DERAAN MUSIBAH DAN MOMENTUM TAUBAT NASIONAL



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS Ar Ruum : 41). Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS Asy Syura : 30).

 

Setidaknya ada dua bentuk musibah berupa bencana alam dan bencana non alam yang menimpa manusia. Bencana alam ada yang terjadi akibat hukum kausalitas, yakni terjadi akibat kesalahan pengelolaan lingkungan oleh manusia, seperti banjir yang sering terjadi di negeri ini.

 

Sepanjang tahun 2020 hingga awal tahun 2021, bencana hidrometereologi seperti banjir, tanah longsor dan banjir bandang sering terjadi. Dalam catatan BNBP tahun 2021, hingga 10 Januari saja, negeri ini telah ditimpa bencana sebanyak 76 kali.

 

Bencana alam yang semata-mata terjadi karena kehendak Allah, tanpa ada campur tangan manusia, seperti gunung meletus, tsunami atau badai. Allah hendak menunjukkan kekuasaanNya kepada manusia untuk menguji hamba-hambanya yang tetap bersabar dan mau mengambil ibrah. Dengan memahami kemahakuasaan Allah, diharapkan manusia hanya bersandar kepada pertolongan Allah.

 

Bentuk bencana berikutnya adalah bencana non alam seperti mewabahnya penyakit menular. Sebagaimana kini melanda seluruh dunia yakni adanya pandemi virus corona yang telah menelan jiwa lebih dari satu juta di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri korban jiwa akibat pandemi covid 19 lebih dari 100 ribu jiwa. Wabah akibat virus juga pernah terjadi dalam sejarah seperti tho’un, black death, flu burung dan ebola, bahkan virus HIV AIDS.   

 

Dalam perspektif teologis, bencana adalah atas kehendak Allah, namun disebabkan oleh ulah tangan manusia yang disebut dengan maksiat, baik dilakukan secara individual, maupun kolektif seperti negara. Oleh para mufasir, istilah fasad dalam QS Ar Rum : 41 ditafsirkan dengan maksiat. Jika benar bahwa merebaknya virus corona dimulai dari tradisi makan kelelawar di wuhan china, maka makan kelelawar adalah maksiat, sebab haram hukumnya. Sementara kelelawar adalah hewan yang mengandung banyak virus dalam tubuhnya.

 

Allah sendiri menegaskan sebagai pemberi rejeki bagi manusia, namun faktanya kebanyakan manusia tidak mau bersyukur. Sebaliknya, manusia sering kufur dan menentang perintah Allah. Terjadi bencana adalah saat manusia tidak mensyukuri karunia Allah. Banjir terjadi adalah ketika manusia tidak mensyukuri nikmat air dengan melakukan berbagai perbuatan yang menimbulkan banjir.

 

Perhatikan peringatan Allah : Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS An Nisaa : 79). Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, (QS An An’am : 6). 

 

Maksiat adalah melanggar aturan Allah dalam berbagai aspeknya. Disaat Allah memerintahkan untuk menjaga alam dan lingkungan, sementara manusia merusaknya, maka itulah maksiat. Peringatan Allah telah begitu banyak kepada manusia, baik peringatan untuk mentaati hukum Allah, maupun peringatan berupa tanda-tanda alam.

 

Di negari ini dengan santainya tanpa ada rasa takut kepada Allah, banyak orang melanggar ketentuan Allah di tempat umum, seperti membuka aurat, tidak sholat, berpesta pora, aksi kriminal, berbohong, korupsi dan menipu. Lebih jauh dari itu  para penguasa dengan tenangnya membuat hukum sendiri dalam semua lini kehidupan, politik, pendidikan, ekonomi, pemerintahan, tanpa sedikitpun takut kepada Allah.

 

Perhatikan firmanNya : Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (QS Thahaa : 124). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (QS Ar Ruum : 24).

 

Setiap kemaksiatan akan mendatangkan dosa. Sementara dosa akan mendatangkan murka Allah. Kemasiatan, bisa dilakukan oleh individu dan keluarga. Murka Allah bisa berupa datangnya musibah. Islam mengajarkan kepada individu dan negara untuk meninggalkan dan bertaubat. Taubat secara individu, kelompok maupun negara. Dalam situasi yang penuh bencana seperti inilah mestinya seorang pemimpin menyerukan taubat nasional.

 

Dalam konteks negara, penerapan sistem hukum kapitalisme sekuler secara epistemologis dan aksiologis merupakan sumber kerusakan dan datangnya berbagai musibah dan bencana di negeri ini. Apalagi jika negeri ini menerapkan sistem hukum komunisme ateis, maka kehancuran negeri ini akan semakin besar dan meluas. Kedua ideologi itu merupakan paham yang mengajarkan berbagai bentuk kezoliman kepada sesama, tumbuhnya berbagai kemungkaran dan keingkaran kepada Allah.

 

Itulah sebabnya surat Ar Ruum ayat 41 yang telah dikutip diawal tulisan ini diakhiri dengan kata la’allakum yarji’un yang artinya agar mereka kembali kepada jalan yang benar. Makna taubat adalah kembali ke jalan Allah, setelah berjalan di jalan sesat. Jalan yang benar adalah Islam. Sebab hanya Islamlah jalan hidup yang diridhoi Allah, innaddina ’indallahil Islam. Dan Allah melarang kita untuk mencari-cari jalan selain Islam karena jalan selain Islam adalah jalan yang akan menyesatkan manusia. Jika rakyat dan pemimpin  di negeri ini kembali  beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka Allah berjanji akan menurunkan berbagai keberkahan hidup dari langit dan bumi.

 

Taubat adalah bentuk penyesalan dan berjanji takkan mengulangi kembali segala perbuatan buruk selama ini yang dilarang Allah SWT. Taubat berasal dari bahasa Arab, taba-yatibu-tawbat yang berarti penyesalan atau kembali. Bentuk tobat dalam ajaran Islam berbeda, tergantung pada besar atau kecilnya kesalahan seseorang. Taubat Nasuha merupakan bentuk penyesalan tertinggi dalam agama Islam, yang disertai dengan permohonan ampun dan berniat tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

 

Taubat ialah kembali dari perbuatan jahat kepada ketaatan karena takut pada murka Allah SWT. Tertuang dalam surah An-Nur : 31, Allah berfirman: Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. Taubat nasional adalah penyesalan telah menerapkan hukum jahiliah dan berjanji akan menerapkan hukum Allah dalam mengelola rakyat, kehidupan dan alam semesta.

 

Proses bertaubat perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh tulus ikhlas pada Allah, bukan hanya terucap di mulut saja. Syarat taubat perlu dilakukan sebagai prosesi tata cara taubat nasuha yang benar. Tertuang dalam kitab suci Alquran surat At-Tahrim : 8 : Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu.

 

Awbah adalah orang-orang yang bertobat bukan karena takut dan tidak mengharap tambahan pahala, melainkan mengikuti perintah Allah SWT. Hal ini sesuai dalam surah Sad : 30, Allah berfirman: Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhannya).

 

(AhmadSastra,KotaHujan,05/08/21 : 13.50 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories