MEMBACA WABAH DENGAN KACAMATA IMAN DAN SAINS



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Pandemi covid 19 adalah fakta yang tak mungkin terbantahkan, sebab memang didasarkan oleh data-data empirik. Wabah yang menular dari manusia ke manusia dalam sejarah telah banyak sekali terjadi dan sangat mudah untuk ditelusuri data-datanya. Begitupun berbagai macam penyakit yang menimpa manusia sudah ada sejak manusia itu ada, terlepas dari nama penyakit dan faktor penyebabnya.

 

Dalam level iman, seorang muslim harus yakin bahwa segala musibah yang menimpa manusia adalah atas kehendak Allah, meski penyebab turunnya wabah sangat beragam. Bila seorang muslim terkena musibah sakit, maka bisa jadi sebagai ujian kesabaran dari Allah, namun bisa juga karena kelalaian dirinya sendiri. Sebab Allah telah menciptakan takdirnya atas berbagai penyebab sakit, seperti bakteri dan virus, tugas manusia adalah berikhtiar memahami takdirnya, lantas berusaha melakukan pencegahannya.

 

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal (QS At Taubah : 51). Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (QS At Taghobun : 11).

 

Dalam level iman, seorang muslim dianjurkan untuk selalu berdoa kepada Allah, memohon keselamatan agama dan kesehatan fisik. Sebagaimana sering kita baca doa selamat berikut : Ya Allah kami memohon kepadaMu keselamatan dalam agama, dan kesejahteraan/kesegaran pada tubuh dan penambahan ilmu, dan keberkahan rizqi, serta taubat sebelum mati dan rahmar di waktu mati, dan keampunan sesudah mati. Ya, Allah, mudahkanlah kami saat pencabutan nyawa selamat dari api neraka dan mendapat kemaafan ketika amal diperhitungkan.

 

Pada level keimanan, seorang muslim wajib yakin bahwa Allahlah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menghidupkan dan mematikan orang. Pada level keimanan, kematian adalah ketentuan ajal yang datang dari Allah. Kematian tidak bisa dimajukan maupun dimundurkan jika telah tiba ajalnya.

 

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (QS Ali Imran : 185). Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun (QS Al A’raf : 34).

 

Namun demikian, level iman ini tidak boleh melahirkan sikap vatalisme pada diri seorang muslim, seolah manusia tidak perlu lagi mempelajari keilmuwan soal penyakit, toh mati dan hidup adalah ketentuan Allah. Hal ini adalah sebuah kesalahan vatal. Justru Islam adalah agama yang paling menghargai ilmu dan mewajibkan umatnya untuk menuntutnya. Para penuntut ilmu, oleh Allah akan diberikan derajat.

 

…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Mujadilah : 11).

 

Republika. Id menuliskan bahwa peradaban Islam telah mengenal ilmu kedokteran. Sejak zaman Rasulullah SAW, ilmu kedokteran merupakan ilmu yang dipelajari dengan seksama. Haris bin Kaladah adalah seorang dokter zaman jahiliyah yang masih hidup pada zaman Nabi SAW. Walaupun ia bukan seorang Muslim, Nabi SAW menyuruh kaum Muslim yang sakit untuk berobat kepadanya. Putranya, Nadar bin Haris bin Kaladah, juga menjadi dokter yang terkenal.


Dokter Muslim pertama yang menulis buku adalah Ali at-Tabari. Dia adalah dokter Suriah yang masuk Islam pada tahun 855 dan merupakan dokter pribadi Khalifah al-Mutawakkil. Dia menulis buku kedokteran pertama dalam bahasa Arab, yaitu Firdaus al-Hikmah. Buku ini berisi ilmu kedokteran dalam kerangka pikir Yunani dan India.


Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Rhazes), seorang dokter dan ahli kimia serta filsafat, telah menulis dua ratus judul buku mengenai kedokteran. Di antaranya adalah al-Mansuri (diterjemahkan menjadi Liber Almansoris pada abad ke-15) terdiri atas 10 jilid dan al-Judari wa al-Hasbah (Penyakit Cacar dan Campak).


Dokter terbesar dalam sejarah Islam adalah Ibnu Sina yang juga seorang filsuf besar. Dia digelari Medicorum Principal alias Raja Diraja Dokter oleh tradisi kedokteran Eropa klasik. Ibnu Sina menulis banyak buku tentang kedokteran, seperti al-Qanun fi at-Tibb (Prinsip-prinsip Kedokteran).


Tokoh kedokteran Muslim lainnya adalah Abul Qasim az-Zahrawi al-Qurtubi (936-1013) yang dikenal di Eropa sebagai Abulcasis. Dia adalah ahli bedah dan dokter gigi Muslim berkebangsaan Spanyol pada masa pemerintahan Abdurrahman III (890-961). Dia menulis sebuah ensiklopedi berjudul at-Tasrif li Man Arjaza 'an at-Ta'lif. Jilid terakhir dari ensiklopedi ini menerangkan dengan jelas diagram dua ratus macam alat bedah.


Sementara itu, Ibnu Rusyd yang dikenal sebagai Averoes di Barat (1126-1198) merupakan perintis ilmu jaringan tubuh (histologi). Karyanya berjudul al-Kulliyyat fi at-Tibb (Kedokteran Umum). Dalam buku ini, dijelaskan bahwa seseorang tidak akan terjangkit penyakit cacar dua kali. Ia juga menjelaskan fungsi retina.


Tak hanya dari kalangan pria, sejarah Islam mencatat ada beberapa tokoh Muslim wanita yang menjadi dokter. Beberapa di antaranya adalah Ukhtu al-Hufaid bin Zuhur dan putrinya adalah dokter wanita yang bekerja di Istana Khalifah al-Mansur di Andalusia. Zainab adalah ahli penyakit mata dan ilmu bedah zaman Bani Umayyah. Kemudian, ada pula Syahadatu Dinuriyah dan Binti Duhain al-Luz Damsyiqiah di Suriah.

 

Bahkan Imam Syafi’i sangat menghargai ilmu kedokteran dan sangat mengutamakan untuk dimiliki oleh seorang muslim. Berkata Imam Syafi’i : saya tidak mengetahui sebuah ilmu, setelah ilmu halal dan haram yang lebih berharga yaitu ilmu kedokteran, tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita (Siyar A’lam An Nubala, 8/528, Darul Hadist).

 

Janganlah sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada disana ulama yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada dokter yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu (Adab Asy Syafi’i wa manaqibuhu, hal. 244, Darul Kutub Al Islamiyah).

 

Fakta sejarah diatas menegaskan bahwa sains atau ilmu dalam segala bidang kehidupan wajib dimiliki oleh umat Islam, baik yang fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Ilmu ini berguna sebagai solusi bagi permasalahan kehidupan. Budaya riset adalah budaya ilmu yang telah lama menjadi tradisi dalam peradaban Islam.

 

Oleh sebab itu, ketika terjadi musibah seperti wabah penyakit yang menular, maka umat Islam tidak boleh bersikap fatalisme, sekedar menyandarkan kepada keimanan, tanpa melakukan ikhtiar santifik. Wabah harus disikapi secara saintifik dalam rangka mencari solusinya. Membenturkan antara level iman dan ilmu adalah sesat pikir dengan narasi jika melakukan prokes covid seolah tidak takut kepada Allah, tapi takutnya malah kepada virus, ini adalah pernyataan menyesatkan. Padahal Rasulullah bersabda : larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa (HR Bukhari).

 

Karena itu prokes yang dianjurkan oleh para ahli adalah sebuah ilmu dan kebenaran dalam rangka ikhtiar menghadapi wabah covid 19. Rasulullah sendiri dalam hadistnya pernah bersabda : jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Jika terjadi wabah ditempat kamu berada, maka janganlah tinggalkan tempat itu (HR Al Bukhari). Rasulullah juga melarang mencampurkan unta sakit dan yang sehat. Sikap yang dinyatakan oleh Rasulullah ini pernah dilakukan oleh Umar saat mendengar ada wabah di wilayah syam, tepatnya di daerah Sargh, sementara beliau sedang perjalanan menuju ke sana. 

 

Dalam perbincangan dengan Klikdokter, Ahmad Rusdan Utomo, PhD yang kini berprofesi konsultan biologi molekuler independen, mengulas berbagai fakta soal virus corona. Dikatakan bahwa parameter dampak kuat ada dua yakni ada dari sisi penularan dan akibat. Kalau dilihat dari sisi penularan virus corona relatif lebih cepat daripada SARS. Bandingkan saat SARS kemarin, total korban ada 8.000-an dan yang meninggal nggak sampai seribu. Lalu, selesai wabahnya dalam delapan bulan. Sedangkan COVID-19 atau SARS-CoV-2, total terinfeksi sampai sekarang 20 jutaan dan yang meninggal ratusan ribu. Dari hasil data analisa genetik, virus corona berbeda sekitar 20 sampai 30 persen dari SARS pertama. Virus corona ini 10 kali lipat lebih kuat dalam mengikat reseptor sel ACE2 manusia.

 

 

Oleh karena itu antara level keimanan dan keilmuwan tidak boleh dibenturkan satu dengan yang lainnya. Iman itu level keyakinan seorang muslim atas kekuasaan dan kehendak Allah, sementara ilmu adalah kewajiban muslim dalam menjalani kehidupan di dunia, termasuk di dalamnya ilmu soal kesehatan. Membenturkan keduanya, selain akan memperkeruh suasana, juga akan menimbulkan friksi kontraproduktif diantara sesama muslim.

 

Jika telah memiliki keseimbangan antara level iman dan ilmu dalam membaca wabah, maka seorang muslim akan mudah memahami kaidah : 1) tidak boleh membahaykan diri dan membahayakan orang lain, 2) menghilangkan kerusakan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan, 3) bahaya harus dihindari, 4) tidak ada yang memudharatkan dan dimudaharatkan.

 

Islam telah dengan tegas menyediakan perangkat normatif, historis dan empirik terkait wabah. Dengan tiga perangkat ini, idealnya diantara umat Islam tidak terjadi silang pendapat soal wabah yang justru tak dilandasi oleh ilmu. Ulama yang mendalami ilmu agama, idealnya juga memiliki kemampuan saintifik, setidaknya tidak anti sains. Begitupun saintis muslim, idealnya memiliki ilmu agama yang kuat, atau setidaknya tidak anti agama. Saintis muslim tidaklah sama dengan saintis barat yang kebanyakan ateis. Saintis muslim adalah ilmuwan professional sekaligus orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Mereka sering disebut sebagai ulil albab.

 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka (QS Ali Imran : 190-191).

 

(AhmadSastra,KotaHujan, 4/7/21 : 10.10 WIB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.