PANDEMI DAN URGENSITAS KADERISASI ULAMA PEJUANG Wafat Satu Tumbuh Seribu



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka (QS Ali Imran : 190-191).

 

Ulama merujuk kepada orang yang memiliki ilmu dan iman sekaligus, dalam Islam disebut sebagai ulil albaab. Ulama adalah orang yang dengan ilmunya memiliki banyak pemahaman terkait berbagai fakta penciptaan Allah karena melakukan berbagai aktivitas pemikiran dan riset. Hasil riset itu memiliki dimensi horizontal sebagai solusi bagi permasalahan sosial dan dimensi vertikal untuk semakin meningkatkan keimanan.

 

Ulama, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak dari kata ‘alim (orang yang berilmu). Siapa saja yang berilmu dan apa pun bidang ilmunya, disebut ‘alim. Ulama berarti orang-orang yang berilmu atau para ilmuwan. Alquran menyebut karakter ulama sebagai orang-orang yang takut kepada Allah sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Fathir ayat 28.

 

Ulama dalam terminologi Islam bukanlah sekadar orang yang berilmu, melainkan sebagai orang yang takut kepada Allah. Ia juga merupakan pewaris para nabi. Ini berarti, ulama dalam terminologi Islam adalah orang-orang yang berilmu dan ilmunya membentuk karakter takut kepada Allah dan mewarisi ciri-ciri utama para nabi. Ciri-ciri utama para nabi itu adalah menegakkan keyakinan tentang keesaan sang Pencipta, mengamalkan perintah-perintah Allah, membimbing masyarakat, serta membantu menyelesaikan masalah-masalah mereka sesuai dengan ajaran Tuhan.

 

Bencana bagi umat (datang) dari ulama su’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan untuk mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya sedemikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat : mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. [lihat Al Allamah Al Minawi dalam Faydh al Qadir VI/369]. Rasulullah bersabda,”Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama”. [HR Ad Darimi].

 

Kalau kita mengacu pada Alquran, sesungguhnya selain Surat Al-Fathir tersebut ada dua ayat yang berkaitan dengan peran dan fungsi ulama. Satu ayat langsung secara tersurat terdapat kata-kata ulama, yaitu Surat Asy-Syu’ara ayat 197. Kemudian satu ayat lagi yang tidak langsung memuat kata-kata ulama, tetapi berkaitan dengan fungsi ulama, yaitu Surat At-Taubah ayat 122.

 

Ulama atau ulil albaab adalah orang-orang yang punya otoritas keilmuwan yang menjadi sumber kebenaran untuk mewakili kebenaran dari Allah. Ulama adalah rujukan bagi masyarakat awam untuk mendapatkan berbagai fakta masalah dan solusinya. Setiap ulama atau ilmuwan memang memiliki spesifikasi ilmu, karena itu penting menanyakan segala sesuatu kepada ahlinya, begitulah Islam mengajarkan kepada umatnya.

 

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS An Nahl : 43)

 

Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui (QS Al Anbiyaa : 7).

 

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS Al Jumu’ah : 2).

 

Dalam perspektif Islam, ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi, termasuk di dalamnya Nabi Muhammad saw., tidak mewariskan harta, tetapi mewariskan ilmu yang bersumber dari wahyu. Siapa saja yang menguasai ilmu syar’i serta menghiasi keyakinan dan amal perbuatannya dengan ilmu tersebut layak disebut sebagai ulama pewaris para nabi. Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu itu, ia mengambil bagian yang banyak (HR Abu Dawud).

 

Ulama pewaris nabi adalah orang-orang yang mengetahui ajaran Nabi saw., baik yang menyangkut perkara-perkara akidah maupun syariah. Mereka pun berusaha menyifati budi pekerti dan seluruh amal perbuatan beliau dengan ilmu yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Mereka takut berpaling atau dipalingkan dari syariah Islam karena makrifatnya yang sempurna kepada Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.

 

Ulama pewaris nabi adalah mereka yang rela menerima celaan, hinaan, intimidasi, pengusiran bahkan pembunuhan demi mempertahankan kemurniaan Islam dan membela kepentingan kaum Muslim. Ulama pewaris nabi bukanlah mereka yang plintat-plintut dalam berfatwa, menyembunyikan kebenaran, menukar kebenaran dengan kebatilan, serta mengubah pendirian hanya karena iming-iming dunia atau mendapat ancaman dari penguasa zalim. Mereka rela dipenjara dan disiksa demi mempertahankan kebenaran dan menentang kebatilan.

 

Ulama pewaris nabi menyadari sepenuhnya bahwa dunia tidaklah kekal abadi. Dunia adalah permainan, tipudaya dan cobaan bagi dirinya. Cinta dunia akan memalingkan dirinya dari akhirat yang kekal abadi. Bahkan cinta dunia merupakan sebab kehancuran jatidiri ulama. Seorang ulama tidak akan mengambil dunia kecuali sekadar yang ia butuhkan untuk menopang kehidupan dirinya dan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Sebaliknya, ia berusaha meraih ilmu sebanyak-banyaknya, dan menghabiskan waktunya untuk kepentingan kaum Muslim.

 

Ulama adalah para pejuang dan dalam sejarah telah banyak faktanya. Pangeran Diponegoro, Jenderal Sudirman, Cut Nya Dien, Tengku Umar,  Imam Bonjol memilih zona tidak aman untuk mempertahankan Islam di bumi nusantara ini. Entah apa yang terjadi dengan negeri ini andai mereka bergabung dengan penjajah dan menjadi pengkhianat. Untunglah mereka memilih zona tidak aman dalam dakwah dan perjuangan. Pergerakan dan perjuangan itu bukan di zona aman, melainkan di zona tidak aman, begitulah para Nabi telah memberikan pelajaran hidup untuk kita hari ini. Sebab tidak ada rumus rugi dalam setiap langkah perjuangan, meski harta dan nyawa harus dikorbankan.

 

Adalah sebuah kesedihan yang mendalam, jika banyak ulama yang wafat meninggalkan umatnya untuk selamanya. Masa pandemi covid 19, setidaknya negeri ini telah kehilangan 800 ulama yang selama ini memberikan bimbingan kepada umat. Ada ulama yang wafat dengan asbab covid 19, ada juga dengan asbab yang lain. kematian adalah ajal dan akan menimpa semua makhluk Allah, namun meninggalkan ulama tentu saja ada konsekuensinya.

 

Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hambaNya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak lagi tersisa seorang ulamapun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari).

 

Tentu saja hadis ini semacam renungan untuk umat Islam agar terus melahirkan para ulama agar dunia ini tidak dikendalikan oleh orang-orang bodoh yang akan menyesatkan. Tidak mudah melahirkan kembali ulama seperti KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, KH. Ahmad Zainuddin Jazuli, KH. M. Amien Noer, Dr. Muhammad Azwar Kamarudin, Drs. H. Muhammad Siddik, KH. Dr. Lutfi Fathullah, Sheikh Ali Jaber, dan Ustadzah Pratma Julia.  Namun faktanya mereka telah tiada meninggalkan kita, usai sudah tugas mereka, tinggal bagaimana sikap kita yang masih diberikan usia.

 

Nah dari sinilah upaya kaderisasi ulama menemukan urgensitasnya. Lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan perguruan tinggi Islam harus bergandengan tangan untuk melakukan program kaderisasi ulama. Lembaga-lembaga Islam non akademik juga punya peran strategis untuk melahirkan ulama. Tentu saja ulama yang dibutuhkan adalah ulama yang multidimensi, baik spiritual, sains maupun politik.

 

Adalah penting dan mendesak mengkader para ulama pejuang di negeri ini untuk memberikan pencerahan kepada umat sekaligus menyelamatkan negeri ini dari berbagai kerusakan. Kondisi ini penting dipahami dan disadarai oleh seluruh komponen umat di negeri ini, lantas berkomitmen dan konsistensi berupaya mengkader ulama di negeri ini. Mati adalah ajal, namun mengkader ulama adalah pilihan bahkan kewajiban, wafat satu tumbuh seribu. Semoga.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,13/07/21 : 10.25 WIB)  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories