Oleh : Ahmad Sastra
Penyebutan 198 pesantren yang terafiliasi terorisme tanpa memberikan indikator berkaitan radikalisme akan berpotensi menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat muslim. Pesantren itu kan lembaga yang memiliki program utama pendidikan Islam. Sementara Islam adalah agama yang lahir sejak manusia pertama yakni Nabi Adam. Islam lantas dilanjutkan oleh para Nabi dan Rasul berikutnya hingga sampai pada Rasulullah Muhammad SAW.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan khas nusantara yang lahir jauh sebelum negara ini lahir. Para kyai dan santri yang tinggal di pesantren inilah yang justru berperan besar dalam melawan dan mengusir penjajah yang berlangsung hingga 400 tahun. Penjajah seperti Portugis, Perancis, Belanda, Jepang dan lainnya harus berhadapan para pahlawan ulama yang dengan semangat jihad melawan dan mengusir para penjajah hingga pada akhirnya negeri ini mencapai kemerdakaan pada tahun 1945.
Pesantren dalam sejarah negeri ini adalah lembaga yang dengan sangat konsisten berjuang melawan penjajah. Penjajahan Belanda bagi pesantren jelas tergolong kedzaliman yang harus dilawan jika mereka diperangi. Sejak P. Diponegoro, lalu Imam Bonjol dan Teuku Tjik di Tiro adalah pemimpin pesantren yang melakukan perlawanan menghadapi Belanda selama kurun hampir 100 tahun. Perang yang dipimpin Diponegoro yang disebut sebagai Perang Jawa adalah perang yang membangkrutkan VoC. Serikat dagang Belanda itu akhirnya harus diambil alih kerajaan Belanda.
Bahkan Belanda harus mengirim Snouck Hurgronje ke Mekkah dan Aceh untuk merumuskan strategi penaklukan Tengku Cik di Tiro dan Tjut Nyak Din untuk memenangkan Belanda dalam perang di Aceh. Setelah upaya mencampuri urusan pengelolaan pesantren melalui UU no 18/2019 tentang Pesantren, dan Perpres 82/2021 tentang Penyelenggaran Pendanaan pesantren, memetakan pesantren dalam perspektif radikalisme adalah sama dengan tindakan permusuhan penjajah atas pesantren di masa kolonial. (Pemetaan Pesantren, Daniel Mohammad Rosyid, ©RosyidCollegeOfArts).
Dengan gambaran ini, maka narasi terorisme yang dikaitkan dengan pesantren adalah kontraproduktif atau bahkan paradoks. Sebab narasi terorisme sendiri lahir beberapa tahun belakangan yang digaungkan Amerika. Artinya ada korelasi antara narasi terorisme dengan strategi politik Amerika. Narasi terorisme yang menyasar umat Islam di Indonesia sesungguhnya tidak berdiri sendiri, sebab istilah terorisme itu sendiri berasal dari bahasa inggris, sementara yang selalu menjadi sasaran adalah Islam dan umat Islam. Inilah persoalan mendasar yang mesti dipahami terlebih dahulu.
Karena narasi terorisme berasal dari Barat, maka indokatornyapun dibuat oleh mereka. Indikator terorisme ala Barat inilah yang menjadi faktor utama berbagai kegaduhan akhir-akhir ini. Narasi terorisme juga jika ditilik secara historis, maka para penjajah negeri ini juga dahulu menuduh para ulama yang tidak mau tunduk kepada penjajah sebagi kaum ekstrimis. Teroris dan ekstrimis adalah dua kata yang sepadan. Karena itu BNPT sebelum mengeluarkan statemennya harus terlebih dahulu membincangkan dengan para ulama seperti MUI. Sebab jika salah paradigma, maka ungkapan BNPT ini bisa berpotensi menimbulkan kegaduhan dan bahkan berpotensi memecah belah bangsa.
Apakah narasi ini berpotensi menjauhkan umat Islam dari pesantren ?. Secara psikologis, tentu saja akan sangat berpengaruh kepada perubahan paradigma di kalangan masyarakat awam, terlepas narasi ini benar atau salah. Sebab narasi terorisme itukan sangat subyektif yang masih perlu diuiji secara akademik. Apalagi jika melihat dari perspektif perang pemikiran yang memang terus berjalan hingga hari ini.
Sedang apakah narasi ini sebagai upaya untuk menjauhkan umat Islam dari pesantren tentu saja pihak BNPT yang lebih tahu. BNPT juga pastinya lebih tahu apakah narasi yang dibangun ini benar-benar sebuah fakta yang bisa diuji secara akademik atau justru bernuansa politis. Yang pasti bagi muslim yang paham akan pesantren akan merasa sakit hati ketika lembaga yang lahir sebelum negara ini lahir dan pelopor nomer satu dalam memperjuangkan negeri ini hingga merdeka justru kini menjadi sasaran berbagai tuduhan keji dari berbagai pihak yang kontra Islam.
Jikapun tidak ada upaya menjauhkan masyarakat dari pesantren, namun narasi BNPT ini tetap akan memberikan pengaruh psikologis yang akan mengubah mindset masyarakat tentang pesantren. Tentu saja hal ini sangat merugikan lembaga pesantren di negeri yang yang berjumlah sekitar 30.000 lembaga. Di negeri ini memang serba paradoks jika telah berkaitan dengan cara pandang penguasa terhadap Islam dan kaum muslimin.
Apakah pernyataan ini juga mengarah pada pembentukan fobia pada Islam ?. Terlepas dari soal narasi BNPT dan afiliasi terorisme, saya ingin katakan bahwa sesungguhnya Barat tak mungkin rela jika Islam mengalami sebuah kemajuan dan kebangkitan. Ini sunnatullah. Apapun akan dilakukan untuk mencoba memadamkan cahaya Allah di muka bumi. Padahal cahaya Allah tidak mungkin padam karena makar mereka. Tuduhan Islam teroris hingga penyebaran pornografi dilakukan untuk melumpuhkan keimanan seorang muslim, hingga mengikuti pola hidup mereka.
Ujung dari setiap usaha ini adalah monsterisasi Islam. Stigmatisasi Islam ini dimaksudkan untuk menimbulkan islamphobia di kalangan kaum muslim sendiri. Simbol-simbol keislaman dicurigai sebagai simbol terorisme dan digantikan dengan simbol-simbol modern ala Barat. Syiar-syiar Islam dianggap penghasutan. Tontonan-tontonan porno dianggap kewajaran dan hiburan.
Barat begitu sadar bahwa kesadaran Islam telah merebak di seluruh penjuru dunia. Kegalauan atas carut marut kehidupan ala sekulerisme telah mendorong kerinduan terhadap Islam rahmatan lil’alamin. Ini dibuktikan oleh hasil sejumlah survei yang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menginginkan Islam menjadi sumber nilai dan hukum di negeri ini.
Islam sendiri adalah agama sempurna yang diturunkan Allah melalui Nabi Adam hingga Nabi Muhammad yang bertujuan untuk menebarkan rahmat bagi alam semesta. Meski demikian Islam sejak lahirnya selalu diwarnai berbagai bentuk permusuhan dari orang-orang yang anti Islam.
Nah oleh sebab itu, narasi BNPT ini pada ujungnya bisa juga menambah berkembangnya islamophobia di kalangan masyarakat awam. Namun penting diketahui bahwa umat Islam hari semakin cerdas memilih antara kebenaran dan opini. Saya yakin umat Islam Indonesia semakin menyadari akan pentingnya membela Islam dari berbagai narasi dan tuduhan yang tendensius dan berpotensi memecahbelah umat dan bangsa. Yakinlah bahwa pesantren adalah tempat yang baik dan akan menghasilkan generasi yang baik pula, jauh dari tuduhan radikalisme apalagi terorisme.
Daniel Muhammad Rasyid menegaskan bahwa kumandang agenda Barat "war on terror" sejak peristiwa pemboman WTC 9/11 sudah berubah menjadi "war on muslim". Lalu lahir semburan narasi islamophobia di mana-mana, termasuk di negeri yang mayoritas sukunya mengaku muslim. Negeri yang selama ini aman dan damai disertai kehidupan antar-agama yang pernah menjadi contoh bagi dunia, mulai retak terganggu dengan ketegangan antar pemeluk agama. Bahkan sebagian kelompok islam tertentu bertindak lebih jauh menjadi sedemikian tolerannya sehingga memusuhi sesama muslim yang berbeda. Ummat Islam terpecah belah, yang selama ini abangan makin ketakutan menampakkan diri sebagai muslim.
(AhmadSastra,KotaHujan,04/02/22 : 15.10 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad