BUKAN SALAH PESANTREN

 



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Dunia pendidikan Islam, khususnya pesantren digoncang oleh kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum guru kepada para santrinya sendiri. Terang saja kasus memilukan yang terjadi di Bandung ini mencoret nama baik guru dan pesantren. Meski peristiwa ini melibatkan individual, namun nama guru dan pesantren terseret dan terkesan ikut mendapatkan getahnya.

 

Kejadian yang memilukan ini tentu saja menjadi tamparan bagi penyelenggara  pendidikan Islam, terutama pemerintah dalam hal ini kementerian agama. Sebab, peristiwa ini disinyalir telah lama terjadi, bahkan kabarnya pesantren ini tidak memiliki standar yang telah ditetapkan pemerintah. Pertanyaannya, mengapa pesantren yang tidak berstandar bisa terselenggara lama. Apakah selama ini tidak ada pendataan atau pengawasan dari pemerintah setempat.

 

Logikanya, jika kondisi pesantren yang tidak standar itu terdeteksi lebih awal, maka peristiwa yang memalukan itu tidak akan terjadi. Terlebih lagi ketika telah banyak diberitakan oleh media, maka ceritanya akan menjadi komplek. Kasus individual tidak bisa digeneralisir seolah semua pesantren seperti itu. Nah, disinilah pemerintah harus bisa dengan bijak menyelesaikan kasus ini. Jangan sampai muncul stigmatisasi terhadap pesantren yang telah lama menjadi pendidikan alternatif terbaik untuk pembentukan akhlak bangsa di tengah sekulerisasi pendidikan yang kian parah.

 

Jika kasus ini tidak bijak ditangani oleh pemerintah, maka pemberitaan peristiwa ini akan semakin liar dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak yang punya kepentingan jahat terhadap pendidikan Islam. Peristiwa kejahatan yang melibatkan individual bisa terjadi kepada siapapun dan beragama apapun. Islam sendiri berbeda dengan muslim. Islam adalah sebuah sistem nilai yang datang dari Allah, sementara muslim adalah orang yang memeluk agama Islam. Bisa saja muslim itu bermaksiat, sementara Islam tetaplah sempurna.

 

Sementara, pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai religius Islam. Nilai Islam dan pesantren adalah setali mata uang, tidak mungkin diisahkan. Pesantren tanpa nilai, ibarat manusia tanpa nyawa. Keseluruhan kegiatan pesantren berbasis nilai. Pesantren berbeda dengan sekolah-sekolah sekuler yang mengabaikan nilai agama. Visi besar pesantren adalah mewujudkan generasi beriman, beradab dan berilmu.

 

Secara normatif, kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren bukanlah salah pesantren. Meski secara empirik pesantren terbentuk dan bergantung kepada pengelolanya. Bisa jadi pesantren tidak mewakili kesempurnaan ajaran Islam, namun menyalahkan pesantren dalam kasus pelecehan seksual tentu saja merupakan logical fallacy. Tugas pemerintah adalah memberikan pengawasan dan bimbingan atas pesantren-pesantren. Kejadian memilukan yang terjadi di Bandung ini mestinya menjadi tamparan keras bagi kementerian agama.

 

 

Konstribusi pondok pesantren dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan dan peradaban Islam, memiliki peran yang sangat signifikan. Pesantren merupakan institusi pembentuk kepribadian generasi bangsa dan kebudayaan Islam di Indonesia. Keberadaannya cukup mengakar di tengah masyarakat Indonesia. Selain sebagai agen pencerahan iman bagi santri dan umat Islam di lingkungannya masing-masing, Pesantren juga berperan sebagai agen transformasi nilai-nilai keislaman yang dapat membawa pesan-pesan ideologis, baik dalam bidang politik, budaya, sosial keagamaan, ekonomi melalui bidang kependidikan dan kepengajaran.

 

Hal ini berarti secara genealogis, sejak awal visi lahirnya pesantren adalah lembaga tafaquh fiddin dalam arti yang luas. Dari rahim pesantren diharapkan lahir para generasi muslim yang berkualitas aqidah dan intelektualnya yang kelak menjadi agen-agen peradaban Islam. Ajaran Islam meliputi semua aspek kehidupan secara terpadu (tidak sekuleristik) baik fikrah maupun tariqah, baik urusan dunia maupun akherat. Pondok pesantren dengan kekhasan dan karakter sistem pendidikannya memungkinkan untuk mewujudkan visi peradaban tersebut.

 

K.H. Hasan Basri mengatakan beberapa aspek keberhasilan pesantren , antara lain: pertama, berhasil menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa para santri sehingga mereka memiliki daya dan semangat juang yang tinggi untuk Islam. Kedua, bersikap tegas menentang kekafiran dan kebatilan secara konsekuen dan menyatukan diri dengan golongan pergerakan yang mempunyai pandangan yang sama. Ketiga, mampu membentuk kecerdasan (intelektualitas) dan kesholehan (moralitas) pada diri para santri, menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan, dan membina diri untuk memiliki akhlak terpuji.

 

Keempat, mampu membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab berdasarkan ajaran Islam (masyarakat santri) sehingga menjadi kekuatan sosial dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat bangsa Indonesia. Kelima, menjadikan dirinya bagaikan benteng terakhir pertahanan terakhir ummat Islam dari serangan Kebudayaan Barat yang dilancarkan pemerintah kolonial Belanda. Dengan kata lain, pesantren berhasil menyelamatkan kebudayaan Islam di Indonesia. Keenam, pesantren dan masyarakat santrinya adalah satu-satunya lembaga pendidikan di Indonesia yang tidak mengenal kompromi atau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.

 

Ketujuh, dalam menghadapi arus perubahan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang melanda bangsa Indonesia, ternyata masih tetap menunjukkan vitalitasnya untuk tetap berperan sebagai salah satu kekuatan sosial yang penting bagi peradaban Islam di Indonesia, baik masa kini maupun masa mendatang. Pesantren juga ternyata tidak tergilas oleh arus perkembangan lembaga-lembaga pendidikan modern yang berkiblat ke Barat.

 

Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bahwa pesantren, dulu ataupun sekarang, merupakan lembaga yang berhasil membentuk karakter-karakter pribadi muslim (santri) dan memiliki peranan besar dalam membina umat dan bangsa hingga ke pelosok pedesaan. Karena itu kasus individual, jika tak diselesaikan secara benar, maka publik akan mendapatkan gambaran buruk tentang pesantren. Pihak-pihak yang selama ini memang tidak menyukai pendidikan pesantren akan menyeret kasus ini kepada kontek kelembagaan.

 

Dalam hukum Islam, sebagaimana disampaikan oleh wakil ketua umum MUI pesat, KH. Anwar Abas, pelaku pelecehan seksual sebagaimana dilakukan oleh oknum di Bandung bisa dihukum mati dengan dirajam. Artinya betapa tegasnya hukum Islam dalam memberikan hukuman atas pelanggaran syariah. Sementara di Indonesia, hukum seringkali tidak membuat jera. Sebab hukum di Indonesia bersumber dari sistem sekuler yang justru anti agama, khususnya Islam.

 

Secara lebih luas lagi, berbagai pelecehan seksual juga dipicu oleh lingkungan yang rusak. Ketika negara membiarkan berbagai perilaku bebas, maka akan memunculkan lingkungan buruk yang memicu munculnya gairah seks yang tak terkendali. Selain pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru itu, sebenarnya perilaku seks  menyimpang telah lama terjadi di negeri ini, seperti pelacuran, homoseksual, kumpul kebo, seks bebas dan sejenisnya.

 

Peran media massa juga sangat signifikan. Sistem sekuler seringkali memberikan kebebasan atas berbagai tayangan negatif yang bisa diakses oleh siapapun, termasuk dari kalangan anak-anak. Terlebih lagi media sosial yang oleh siapapun bisa diakses, asal memiliki handphone. Berbagai konsten pornograsi dan pornoaksi bergitu membludak di media sosial. Kondisi ini tentu saja sangat buruk bagi generasi bangsa ini.

 

Jadi kesalahan pertama bagi perilaku amoral adalah individual yang tidak beradab dan kedua adalah sistem sosial yang memang sekuleristik. Jika sistem sekuler masih terus diterapkan di negeri ini, maka perilaku seks menyimpang akan terus tumbuh subur. Sebab selain membuka lebar kebebasan perilaku, hukum sekuler terbukti tidak pernah adil dan tidak pernah memberikan rasa jera bagi para pelakunya.

 

Berbeda dengan sistem hukum Islam yang adil dan menjerakan. Sistem sosial Islam dibentuk oleh ketaqwaan individu, pengawasan sosial dan sistem hukum yang adil. Oleh karena itu, penguatan sistem hukum Islam di negeri ini adalah sebuah keharusan yang mendesak, jika negeri ini ingin menjadi lebih beradab. namun, sebaliknya, jika negeri ini masih menerapkan sistem sekuler, maka kasus pelecehan santri di Bandung sesungguhnya hanya fenomena gunung es, pastinya berbagai kasus yang lebih parah lebih banyak lagi.

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS Annisa : 59).

 

Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (QS Thahaa : 124).

 

”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maidah : 50).

 

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96).

 

(AhmadSastra,Semarang,13/12/21 : 20.40 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.