MERAWAT KRITISISME MAHASISWA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Adalah wajar, jika bangsa ini galau saat membaca sepak terjang kaum terdidik di negeri ini yang telah ‘terjerumus’ dalam kubangan politik praktis. Alih-alih menjadi pencerah bagi perjalanan bangsa, kaum intelektual justru ikut andil dalam kekeruhan bangsa. Bahkan kampus yang seharusnya independenpun telah terpapar pragmatisme politik. Narasi inilah yang setidaknya beredar beberapa hari ini, diawali oleh kritik mahasiswa UI kepada presiden dan polemik seorang rektor yang merangkap sebagai komisaris BUMN.   

 

Setiap peradaban suatu bangsa selalu memposisikan kaum intelektualnya  dalam peran fundamental dan  terhormat sebagai sang pencerah di tengah gelapnya peradaban. Kaum intelektual senantiasa mendidik bangsa sekaligus membelanya  dari berbagai kepentingan yang hendak menghancurkan peradaban bangsa. Dengan pengetahuan mereka yang mendalam akan berbagai fakta yang terjadi, kaum intelektual adalah pihak yang paling paham dan peka terhadap perkembangan kondisi bangsanya.

 

Kampus adalah benteng paling strategis bagi bersemainya intelektualitas karena adanya para dosen cendekiawan dan para mahasiswa pembelajar. Cara pandang intelektual atas kekisruhan bangsa ini selalu dalam kaca mata obyektif konstruktif demi perbaikan negeri ini, bukan pragmatis politis. Politik kampus yang digerakkan mahasiswa adalah aset mahal bagi masa depan bangsa, karena harus dirawat, bukan dikebiri.

 

Kritik mahasiwa kepada penguasa adalah bagian dari kebebasan mimbar akademik yang dilindungi oleh undang-undang. Kebebasan akademik dalam arti tidak ada intervensi politik kekuasaan adalah bagian dari kekayaan negeri ini. Kritik mahasiwa kepada penguasa adalah jamu, meski pahit tapi menyehatkan. Merawat kritik mahasiswa adalah pertanda bahwa bangsa ini masih memiliki akal sehat. Mahasiswa adalah aset intelektual dan peradaban bangsa ini.

 

Kritisisme adalah kerja intelektual dalam menemukan sintesis antara rasionalisme dan empirisme untuk mendapatkan solusi atas persoalan yang ada. Kritisisme mahasiswa atas kondisi negeri adalah energi positif untuk bisa andil memberikan solusi bagi problem berbangsa dan bernegara. Merawat kritisisme mahasiswa adalah merawat akal sehat, mengebirinya adalah membunuhnya.  

 

Dalam perspektif peradaban Islam, kaum intelektual ini disebut sebagai orang-orang berakal (sehat). Al Qur’an  menyebut mereka yang menggunakan kecerdasan dan kapabilitas intelektualnya untuk mengambil pelajaran sebagai ulul albab. Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ulul albab. (QS: 2:269). Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia (QS 12:111)

 

Karakteristik kaum intelektual dalam perspektif  Islam adalah mereka yang takut kepada Allah Rabbul 'Alamin (QS. Fathir : 28). Mereka adalah sosok mandiri dan tidak bergantung pada penghambaan kepada selain Allah. Mereka kuat karena berpijak pada kalimat tauhid yang Allah gambarkan sebagai kalimat thayyibah; akarnya menghujam kuat ke bumi, dan cabangnya menjulang ke langit (QS. Ibrahim : 24-25). Kemandirian mereka juga tercermin dalam sikap yang membenci pada taklid buta, yakni mengikuti atau membeo pada sesuatu yang tidak berdasarkan ilmu, melainkan pada kejahilan, emosionalitas, dan inferioritas (QS. Al-Israa': 36).

 

Peran intelektual sesungguhnya adalah mengawal politik peradaban suatu bangsa. Kaum intelektual yang diwakili oleh dosen dan mahasiswa di kampus adalah figur yang mengakar pada rakyat, bukan merambat ke atas kepada kekuasaan. Kaum intelektual adalah mereka yang beradab, memegang tegus prinsip keilmuwan, dan sederhana. Kaum intelektual bukanlah komunitas yang bergelimang dengan harta dan toleran kepada ketidakjujuran dan ketidakadilan. Lisannya adalah perisai bagi peradaban bangsa, bukan tameng bagi kekuasaan politik pragmatis. 

 

Lihatlah saat sumber daya alam yang melimpah sebagai anugerah dari Allah tidak mampu mengangkat tingkat kesejahteraan rakyat di negeri ini. Bahkan tidak tanggung-tanggung, negeri ini justru terjerat rentenir dunia ribuan trilliun. Rakyat terjerat kemiskinan dan pajak yang tinggi. Padahal tujuan berdirinya negara, salah satunya adalah mensejahterakan rakyatnya.

 

Negeri ini sesungguhnya  membutuhkan kaum intelektual yang sanggup berdiri di hadapan para penjajah untuk membela mereka dengan pengetahuan yang benar. Rakyat di negeri ini membutuhkan intelektual yang berani berkorban, berani mengungkapkan kebenaran. Rakyat Indonesia  membutuhkan intelektual sejati yang memahami persoalan fundamental bangsanya lantas bergerak memberikan solusi.  

 

Kaum intelektual sebagaimana Sokrates adalah yang mampu dan berani memisahkan yang jelek (salah) dari yang baik (benar), kemudian mereka memilih yang baik, walaupun dirinya harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh banyak orang.  Kaum intelektual tidak boleh menggadaikan ilmunya dengan iming-iming duniawi dari penguasa jika harus membenarkan kesalahan.

 

Kaum intelektual juga adalah mereka yang kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, preposisi atau dalil yang dikemukan oleh orang lain. Mereka  mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat dan intelegensia.  Mereka menyampaikan ilmunya untuk memperbaiki masyarakatnya, memberikan peringatan kepada masyarakat dan penguasa dengan keyakinan dan keberanian. Demi kebenaran, seorang intelektual siap berkorban menerima resikonya.

 

Bagi kaum intelektual, menjual ilmu kepada penguasa adalah sebuah pengkhianatan atas peradaban. Adalah perilaku yang tidak beradab, jika kaum intelektual rela tunduk kepada penguasa demi memuaskan penguasa dengan membuat fatwa legetimasi perilaku salah penguasa. Kekuasaan politik pragmatis yang mendapat sokongan dari kaum intelektual yang berkhianat adalah preseden buruk bagi robohnya peradaban suatu bangsa.

 

Islam dengan tegas telah memberikan tugas kepada para intelektual, ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 16 : 125).

 

Karena itu, kerja intelektual mahasiwa dan dosen bukan hanya sebatas pemikiran akademik di kampus, namun juga melakukan gerakan politik peradaban bangsa dengan landasan ilmu dan iman. Mahasiswa harus berdiri tegak menjaga jarak dengan pintu kekuasaan dan konsisten membangun kesadaran politik perdaban bersama rakyat demi perbaikan bangsa.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,1/7/21 : 14.40 WIB)  

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.