MENELISIK LOGICAL FALLACY DALAM PERMENDIKBUD 30



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Terlepas dari pro-kontra permendikbud 30, ada satu kesimpulan awal bahwa sesungguhnya Indonesia makin sekuler, bahkan sedang menuju sekulerisme radikal. Karakteristik sekulerisme liberal adalah melakukan berbagai dekonstruksi nilai-nilai yang berakar dari agama, khususnya Islam. Sekulerisme sendiri bekerja di wilayah pemisahan antara agama dan negara, sementara sekulerisme liberal bekerja pada wilayah dekonstruksi agama itu sendiri.

 

Sekulerisme liberal bukan hanya menempatkan agama pada wilayah privasi, namun sudah melakukan berbagai serangan atas Islam dengan berbagai tuduhan keji, seperti Islam sebagai agama radikal, fundamental dan bahkan menuduh Islam sebagai agama terorisme. Sekulerisme radikal juga melakukan berbagai upaya dekonstruksi atas hakikat hidup, nilai, ilmu, adab, bahagia, alam, manusia, tuhan, agama dan lainnya. Sekulerisme memiliki standar yang menyelisihi Islam dalam memandang manusia, kehidupan dan alam semesta.   

 

Tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly dalam bahasa inggrisnya. Sekulerisme secara harfiah adalah  faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini (keduniaan an sich). Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama.

 

Kembali ke masalah Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi yang mengundang kontroversi karena ada pasal yang frasanya tertulis 'tanpa persetujuan korban' di beberapa ayat di pasal 5 yang jika dibaca "sebaliknya" akan bisa langsung dipahami  "melegalkan dan membolehkannya, dengan logika jika disetujui korban maka otomatis membolehkan.

 

Dalam kajian filsafat namanya logical fallacy atau argumentum ad populum (bandwagon) yaitu ketika suatu argumen/pernyataan dianggap benar karena banyak orang yang merasa hal itu benar. Faktanya banyak juga yang mendukung kebijakan menteri. Sementara yang kontrs justru berpikir sebaliknya, bahwa bahasa yang digunakan dalam permendikbud itu maknya justru melegalkan perzinahan, terutama jika didasari oleh suka sama suka. 

 

Pihak yang kontra juga menyatakan bahwa problem utama pada Permendikbud 30 adalah kehancuran standar nilai moral bangsa di Perguruan Tinggi. Peraturan Menteri itu telah memaksa kampus untuk serius menangani kejahatan seksual (kekerasan seksual) tanpa persetujuan, dan pada saat yang sama disuruh membiarkan kejahatan seksual yang dilakukan dengan persetujuan (perzinahan). Benarkah UU ini dapat mencegah Kekerasan Seksual atau malah membebaskan seks bebas di Perguruan Tinggi ?.

 

Secara legal opini dikemukakan oleh LBH Pelita Umat yang diwakili oleh Candra Purna Irawan yang menyatakan bahwa pertama, perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada 'persetujuan korban.' Dengan 'persetujuan korban' maka pihak manapun tidak dapat mempersoalkan termasuk orang tua korban. Bahkan dikhawatirkan menjadi legitimasi bagi pihak manapun yang ingin melakukan seks diluar pernikahan berbasis persetujuan.

 

Kedua, bahwa Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi; Ketiga, bahwa "legalisasi" perbuatan asusila atau zina berbasis persetujuan tersebut adalah pengingkaran nilai agama atau syariah islam, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudah semestinya Permendikbudristek tersebut di cabut atau di revisi; dan keempatb Bahwa LBH PELITA UMAT akan mempertimbangkan untuk melakukan gugatan atau Hak Uji Materi (HUM) terhadap peraturan tersebut.

 

Lebih rumit lagi ketika pihak kemenag jurtru memberikan dukungan atas diterbitkannya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dengan mengeluarkan aturan serupa berupa Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN).

 

Para pihak dari kalangan ormas Islam melakukan berbagai penolakan. Muhammadiyah meminta Permendikbud-Ristek tentang PPKS dicabut. Salah satu alasan yang dikemukakan Muhammadiyah adalah adanya pasal yang dianggap bermakna terhadap legalisasi seks bebas di kampus.

 

Sikap Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diklitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu dituangkan dalam keterangan tertulis yang dikeluarkan pada Senin (8/11/2021). Surat ditandatangani oleh Ketua Majelis Diktilitbang Lincollin Arsyad dan Sekretaris Muhammad Sayuti.

 

Kritik juga datang dari anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah. Politisi PKS ini menyayangkan bahwa beberapa muatan dalam isi Peraturan Menteri ini jauh dari nilai-nilai Pancasila. Bahkan dia menuding Permendikbud ini cenderung mengarah pada nilai-nilai liberalisme.

 

Ibarat sumber mata air, jika keruh dari asalnya, maka air yang mengalir jauhpun akan keruh, meski telah dibersihkan sekalipun, jika sumber mata airnya kotor, maka seterusnya aliran air itu akan tetap kotor. Begitupun, sekulerisme yang menyimpang dan mengajarkan logical fallacy karena menyelisihi nilai-nilai kebaikan agama pun akan melahirkan berbagai peraturan dan perundang-undangan yang kotor dan buruk, meski dipoles sebagus apapun. Polesan peraturan, namun jika masih dari sumber sekulerisme, maka polesan itu hanya dijadikan sebagai pengelabuhan agar peraturan itu diterima masyarakat seolah sebagai sebuah kebenaran, padahal faktanya adalah sebuah kebusukan.

 

(AhmadSastra,KotaHujan, 17/11/21 : 14.30 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

1 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. Sangat setuju dengan artikel yang anda tulis. Sekularisme di Indonesia sudah memasuki fase baru, dimana sudah tidak lagi "malu-malu" dalam gerakannya. Sekarang justru menggunakan pemerintah dan wewenangnya dan juga pengaruh dari "influencer" atau duta-duta artis untuk mencuci otak rakyat, agar apa yang disampaikan seakan-akan untuk kebaikan kita. Padahal tidak, itu justru sesuatu hal yang merusak. Salah satu "karya" terbaru mereka adalah peraturan menteri ini. Sangat disayangkan terdapat beberapa organisasi mahasiswa muslim yang mendukung, cenderung melihat apa yang ingin dilihat, dan mengesampingkan kemungkinan terburuk "legalisasi" zina di perguruan tinggi.

    BalasHapus