KUPU-KUPU BERCAHAYA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Kabut pagi belum beranjak dari celah-celah bebukitan. Kilau embun berkerlip bagai kunang-kunang di tengah temaran malam. Udara dingin menusuk tulang. Raaina belum juga hendak melangkah seperti biasanya. Mungkin karena rintik hujan tak juga usai sejak semalam. Kampung berbukit itu licin dan terjal jika semalam turun hujan.

 

Namun bukan Raaina namanya jika tak tetap menelusuri rimba dan bebukitan melawan rasa enggan yang kadang menyapa. Kakinya tetap melangkah menelusuri perkampungan terpencil di balik hutan berbukit itu. Kampung rimba masih belum nampak. Angin menghengbus dari celah dedaunan.

 

Jalan setapak itu begitu terjal, batu - batu yang menonjol di atas tanah cukup terasa perih di telapak kakinya. Sisi kanan dan kiri semak belukar, berbunga cantik warna warni, tapi berduri. Raaina terus melangkah maju, entah telah berapa lama dirinya berjalan.  Senyum anak-anak rimba yang terus mendorong langkah-langkah Raaina. Tak mau berhenti, meski sejenak. Sebab mereka tak henti menunggu kedatangan Raaina.

 

Perjalanan masih jauh. Rimba semakin lebat dan agak gelap, meski hari telah menjelang siang. Kabut tiba-tiba menutupi celah-celah dedaunan. Pandangan ke depan hanya bisa beberapa langkah. Rintik hujan mulai bertebaran, menerpa daun-daun yang belum sempat kering karena hujan semalam.

 

Seperti namanya, Raaina. Mungkin berasal dari kata rain yang maknanya hujan. Raaina sangat akrab dengan hujan. Setiap hari menelusuri hutan lebat berkabut yang kerap didera hujan, bahkan kadang sangat lebat. Kali ini Raaina harus berteduh sejenak dibawah pohon besar agar tak basah kuyup, meski hatinya terus ingat anak-anak rimba yang menunggu ingin mengeja huruf-huruf hijaiyah.

 

Hujan makin menderas......

 

Ya, Raaina adalah seorang perempuan tangguh yang mengabdikan dirinya untuk memahamkan agama kepada anak-anak terpencil dari kehidupan sosial. Ia kerap memanggil dirinya sebagai pelukis senja, sebab hidupnya tak jauh dari senja di hutan, melewatinya untuk memberikan cahaya agama bagi anak-anak yang kurang beruntung di ujung hutan itu.

 

Lokasi bebukitan yang berada di sekitar hutan dimana anak-anak ngaji tinggal sebenarnya tak ramah lingkungan. Namun apa dikata, disitulah mereka telah tinggal berpuluh tahun dengan orang tua mereka. Jika hujan menimpa, hampir tak ada masyarakat yang berani keluar rumah, khawatir terkena longsoran yang membawa bebatuan.

 

Hujan masih enggan berhenti

Raaina masih tak beranjak dari bawah pohon itu

Dan suasana gelap mendadak menyelimuti

 

***

    

Di ujung lorong gelap...

Nampak di mata Raaina jalan setapak, bebatuan indah dan  menjulang tinggi ke atas bukit yang selama ini belum pernah dilihatnya. Tiap anak tangga berbatu itu terlihat kokoh, tak terlihat ada penyangga di sisi-sisinya. Sejenak, Raaina tertegun bertanya-tanya, tangga apa gerangan yang begitu jelas nampak di depan matanya.

 

Tanpa ragu sedikitpun, kaki Raaina mulai menapaki tiap anak tangga yang entah berapa jumlahnya. Sesekali ia berbalik pandang ke belakang, ke arah jalan setapak yang ia lihat tadi, sangatlah panjang dan ber kelok kelok. Raaina mulai bertanya-tanya dan berhenti  tertegun di antara anak tangga berbatu indah itu. Dalam hatinya bertanya, apakah harus naik terus atau kembali pulang ke jalan setapak itu lagi.

 

Lama Raaina terdiam dan akhirnya "Bismillah" ucapnya. Ia tetap menaiki anak tangga itu dengan langkah sangat  pelan, namun begitu ringan. Ada yang aneh dirasakan Raaina, meski anak tangga itu menjulang tinggi, namun entah mengapa, kaki Raaina begitu ringan menapakinya.  

 

Belum setengah jalan anak tangga Raaina lalui, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara anak- anak kecil tertawa ceria penuh canda dan bahagia. Sangat jelas sumber suara anak-anak itu berasal dari ujung tangga yang tinggi itu. Masih jauh anak tangga sampai ujung, namun suara itu begitu jelas terdengar di telinga Raaina. Belum memahami apa yang sedang ia dengerakan, dada Raaina berdegup kencang, sebab kaki-kaki anak-anak itu melangkah menuruni anak tangga....

 

Lambat laun nampak ada dua anak itu menuruni tangga dengan senyum ceria dan matanya tertuju kepada Raaina. Dua anak muncul dengan langkah cepat menuruni tiap anak tangga, seolah kakinya tak menapaki anak-anak tangga. Mereka bahkan cepat berlari dengan tangan terbuka seolah menyambut kehadiran Raaina.

 

"Bundaaaaa" teriak mereka bersamaan dari atas..

 

"Nak,,hati hati sayang,,pelan pelan turunnya..nanti jatuh sayang" teriak Raaina pelan. Mereka seperti tak menghirauku. Terus turun, begitu ringan langkah mereka tanpa takut jatuh sama sekali.

 

"Bunda bunda, di atas sana baguuuus sekali. Ada taman, banyak sekali bunganya, ada kupu kupu bisa menyala sayapnya. Di sana ada air terjun harum sekali bunda. Ayo bunda kita ke sana" ujar salah satu anak ketika dia sudah sampai di depan Raaina. Tak satu katapun terucap dari mulut Raaina dari sapaan anak kecil perempuan berambut panjang itu. Dua anak perempuan itu begitu cantik dengan rambut yang terurai oleh angin senja. Wajah-wajah kedua anak perempuan itu sangat Raaina kenal.

 

Ketika Raaina hendak menyebut nama kedua anak itu, tiba-tiba keduanya memegang tangan kanan-kiri Raaina. Mereka menuntun Raaina menaiki anak tangga yang makin tinggi.  Entah berapa lama Raaina berjalan bersama mereka, mereka sangat cantik, memakai mahkota dari bunga yang indah dan menggunakan gamis putih yang cantik. Mereka tertawa kecil dan riang sekali. Mereka tampak bahagia ketika menuntun tangan Raaina menuju ujung anak tangga yang masih nampak jauh ke atas.

 

Langkah Raaina tiba-tiba terhenti di tengah tangga yang tinggi itu.

 

"Bunda, kami pulang dulu ya. Bunda di sini dulu, kita tunggu bunda di sana ya, jangan lama lama ya bunda" kata kedua anak itu berbisik lembut di dekat telinga Raaina.

 

"Loh kok bunda di tinggalin, katanya bunda mau di ajak ke atas" lanjutnya bingung. Karena mereka berbalik badan dan naik lagi ke atas..sambil melambaikan tangan pada Raaina.

 

"Bundaaaa, kami tunggu ya, jangan lama lama ya bunda, dadah bundaa" teriak mereka sambil tertawa ringan. Dan mereka meninggalkan Raaina menaiki tangga itu..dan menghilang dari mata mata Raaina yang belum bisa menjawab semua peristiwa yang ia alami.

 

***  

 

Tiba-tiba daun basah menerpa wajah Raaina yang membangunkan dari lelap sejenak di bawah pohon. Rupanya Raaina tertidur dan diterpa mimpi yang tak terbayang sebelumnya. Suasana tak lagi hujan, senja hampir menjelang. Raaina terkaget, sebab dirinya ditunggu anak-anak di ujung hutan yang mau belajar agama darinya. Akhirnya Raaina bergegas menuju tempat pengajian dengan langkah cepat, tak peduli basahnya rerumputan hutan.

 

Kampung kecil nampak dari kajauhan. Hati Raaina berbunga. Sejenak akan segera bertemua anak-anak yang semenjak lalu telah menunggu kehadirannya. Kampung itu semakin nyata terlihat. Perlahan nampak beberapa orang beraktivitas namun nampak berkerumun.

 

Kerumunan orang sekin jelas dan terdengar pula tangisan yang saling bersahutan. Ada apa lagi ini, tanya Raaina. Hampir tak percaya, apakah ia mimpi lagi. Ternyata tidak, ini nyata. Tangisan bersahutan itu semakin jelas terdengar. Dan akhirnya nampak kerumunan itu sedang menangisi dua sosok kecil berbujur kaku. Ada dua anak yang meninggal karena terkena longsoran bukit akibat hujan lebat sejak pagi tadi.

 

‘Masyaallah, Allahu Akbat’, teriak Raaina tak terkendali.

 

Bukankah itu rumah diantara rumah murid-miridnya yang biasa mengikuti pengajian Raaina. Iya benar, itu adalah rumah Vita dan Najwa, dua perempuan kecil kakak beradik yang selalu rajin mengikuti pengajian Raaina. Ada apa dengan mereka. Ternyata keduanya telah meninggal dunia karena terkena longsor. Sementara ayah ibunya telah dibawa ke rumah sakit akibat mengalami luka berat.

 

Longsoran bebatuan itu cukup mengerikan karena hampir menutupi semua bagian dari rumah kedua anak itu. Ternyata dini hari tadi di saat mereka masih tertidur pulas, terjadi longsor hebat yang menimpa rumah kedua anak itu yang menyebabkan mereka harus lebih cepat berpulang kepada Allah, Sang Pemilik jiwa-jiwa manusia.

 

Alam sekitar kedua anak itu memang sangat rawan longsor. Selain hampir setiap hari hujan, bebukitan sekita hutan itu kerap terjadi longsor dan menelan banyak korban dari masyarakat yang menghuni rumah dibawahnya. Namun kali ini Raaina tak menyangkan akan menelan korban anak-anak yang selama ini belajar ngaji dengannya. Rainna teringat dengan sangat jelas betapa mereka adalah anak-anak yang penuh semangat belajar agama. Raaina adalah satu-satunya guru ngaji yang ikhlas menjadi guru, meski datang dari jauh, meski harus melewati lebatnya hutan menuju ke kampung itu.

 

Melihat kedua santri yang masih kecil-kecil menjadi korban longsoran tebing, kaki Raaina lemas tak mampu berdiri, badannya gemetar kuat. Air mata bercucuran tak tertahankan. Ingatannya terseret kuat pada mimpi yang baru saja dia alami sebelum sampai ke rumah kedua anak ini. Iya benar, ternyata Vita dan Najwa telah menemui Raaina dalam mimpinya tadi. Kedua anak itu sudah masuk surganya Allah. Mereka telah berbahagia berlarian di antara indahnya taman surga.

 

“Masyaallah, Allahu Akbar’, batin Raaina terhenyak mendapati semua perisitwa ini.

 

Rangkaian peristiwa yang memberikan secercah bahagia karena kedua anak ini telah bahagia di taman surga, namun gundahpun menyelimuti Raaina. Panggilan bunda, iya tentang panggilan bunda kepada dirinya oleh Vita dan Najwa dalam mimpi itu. Mengapa Raaina berada alam mimpi mereka dan mengajaknya untuk turut memasuki ujung anak tangga yang tinggi itu.

 

***

 

Tapi sudahlah, batin Raaina mencoba untuk setenang mungkin. Sebab dirinya masih berada di tenang-tengah rumah duka. Sahutan tangis tak juga reda meratapi kematian kedua anak yang dikenal sholihah dan rajin mengaji itu. Peristiwa tragis ini menyisakan suatu renungan mendalam bagi Raaina bahwa semua manusia ujungnya akan berpulang kepada Sang Pemilik Jiwa.

 

Raaina kembali melangkah pulang melewati hutan. Hari makin senja. Awan mulai mendung. Hujan belum hendak turun. Ada secercah bahagia di hati Raaina, karena masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk bisa menemani anak-anak yang belajar agama. Meski tak bisa menghilangkan rasa sedih karena ditinggal kedua anak itu. Dalam langkah-langkah pulang, bibir Raaina tersenyum........seolah Vita dan Najwa kembali menyapanya......

 

(AhmadSastra,KotaHujan,22/03/22 : 08.55 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

2 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. Peristiwa nyata di Cianjur itu membuat cerpen ini menemukan hidupnya. Salam, Pak Ahmad Sastra

    BalasHapus
  2. Nurul Fath Maratushshalihah4 Oktober 2024 pukul 10.32

    Masya Allah cerpen nya bagus sekali, membuat saya menemukan makna hidup, dan memberikan pembelajaran juga kepada kita.

    BalasHapus

Categories