Oleh : Ahmad Sastra
Arus postmodernisme oleh Ernest Gellner dimaknai sebagai gerakan dekonstruksi makna dengan memunculkan berbagai kontradiksi. Tentu saja, secara aksiologis, gerakan ini akan membawa daya rusak alam pikiran manusia. Sementara pemikiran yang rusak akan melahirkankerusakan kehidupan secara keseluruhan.
Memang benar bahwa pilar utama berdirinya sebuah peradaban adalah intelektualitas yang melahirkan ilmu, paradigma bahkan ideologi. Suram dan cerahnya peradaban bangsa sangat bergantung kepada cara pandang (worldview) bangsa tersebut terhadap manusia, kehidupan dan alam semesta korelasinya dengan eksistensi Tuhan.
Oleh Michel Foucolt dan Akbar S. Ahmed, gerakan post modernisme telah mengarah kepada dekonstruksi atas agama, dimana Tuhan tidak lagi dilibatkan dalam upaya pembangunan peradaban manusia. Akibatnya, saat ini pemikiran sekuler dan liberal yang berusaha menjauhkan dari agama telah mendominasi dan bahkan menghegemoni peradaban modern.
Telah terlalu banyak bukti-bukti empiris daya rusak sekulerisme dan liberalisme atas berbagai sendi kehidupan dan peradaban bangsa. Sebab intelektualitas berbalut sekulerisme telah menjauhkan manusia dan kehidupan dari kebaikan agama. Sementara liberalisme telah memunculkan peradaban hewani yang tak terbayangkan sebelumnya.
Lebih dari itu, sekulerisme dan liberalisme merupakan proxywar bagi dunia Islam. Sebab sains dan teknologi tanpa agama cenderung menjajah, sementara agama tanpa sains dan teknologi akan terjajah. Integrasi sains dengan agama yang ditawarkan Islam akan melahirkan kemerdekaan dan kemakmuran. Keshalihan intelegensia yang ditawarkan Islam adalah alternative terbaik bagi kebaikan masa depan peradaban manusia modern.
Dalam pandangan Islam, Allah adalah pencipta manusia, kehidupan dan manusia yang telah memberikan blue print dan road map agar kehidupan dunia ini konstruktif. Hal ini menegaskan bahwa Allah lah sumber ilmu dan kebenaran yang terwujud dalam ayat qauliyah dan qauniyah. Paradigma inilah yang harus menjadi pijakan dalam merumuskan ontologi, epistemologi dan aksiologi peradaban bangsa.
Istilah peradaban berasal dari kata adab yang merupakan kata dari khasanah Islam. Adab oleh Al Attas dideskripsikan seperti orang yang bersikap baik dalam sebuah undangan jamuan makan. Begitupun dalam kehidupan, hakikatnya manusia adalah berada dalam jamuan makan atas undangan Allah. Adab adalah tatkala manusia patuh dan taat kepada Allah berdasarkan ilmu dan iman.
Adab lahir dari keshalihan intelegensia, sementara peradaban adalah pengejawantahannya. Peradaban postmodernisme yang dekonstruktif harus dijawab oleh kaumintelektual muslim. Sebab jika tidak, maka kebenaran akan lenyap dari kehidupan manusia dan kebatilan yang akan berkuasa. Intelektual muslim wajib menghadirkan kebenaran, maka kebatilan akan lenyap, sebagaimana telah Allah janjikan.
Keshalihan intelegensia bukan hanya monopoli kaum intelektual, namun menjadi keharusan bagi kekuasaan juga. Tidaklah mengherankan jika Plato mewajibkan kekuasaan itu dipimpin oleh seorang filosof. Dalam Islam, idealnya kekuasaan itu dipimpin oleh seorang khalifah mujtahid yang mampu mengoptimasi fungsi kekhalifahan dalam mengatur rakyatnya.
Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang- orang yang ragu-ragu (terhadap kebenaran Allah tersebut) (QS Ali Imran : 60). Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi (QS Al Baqarah : 30). Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Mujadilah : 11).
Keshalihan intelegensia yang menjadi pilar peradaban suatu bangsa senantiasa berorientasi kepada pengabdian kepada Allah, bukan untuk memburu keuntungan duniawi. Sebab rusaknya masyarakat disebabkan oleh rusaknya pemimpin, sementara rusaknya pemimpin disebabkan oleh rusaknya ulama atau kaum intelektual. Sedangkan rusaknya kaum intelektual disebabkan karena disorientasi (al wahn).
Peradaban yang ditopang oleh disorientasi intelegensia seperti sekulerisme, liberalisme dan ateisme akan melahirkan kehidupan yang tidak manusiawi, tidak adil dan tidak memberikan kebahagiaan bagi rakyat. Fenomena kemiskinan global, amoralitas dan kriminalitas adalah tumbal-tumbal disorientasi intelegensia ini. Peradaban modern akan semakin gulita jika disorientasi intelegensia telah menjangkiti politik kekuasaan.
Kebangkitan peradaban Islam era modern berbasis keshalihan intelegensia adalah sebuah keniscayaan, sebab Islam adalah ajaran sempurna dan menyempurnakan. Namun demikian, menurut Syahrin Harahap, kelemahan umat Islam, termasuk para pemimpinnya, salah satunya adalah tidak adanya kesediaan untuk mengevaluasi keabsahan tindakan dan kebijakan untuk memajukan Islam.
Secara historis, telah banyak tindakan yang sejatinya telah gagal memajukan Islam yang dilakukan oleh berbagai komponen umat Islam. Padahal membangkitkan Islam adalah tugas kolektif umat Islam, bukan individual atau kelompok semata. Reunifikasi gerakan Islam sering kali dihambat oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang telah lama menjangkiti umat Islam.
Keshalihan intelegensia atau bisa disebut juga dengan inteletualitas yang beretika harus melahirkan kesadaran ideologis di kalangan kaum muslimin agar mampu membaca dan mengkritisi ideologi di luar Islam dengan tepat. Keshalihan intelegensia harus ditopang oleh sebuah sistem politik yang kokoh agar efektif melahirkan peradaban. Negara Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah adalah prototype sempurna bagi upaya membangkitkan ulang peradaban Islam era modern di tengah hegemoni peradaban destruktif akibat pengabaian terhadap nilai ketuhanan (antroposentrisme).
(AhmadSastra,KotaHujan,14/09/21 : 15.30 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus