesantren melalui UU no 18/2019 tentang Pesantren, dan Perpres 82/2021 tentang Penyelenggaran Pendanaan pesantren, memetakan pesantren dalam perspektif radikalisme adalah sama dengan tindakan permusuhan penjajah atas pesantren di masa kolonial. (Pemetaan Pesantren, Daniel Mohammad Rosyid, ©RosyidCollegeOfArts).
Ujung dari narasi moderasi beragama ini adalah monsterisasi Islam. Stigmatisasi Islam ini dimaksudkan untuk menimbulkan islamphobia di kalangan kaum muslim sendiri. Simbol-simbol keislaman dicurigai sebagai simbol terorisme dan digantikan dengan simbol-simbol modern ala Barat. Syiar-syiar Islam dianggap penghasutan. Tontonan-tontonan porno dianggap kewajaran dan hiburan.
Barat begitu sadar bahwa kesadaran Islam telah merebak di seluruh penjuru dunia. Kegalauan atas carut marut kehidupan ala sekulerisme telah mendorong kerinduan terhadap Islam rahmatan lil’alamin. Ini dibuktikan oleh hasil sejumlah survei yang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menginginkan Islam menjadi sumber nilai dan hukum di negeri ini.
Islam sendiri adalah agama sempurna yang diturunkan Allah melalui Nabi Adam hingga Nabi Muhammad yang bertujuan untuk menebarkan rahmat bagi alam semesta. Meski demikian Islam sejak lahirnya selalu diwarnai berbagai bentuk permusuhan dari orang-orang yang anti Islam.
Secara historis, kemusyrikan modern yang kini tengah menyerang tauhid umat Islam, sebagaimana terjadi sejak dulu hanyalah sebuah kelanjutan masa lalu. Semisal paham pluralisme hanyalah sebuah transformasi bahasa, sementara secara substansial adalah kemusyrikan. Paham pluralisme sebagaimana telah dinyatakan haram oleh fatwa MUI 2005 adalah paham yang mencampur aduk haq dan batil dengan menyatakan bahwa semua agama sama yang membawa kebenaran dan kebaikan. Secara genealogis, paham pluralisme ini berasal dari luar ajaran Islam. Paham pluralisme teologis yang diserukan kaum kafir Quraisy dengan tegas dibantah oleh Rasulullah melalui firman Allah QS Al Kafirun : 1 -6.
Narasi moderasi beragama jika ditilik lebih dalam adalah bagian dari proyek deradikalisasi. Peristiwa runtuhnya WTC di New York City Amerika pada 11 September 2001 pukul 08.45 karena ditabrak pesawat American Airlines Boing 767 yang konon merupakan rekayasa selalu dijadikan argumen program deradikalisasi. Pasca runtuhnya WTC, presiden Amerika menyerukan : bersama Amerika atau bersama terorisme. Program war on terrorism dan dilanjutkan dengan war on radicalism tak lebih dari upaya serangan terhadap Islam itu sendiri. Dari sinilah program moderasi beragama bisa ditemukan jejak historis, politis dan ideologis. Siapa yang mendanai proyek deradikalisasi ini ?.
Genealogi perang pemikiran ini telah berlangsung sekitar 3 abad hingga hari ini. Perang asimetrsi ini terbukti efektif, buktinya banyak kalangan intelektual muslim yang terpapar sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Ketiga paham ini adalah produk epistemology barat untuk mendekonstruksi ajaran Islam. Itulah mengapa tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram atas ketiga paham di atas. Secara epistemologi, Islam adalah kebenaran, sedangkan moderasi agama (beragama) adalah kekacauan berfikir.
Karena itu tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat, sementara propaganda moderasi agama adalah racun aqidah. Istilah washatiyah berasal dari Al Qur’an, sementara istilah moderat berasal dari epistemologi Barat. Meskipun banyak cendekiawan muslim memaksakan diri untuk menyamakannya. Menyamakan keduanya akan melahirkan epistemologi oplosan yang menyesatkan umat. Pengarusutamaan moderasi agama adalah sia-sia karena merupakan produk gagal paham, dan karenanya pasti akan gagal pula, setidaknya umat tidak boleh diam, terus bersuara untuk membungkam sesat pikir ini.
Narasi moderasi beragama selain sebagai sesat fikir karena cacat epistemologi, juga akan melumpuhkan ideologi Islam yang membawa kebangkitan kaum muslimin. Pengarusutamaan moderasi beragama adalah upaya menarik pluralitas sosiologis menuju pluralisme teologis atas nama keragaman dan toleransi. Bahkan lebih dari ada tujuan yang lebih besar lagi yakni melanggengkan penjajahan di negeri-negeri muslim. Moderasi agama atau beragama dengan demikian, bukan hanya soal propoaganda teologis namun juga membawa kepentingan politik neoimperialisme. Karena itu narasi moderasi agama yang dikaitkan dengan narasi radikalisme adalah upaya menyerang Islam, maka waspadalah.
(AhmadSastra,KotaHujan,28/03/22 : 10.30 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad