Oleh : Ahmad Sastra
Pesantren liberal adalah pesantren yang di dalamnya menerapkan prinsip dan etika cara berfikir yang dilakukan oleh kalangan yang mengatasnamakan diri liberal. Pesantren liberal tidak dapat diidentifikasi dari segi fisik, kurikulum, maupun sistemnya. Tetapi dilihat dari segi cara berfikir yang dikembangakan di dalamnya oleh pendiri, pengajar, dan para santrinya.
Cara berfikir liberal yang dikembangkan di pesantren liberal antara lain, tentang kebebasan berfikir, toleransi agama yang kebablasan, kesetaraan gender, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, feminisme, sekulerisme, kesediaan menerima santri dari berbagai agama dan kepercayaan, pluralisme, multikulturalisme, dan demokrasi.
Menurut kalangan liberal, mereka juga mempunyai prinsip-prinsip etis dan metodis dalam berfikir yang didasarkan kepada; etika keadilan, kemaslahatan, pembebasan, kebebasan, persaudaraan, perdamaian, dan kasih sayang. Lihat dalam Budi Muawar Rahman, Islam dan Liberalisme, Jakarta: Friedrich Naumann Stiffung, 2011, hlm. 69
Tokoh-tokoh pemikiran liberal saat ini memang sangat banyak, baik dari kalangan umum maupun kalangan pesantren. Karena pemikiran liberal itu bersifat abstrak sulit diukur dan dilacak. Pemikiran liberal baru dapat diidentifikasi, jika pemikirnya menuangkan dalam bentuk pernyataan di forum ilmiah, melalui website, menulis opini di media, atau menerbitkan pemikirannya dalam bentuk buku, dan berpengaruh terhadap masyarakat secara luas.
Dalam laporan Suara Hidayatullah, Januari, 2008, mengisahkan tentang program pertukaran pelajar yang didanai oleh LSM asing asal Amerika Serikat yang diikuti oleh santri dari berbagai pesantren di Indonesia. Sebut saja misalnya santri yang bernama David. David Cuma satu dari sekian banyak pelajar Indonesia yang mengikuti program Youth Exchange Study (YES). Program ini diselenggarakan oleh AFS (American Field Service) bekerjasama dengan Yayasan Bina Antara Budaya. Program ini dirancang setelah peristiwa 11 September 2001, dirancang khusus untuk negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Setiap bulan para peserta dibekali uang saku sebesar 125 dollar AS, atau sekitar Rp 1,2 juta. Tahun 2007, dari 97 orang pelajar Indonesia yang diberangkatkan, 30 di antaranya dari pesantren seperti Darunnajah, Darul Falah, Insan Cendekia, dan IMMIM Makassar, Sulawesi Selatan.
Ternyata, tak hanya santri yang mendapat jatah ’terbang’ ke Amerika. Kiai pimpinan pondok pesantren juga menjadi sasaran untuk diperkenalkan dengan ’wajah manis’ Amerika. Melalui Institute for Training and Development (ITD), sebuah lembaga milik Amerika, mulai pertengahan September 2002, para kiai bergantian bertandang ke negeri itu. Di awal program, lembaga itu mengundang 13 utusan pesantren ’pilihan’ yang berasal dari Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Menurut KH Kholil Ridwan, Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI), program ini terbukti efektif mengubah pandangan para kiai terhadap Amerika. Banyak kiai yang setelah pulang ke tanah air mengatakan, “ Rakyat Amerika tidak sejahat pemerintahnya. Mereka sangat baik.”
Kesan inilah yang memang sengaja ingin ditanamkan oleh lembaga donor asing untuk mengubah frame work para santri dan kyai tentang Amerika dan Barat. Dan saat frame work mereka sudah mulai berubah dan acceptable terhadap pemikiran Barat dan Amerika itu, sesungguhnya virus liberalisme sudah menjangkiti para santri dan kyai. Pesantren yang dianggap kuat melakukan counter terhadap masuknya aliran liberal ke pesantren dengan berbagai dalih bantuan, pemberdayaan dan pertukaran pelajar ke luar negeri di antaranya; Pesantren Sidogiri Jawa Timur, Pesantren At-Taqwa Bekasi, dan Pesantren Subulussalam, Padang Sumatera Barat.
Di Pasuruan, Jawa Timur, Pesantren Sidogiri namanya, pesantren ini lebih mengutamakan metodologi dalam meredam pemikiran luar. Di Pesantren yang kini berusia 270 tahun ini setiap santri diajarkan membaca kitab klasik, kitab karya ulama Salaf. Kurikulum dirancang agar berhaluan ahlu sunnah wal jamaah. Para santri dididik untuk melaksanakan amalan para ulama Salaf. Seleksi penerimaan guru baru sangat ketat. Guru-guru yang berpola pikir liberal tidak akan bisa masuk Sidogiri. Para santri dan pengasuh bahu membahu melawan liberalisame melalui tulisan. Tulisan itu mereka publikasikan melalui website dan buletin yang dimiliki pesantren.
Pondok Pesantren (Ponpes) At-Taqwa yang terletak di Ujung Harapan, Bekasi, Jawa Barat, juga merupakan salah satu pesantren yang tak mengenal kompromi terhadap pemikiran Barat. Almarhum KH Noer Ali, pendiri pondok ini, dikenal sebagai pejuang yang keras terhadap kolonialisme, termasuk paham yang dibawanya.
Di At-Taqwa, kata Mawardi, tidak ada kurikulum khusus untuk menanggulangi pemikiran sekuler, liberal, dan pluralisme. Mereka hanya rutin menggelar kajian mengenai isu-isu keislaman yang sedang berkembang saat itu. Para santri juga diwajibkan mengikuti training keislaman bekerjasama dengan Pelajar Islam Indonesia (PII). ”Hasilnya terbukti efektif untuk membendung pemikiran nyeleneh,” jelas Mawardi.
Di Sumatera Barat (Sumbar), liberalisme sama sekali tidak memiliki tempat. Ini diakui Ibnu Aqil D Ghani, pengasuh Pondok Pesantren Subulussalam, Padang. ”Paham sipilis di tanah Minang (Sumatera Barat), terutama di kalangan pondok pesantren, tidak akan mendapat tempat seperti di Jawa,” tegas Aqil.
Walau demikian, Aqil yang menjabat sebagai Ketua FPPS (Forum Pondok Pesantren se-Sumbar) ini mengaku dulu sempat kecolongan. Sebuah pesantren di Bukittinggi dan satu lagi di Padang Pariaman, mengirimkan santrinya ke Amerika Serikat (AS). Ironisnya, studi banding itu dicantumkan dalam brosur dan pamflet penerimaan santri pada tahun ajaran baru. Kini, pesantren-pesantren di Sumbar telah bersatu padu membendung liberalisasi. Belum lama ini, pimpinan 49 pesantren di Sumbar berkumpul guna mengikuti bimbingan tentang bahaya sipilis dan ajaran sesat lainnya, serta kiat-kiat membendungnya. Pelatihan ini diselenggarakan di Asrama Haji, Padang.
Seleksi yang ketat juga dilakukan terhadap calon pengajar, terutama yang berasal dari IAIN. Sebab, kata Aqil, IAIN merupakan lembaga yang paling gencar dimasuki JIL.“Bagi yang telah mengajar dan lolos seleksi, kami terus melakukan pengawasan ketat. Caranya macam-macam, mulai dari pengawasan langsung oleh pengasuh pondok sampai menempatkan satu-dua orang santri (untuk memata-matai) di setiap kelas,” ujarnya. Lihat dalam (Copyright Majalah Suara Hidayatullah 2010)
Genealogi Pemikiran Liberal di Pesantren
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Nur Hidayat (2013) ada beberapa saluran dan strategi masuknya pemikiran liberal ke Lembaga Pesantren, diantaranya adalah :
1. Pertama, Melalui pimpinan pesantren. Sebagaimana penulis jelaskan di atas, bahwa model kepemimpinan pesantren sangatlah dominan, karena mereka tidak dipilih melalui tatacara pemilihan yang lazim dilakukan seperti pemilihan ketua RW atau RT atau pemilihan DKM Masjid. Kepemimpinan di pesantren dipilih secara langsung oleh pemiliki pesantren dan disepakati oleh seluruh kalangan internal pesantren, tanpa perlu persetujuan dari pihak lain diluar pesantren. Pimpinan atau kyai di pesantren dipilih bukan hanya berdasarkan unsur senioritas, keilmuan, dan keturunan semata, tetapi lebih dari itu terkadang hanya berdasarkan wasiat, hasil terawangan, dan penilaian --yang sulit diamati-- dari pemimpin pesantren sebelumnya, sehingga bisa berbeda dengan prediksi dan harapan sebagian masyarakat. Tetapi yang unik, apa yang telah dipilih dan ditetapkan oleh pihak internal pesantren untuk memimpin pesantren benar-benar terbukti dan mampu memimpin pesantren dengan baik, bahkan lebih berkembang dari sebelumnya. Mengingat pola pemilihan kepemimpinan atau kyai yang sangat unik di pesantren ini, maka sekaligus juga menempatkan posisi kyai yang juga “unik”, kharismatik, dan sekaligus dominan. Dalam beberapa kasus di pesantren tradisonal, kyai bahkan dianggap wali dan ma’sum. Segala kebaikannya dianggap suatu keunggulan, sementara “perilaku nylenehnya (khawariq al-‘adat)” dianggap kedudukan atau “maqam” tertentu yang berbeda dengan kalangan kebanyakan. Dari logika berfikir di pesantren seperti inilah yang menyebabkan posisi kyai sangat dominan sebagai sumber ilmu dan teladan, sehingga apapun yang dilakukan oleh kyai dianggap sebuah kebaikan. Begitu juga jika ternyata kyai nya terkena virus pemikiran liberal, maka akan dengan sangat mudah menyebar dan diikuti oleh semua santri yang ada di dalamnya, maka jadilah pesantrennya menjadi “Pesantren Liberal”.
2. Kedua, Melalui Program Pembinaan Dari Lembaga-lembaga Donor. Saat ini ada beberapa LSM dan lembaga donor yang sangat intens memberikan bantuan dan pemberdayaan terhadap pesantren, baik dari dalam maupun luar negeri. Menurut banyak fakta dan data di lapangan, Negara-negara yang paling antusias memberikan bantuan ke pesantren adalah Australia, Amerika Serikat, dan Inggris. Belakangan diketahui, untuk mengelabui pesantren yang anti bantuan asing, dijadikanlah Jepang sebagai pihak ketiga yang dianggap netral. Dengan kata lain, dananya tetap dari Barat, namun menggunakan Jepang sebagai kaki tangannya. Lembaga Non-Government Organization (NGO) asal Jepang yang selama ini memberi bantuan kepada lembaga pendidikan di Indonesia, termasuk pesantren adalah JICA (Japanese Cooperation Asosiation). Beberapa kali, JICA menawarkan program kerjasama di bidang sains kepada sejumlah pesantren dengan syarat kurikulum keagamaan dikurangi, dan digantikan dengan kurikulum sains. Ini terkait dengan isu-isu teroris yang diduga banyak dilakukan oleh orang Islam, dan sebagiannya berasal dari lulusan pesantren. Artinya, bahwa tujuan penggelontoran bantuan dana ke pesantren bukanlah gratis, tetapi mempunyai pamrih politik yaitu pengkebirian ajaran Islam dan memasukkan paham-paham liberal ke dalamnya, melalui perombakan kurikulum pendidikan di pesantren. Salah satu upaya mereka untuk menghancurkan Islam dari dalam yaitu dengan menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam Indonesia melalui LSM , Yayasan, lembaga donor, dll. Di antara LSM , Yayasan, Lembaga yang mendapatkan bantuan dana dari lembaga asing dan kemudian digunakan untuk program pemberdayaan pesantren adalah sebagai berikut : P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat/ The Indonesian Society for Pesantren and Community Development) Yayasan Desantara (Pluralisme agama, penerbit Majalah Syir’ah) Fahmina Institute - (Pluralisme and Gender equality) International Center for Islam and Pluralism (ICIP) - (Pluralisme agama) Indonesia Conference on Religion and Peace – (ICRP) (Pluralisme agama) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia- Nahdhatul Ulama (LAKPESDAM-NU) (Pluralisme Agama, dekontsruksi syariah ). Sementara lembaga asing yang banyak menggelontorkan dananya untuk program liberalisasi di Pesantren di antara nya adalah; The Asia Foundation (TAF) yang bermarkas di Amerika Serikat Ford Foundation dan AusAID yang bermarkas di Australia
3. Ketiga, Melalui Proses Imitasi dan Pembelajaran. Masuknya pemikiran liberal ke Indonesia selain melalui faktor infiltrasi, juga dilakukan melalui proses imitasi (peniruan) dan pembelajaran. Hal ini dapat kita lihat mengenai ide-ide liberalisme Islam di Indonesia hampir tidak ada yang genuine (asli) Indonesia, melainkan sudah pernah dimunculkan oleh para pemikir sebelumnya di laur negeri. Misalnya ide tentang sekularisme pernah dimunculkan oleh Kemal at-Taturk, Liberalisme Nashr Hamid Abu Zaid, Dekonstruksi Syariahnya Muhammad Arkoun, Abdullah Ahmed An-Naim, dll. selain itu para pemikir awal Liberal Islam seperti Hassan Hanafi, Ali Abd al-Raziq, Qasim Amin, Farah Antoun, Salamah Mousa, Ahmad Luthfi Sayyid, dan Taha Hussein, juga telah mebicarakan banyak hal tentang isu-isu liberalisme yang dikembangkan di Indonesia. Tokoh-tokoh intelektual semacam Mohammed Arkoun, Mohammed Abed Jabiri, Hisham Djait, Burhan Ghaliun, Salim Yafut, dan Abdullah al-‘Urwa (Laroui) adalah pemikir-pemikir terpandang di kawasan Timur Tengah yang mendiskusikan isu-isu tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan keagamaan, seperti pada masa-masa awal kebangkitan. Tapi juga meluas hingga persoalan-persoalan demokrasi, HAM, gender, sastra, musik, dan iptek. Artinya para tokoh liberal Islam Indonesia yang datang belakangan, sesungguhnya hanyalah mengekor, meniru, dan mengembangkan pemikiran liberalisme dari para tokoh sebelumnya untuk selanjutnya dikonstektualisasikan dengan kondisi Indonesia. Jadi sebenarnya tidak ada yang baru dalam hal pemikiran liberal di Indonesia ini.
4. Keempat, Melalui Pembiaran oleh Kalangan Pesantren. Selain berbagai faktor sebagaimana penulis jelaskan di atas, berkembangnya pemikiran liberal di pesantren juga tidak lepas dari pembiaran oleh kalangan pesantren terhadap adanya gejolak pemikiran yang dilakukan oleh para santrinya, atau bahkan mendapat dukungan dari para kyainya. Tidak banyak pesantren yang mempunyai filter untuk menangkal aliran liberal ini. Ini dikarenakan dua hal, pertama, karena ketidakpahaman tentang bahaya aliran liberal, kedua, karena kesengajaan yang dilakukan oleh pihak pimpinan pesantren, dengan menerima program-program bantuan, pemberdayaan, dan pertukaran pelajar ke luar negeri terutama Negara-negara Eropa dan Amerika.
Dari tantangan ini mengkonfirmasi bahwa pesantren dalam masalah yang tidak mudah untuk dipecahkan. Diperlukan solusi holistik dari berbagai pihak yang otoritatif untuk menyelamatkan pesantren dari virus liberal sekaligus menyemalkan generasi muslim yang justru berpotensi merusak agamanya sendiri. Idealnya negara lah yang menyelamatkan generasi, tapi menjadi masalah jika negaranya sendiri justru sudah terliberalkan lebih awal. Maka, seluruh umat Islam harus sadar masalah dan memberikan solusi fundamental yakni pengarusutamaan pemikiran Islam sebagai upaya melawan arus liberalisasi ini.
(AhmadSastra,KotaHujan,17/01/22 : 10.30 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
nur hidayati itu siapa ?
BalasHapus