MEMETIK HIKMAH DARI WAFATNYA BUYA TENGKU ZULKARNAEN



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Umat Islam ini wisatanya adalah ketika berdakwah, bukan khusus mengeluarkan uang untuk peregi berjalan-jalan. Tidak ada hidup tanpa dakwah. Hidup untuk dakwah. Dakwah sampai mati. Bahkan, mati dalam dakwah. Inilah salah satu penggalan materi dakwah yang disampaikan Buya Tengku Zulkarnaen yang di akhir bulan suci Ramadhan 1442 H berpulang ke Sang Pemilik, Allah SWT.

 

Wafatnya seorang ulama adalah sebuah duka mendalam bagi sebuah bangsa. Buya Tengku Zulkarnaen berpulang pada Senin (10/5/2021) di RS Tabrani, Pekanbaru, Riau. Begitulah jika ajal telah tiba, taka da manusia yang mampu memajukan ataupun memundurkan, meski sedetik sekalipun. Pada akhirnya semua makhluk bernyawa akan menemui ajalnya. Sesaat setelah wafatnya ulama asal Sumatera Barat ini, banjir ucapan bela sungkawa dari berbagai pihak, baik di dunia nyata maupun maya, mendoakan semoga beliau husnul khotimah.

 

Drs. H. Tengku Zulkarnain adalah seorang ustaz berdarah Melayu Deli dan Riau. Ia menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia periode 2015-2020. Beliau lahir pada 14 Agustus 1963 (usia 57 tahun) di Medan. Menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Salah satu buku karya beliau berjudul : Salah faham: penyakit umat Islam masa kini : jawaban atas buku Rapot merah Aa Gym.

 

Kabar wafatnya salah satu ulama terbaik bangsa ini Buya Tengku Zulkarnaen ini cukup menyedihkan sekaligus mengjutkan, sebab sebelumnya belum terdengar beliau sakit. Sedih tentu saja karena ulama adalah aset bangsa yang tak bisa tergantikan. Bangsa ini telah kehilangan aset paling berharga. Tak mudah melahirkan kembali ulama-ulama yang lurus, tegas, tegak dan berani menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan. Ulama adalah pencerah dalam kegelapan kehidupan, penjaga moral bangsa sekaligus pengawal visi religius berbangsa dan bernegara. Dalam arus politik sekuleristik, peran ulama dalam meluruskan arah bangsa sangat dibutuhkan.

 

Ilmu dan ulama adalah dua kata yang saling berkaitan. Ulama adalah orang berilmu. Secara garis besar ulama terbagi tiga  (1) yang mengenal Allah; (2) yang memahami perintah Allah; (3) yang mengenal Allah dan memahami perintah-Nya. Ulama yang mengenal Allah adalah mereka yang takut kepada Allah, namun tidak memahami Sunnah. Ulama yang memahami perintah Allah adalah mereka yang memahami Sunnah, tetapi tidak takut kepada Allah. Adapun ulama yang mengenal Allah dan memahami perintah-Nya adalah mereka yang memahami Sunnah dan takut kepada Allah. Inilah orang yang disebut-sebut dengan kebesaran di Kerajaan Langit (HR al-Baihaqi, Syu’âb al-Imân). Semoga Buya Tengku Zulkarnaen termasuk sebagai ulama yang mengenal Allah dan memahami perintahNya.

 

Dalam perspektif Islam, ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi, termasuk di dalamnya Nabi Muhammad saw., tidak mewariskan harta, tetapi mewariskan ilmu yang bersumber dari wahyu. Siapa saja yang menguasai ilmu syar’i serta menghiasi keyakinan dan amal perbuatannya dengan ilmu tersebut layak disebut sebagai ulama pewaris para nabi. Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar maupun dinar, tetapi mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu itu, ia mengambil bagian yang banyak (HR Abu Dawud).

 

Agama Islam bukan saja menghargai ilmu tetapi meletakkan ilmu dengan posisi yang sangat istimewa. Allah berfirman dalam banyak ayat al-Qur’an supaya kaum Muslimin memiliki ilmu. Keistimewaan tersebut tampak sekali dari banyaknya ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang memerintahkan supaya mendalami ilmu. Allah berfirman  : Apakah sama, orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran. (QS Az Zumar : 9).

 

Allah mengangkat orang-orang yang beriman daripada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat. (QS Al Mujaadilah : 11) dalam Surat Ali Imran Allah berfirman hendaklah kalian jadi generasi rabbani [orang yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

 

Rasulullah saw juga bersabda: Barangsiapa melalui satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memasukkannya ke salah satu jalan di antara jalan-jalan surga, dan sesungguhnya malaikat benar-benar merendahkan sayap-sayapnya karena ridha terhadap penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang alim benar-benar akan dimintakan ampun oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan-ikan di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) adalah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang yang ada. Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan Dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, maka hendaklah dia mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Daud).

 

Ali bin Abi Talib ra. berkata : “Ilmu lebih baik daripada harta, oleh karena harta itu kamu yang menjaganya, sedangkan ilmu itu adalah yang menjagamu. Harta akan lenyap jika dibelanjakan, sementara ilmu akan berkembang jika diinfakkan (diajarkan). Ilmu adalah penguasa, sedang harta adalah yang dikuasai. Telah mati para penyimpan harta padahal mereka masih hidup, sementara ulama tetap hidup sepanjang masa. Jasa-jasa mereka hilang tapi pengaruh mereka tetap ada/membekas di dalam hati.”

 

Ulama pewaris nabi adalah orang-orang yang mengetahui ajaran Nabi saw., baik yang menyangkut perkara-perkara akidah maupun syariah. Mereka pun berusaha menyifati budi pekerti dan seluruh amal perbuatan beliau dengan ilmu yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Mereka takut berpaling atau dipalingkan dari syariah Islam karena makrifatnya yang sempurna kepada Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.

 

Ulama pewaris nabi adalah mereka yang rela menerima celaan, hinaan, intimidasi, pengusiran bahkan pembunuhan demi mempertahankan kemurniaan Islam dan membela kepentingan kaum Muslim. Ulama pewaris nabi bukanlah mereka yang plintat-plintut dalam berfatwa, menyembunyikan kebenaran, menukar kebenaran dengan kebatilan, serta mengubah pendirian hanya karena iming-iming dunia atau mendapat ancaman dari penguasa zalim. Mereka rela dipenjara dan disiksa demi mempertahankan kebenaran dan menentang kebatilan.

 

Ulama pewaris nabi menyadari sepenuhnya bahwa dunia tidaklah kekal abadi. Dunia adalah permainan, tipudaya dan cobaan bagi dirinya. Cinta dunia akan memalingkan dirinya dari akhirat yang kekal abadi. Bahkan cinta dunia merupakan sebab kehancuran jatidiri ulama. Seorang ulama tidak akan mengambil dunia kecuali sekadar yang ia butuhkan untuk menopang kehidupan dirinya dan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Sebaliknya, ia berusaha meraih ilmu sebanyak-banyaknya, dan menghabiskan waktunya untuk kepentingan kaum Muslim.

 

Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali menyatakan, “Ulama terdiri dari tiga kelompok. Pertama: Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang dengan terang-terangan mencari dunia dan rakus terhadap dunia. Kedua: Ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah ulama yang menyeru manusia kepada Allah lahir dan batin. Ketiga: Ulama yang membinasakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Mereka adalah ulama yang mengajak ke jalan akhirat dan menolak dunia secara lahir, tetapi dalam batinnya ingin dihormati manusia dan mendapatkan kedudukan yang mulia. Karena itu perhatikan pada golongan mana Anda berada.” (Al-Ghzali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Juz III).

 

Buya Tengku Zulkarnaen dikenal sebagai ulama yang konsisten, karismatik dan sekaligus berani mengungkapkan kebenaran meski bertentangan dengan pemerintah. Dalam Islam banyak teladan ulama yang berani melawan arus kebijakan pemerintah sebagai prinsip keyakinannya.  Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam, yang menyandang gelar Sulthân al-‘Ulamâ’, rela dipenjara di balik jeruji untuk mengungkap pengkhianatan Sultan Malik Shalih di Syam yang bersekongkol dengan orang-orang Kristen untuk melawan Sultan Najmuddin Ayyub di Mesir. Sultan Ismail memberikan daerah Qal’ah, Shafd, dan daerah-daerah lain kepada orang Kristen. Bahkan ia membolehkan orang-orang Kristen memasuki Kota Damaskus untuk membeli persenjataan perang sesuka hati mereka demi memerangi Sultan Najmuddin Ayyub.

 

Melihat perbuatan mungkar ini, Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam segera bertindak mencegah perbuatan para pengkhianat itu. Beliau rahimahulLâh mengeluarkan fatwa larangan menjual senjata kepada orang-orang Kristen. Pada hari Jumat, beliau naik mimbar Masjid al-Umawi di Damaskus—beliau adalah khathib resmi di Masjid Umawi—dan mengumumkan fatwa itu. Dengan tegas dan keras, beliau menentang tindakan mungkar yang telah mengkhianati umat Islam tersebut.       Raja Ismail pun murka. Ia lalu mencopot jabatan khathib Jumat dan menangkap beliau dan Syaikh bin Hajib al-Maliki yang mendukung fatwa beliau. Sultan mengeluarkan instruksi kepada beliau untuk mendekam di dalam rumah, tidak boleh mengeluarkan fatwa kepada masyarakat, dan melarang siapa pun berguru kepada beliau. Namun, beliau menjalani semua cobaan itu dengan penuh kesabaran.

 

Keteguhan Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam berpegang teguh pada syariah Islam juga tampak pada saat beliau berada di Mesir dan menjadi kepala qâdhî di sana di era Sultan Najmuddin Ayyub. Beliau mengeluarkan fatwa tentang kedudukan para pemimpin negara di Turki, yang menurut beliau, mereka masih terikat dengan perbudakan yang belum mereka tebus. Karena belum merdeka maka jual-beli dan pernikahan mereka tidak sah. Untuk itu, mereka wajib menebus diri mereka dengan membayar sejumlah uang kepada Baitul Mal.

 

Mendengar fatwa ini, para mamalik Turki marah besar. Mereka terpukul dan malu dengan fatwa tegas nan lurus ini. Meskipun beliau ditekan dan dirayu, beliau sama sekali bergeming dengan fatwanya. Akhirnya, para mamalik Turki itu tidak mampu berbuat banyak kecuali menuruti fatwa Imam Al-‘Izz. Mereka membayar sejumlah uang. Lalu uang itu digunakan untuk kemaslahatan kaum Muslim.

 

Namun, sekali lagi,  kematian adalah taqdir Allah, tak mungkin dimundurkan atau dimajukan. Jika ajal seseorang telah sampai, maka tak seorangpun mampu menahannya. Tinggal kita yang ditinggalkan harus mampu mengambil ibrah dan pelajaran. Memetik hikmah atas wafatnya para ulama adalah melanjutkan dakwahnya, ini yang paling utama.

 

Dakwah tidak boleh mati hanya karena ditinggal para ulama. Kedua tentu saja pentingnya kaderisasi ulama, agar jika satu ulama wafat, maka seribu ulama lahir. Pelajaran berharga lain dari wafatnya seorang ulama adalah pentingnya bersungguh-sungguh mencari ilmu, mengamalkan dan mengajarkannya.

 

Selain itu penting dicatat, meninggalnya seorang ulama adalah menyadarkan akan pentingnya konsistensi dan keberanian memperjuangkan nilai-nilai Islam hingga bisa diterapkan dan dirasakan sebagai rahmatan lil’alamin atau kematian menjemput dalam jalan dakwah dan perjuangan. Sebab Islam tak mungkin menjadi rahmat bagi alam semesta kecuali seluruh hukumnya di terapkan secara kaffah oleh institusi negara.

 

Selamat jalan Buya, semoga Allah menempatkan di tempat terbaik di sisiNya.

 

(AhmadSastra,LerengGunungMerbabu,11/05/21: 08.30 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.