Oleh : Ahmad Sastra
Dalam pandangan Islam, hakim yang sesungguhnya adalah Allah SWT. Allah lah yang akan mengadili seluruh perbuatan manusia kelak di akhirat. Seluruh perbuatan manusia selama di dunia akan dihisap dan diperhitungnya, hingga berakhir kepada ujung keputusan, apakah manusia itu layak masuk surga atau mendapat siksa di neraka. Seluruh manusia sejak zaman Nabi Adam hingga hari kiamat harus menghadapi hari pengadilan Allah. Termasuk orang yang berprofesi sebagai hakim di dunia. Hakin dunia akan diadili oleh hakim langit, yakni Allah SWT.
Allah menyebut dirinya sebagai salah satu asmaul husna dengan sebutan Al Hakiim, “Dan dia adalah “Al-‘Aliim” (Maha mengetahui) dan “Al-Hakiim” (Maha Bijaksana).” (QS. At-Tahriim : 2). Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkau-lah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah : 32)
Para ulama menjelaskan bahwa “Al-Hakiim” memiliki dua makna, pertama dengan makna “Al-Haakim”. Yaitu, Allah Ta’ala adalah Dzat yang berhak untuk membuat hukum. Hukum Allah Ta’ala itu ada dua, yaitu hukum syar’i dan hukum kauni.
Hukum syar’i adalah syariat agama yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah “Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
Adapun hukum kauni adalah apa yang Allah Ta’ala tetapkan kepada hamba-Nya, baik berupa penciptaan, rizki, hidup, mati, alam semesta dan semacamnya. Allah Ta’ala berfirman tentang salah satu saudara Yusuf,
Maka ketika mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Yang tertua di antara mereka berkata, “Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu, aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Yusuf : 80)
Kedua Al Hakim dengan makna Al Muhkim, yaitu, Allah Ta’ala memiliki sifat hikmah. Makna asal hikmah adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Syariat atau hukum yang Allah Ta’ala tetapkan itu memiliki hikmah. Akan tetapi, ada di antara hikmah tersebut yang kita ketahui dan ada yang tidak kita ketahui. Hal ini karena Allah Ta’ala hanya memberikan kita sedikit ilmu saja, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’ [17]: 85)
Hukum Allah Ta’ala, baik hukum kauni atau hukum syar’i, semuanya memiliki hikmah. Allah Ta’ala mengatakan, “Bukankah Allah adalah hakim yang seadil-adilnya?” (QS. At-Tiin : 8)
Peradaban Islam itu sangat luhur dan agung. Ia berbeda dengan peradaban lainnya di muka bumi. Peradaban Islam lahir dengan membawa segala aturan yang berdasarkan nilai-nilai luhur yang bersumber dari sejumlah warisan Nabi Muhammad SAW, yakni Al-Quran dan Hadist. Oleh karena itu nilai dan prinsipnya tidak berubah, berganti atau tunduk pada hawa nafsu.
Peranan dan Kedudukan Hakim dalam Islam sangatlah penting. Hakim atau dalam khazanah peradaban Islam seringkali disebut sebagai ‘qadhi’ merupakan seseorang yang diamanatkan tanggung jawab dalam menjelaskan hukum-hukum Allah SWT kepada umat Islam. allah menegaskan terkait tugas melaksanakan hukum Allah dalam memutuskan suatu perkara.
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Maidah : 49)
Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.(QS An Nur : 48)
Adapun dalil As Sunnah adalah bahwa Rasulullah sendiri langsung memimpin lembaga peradilan ini. Beliau memutuskan berbagai perkara yang terjadi di masyarakat saat itu. Beliau juga mengangkat Ali Bin Abi Thalib sebagai hakim (qodhi) di Yaman sekaligus memberikan arahan bagaimana memutuskan perkara dengan benar, yakni sesuai dengan apa yang telah Allah turunkan.
Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa memutuskan perkara di antara mereka, sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak lain. Sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan perkara di antara mereka itu ( HR Tirmidzi dan Ahmad)
Dari Aisyah RA, orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata siapa yang bisa bicara kepada Rasulullah SAW ?. Mereka menjawab bahwa tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai Rasulullah SAW. Maka Usamah pun berkata kepada Rasulullah SAW, tetapi Rasulullah SAW bertanya, "Apakah engkau memberi syafaat (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?"
Rasulullah SAW pun berdiri dan berkhutbah, "Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR Bukhari).
Dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa manusia yang paling dicintai Allah SAW adalah pemimpin yang adil. Sementara manusia yang dibenci Allah SWT adalah pemimpin yang zalim. Ini sebagaimana hadits riwayat Abu Said al-Khudri RA. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah SWT dan paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil, sedangkan manusia paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempat duduknya adalah pemimpin yang zalim." (HR At-Tirmidzi).
Ulama mengategorikan hukum qadha' adalah fardhu kifayah. Harus ada yang memberikan penjelasan tentang syariat Islam kepada manusia. Beban ini diberikan kepada penguasa atau khalifah. Dalam sebuah wilayah tertentu, khalifah boleh mewakilkan kewajiban ini kepada hakim. Jadi, dalam Islam, sejatinya hakim adalah wakil resmi khalifah di sebuah wilayah utamanya dalam negara yang menerapkan hukum Islam (khilafah).
Seorang hakim sebagai wakil Allah SWT dan khalifah memiliki tugas yang sangat berat. Jika ia memutuskan sebuah perkara dengan hukum yang menyelisihi keadilan dan nilai-nilai syara’, tempatnya adalah di neraka. Hakim sendiri menurut sebuah hadis terbagi dalam tiga kelompok. Dua kelompok akan dimasukkan ke dalam neraka dan hanya satu kelompok yang selamat hingga ke surga. Kelompok hakim yang masuk surga adalah mereka yang mengetahui kebenaran dan memutuskan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut.
Sementara, hakim yang paham bagaimana yang baik dan benar
namun memutuskan perkara dengan menyimpang maka ia adalah golongan penghuni
surga. Golongan ketiga adalah hakim yang bodoh dan memutus perkara dengan
kebodohannya. Pembagian ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi.
Dalam konsep hukum Islam, sejatinya jabatan qadhi
bukanlah jabatan yang diperuntukkan bagi mereka yang meminta. Jabatan ini
diberikan kepada orang yang memiliki kualifikasi. Karena begitu berat
konsekuensi dari seorang hakim, ia harus siap menanggung semua beban itu. Hakim
tak layak diisi oleh orang yang ambisius mengejar jabatan. Orang yang mengejar
kedudukan cenderung mengabaikan hak orang lain, tidak amanah, dan
berpeluang besar menjadi khianat. Rasulullah SAW
bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menguasakan tugas ini
(hakim) kepada orang yang memintanya atau orang yang berambisi
menjabatnya." (HR Bukhari Muslim).
yang jadi persoalan adalah ketika seseorang menjadi hakim dalam negara sekuler,
maka tidak akan pernah terwujud keadilan yang hakiki. Seorang hakim yang berada
dalam negara Islam dimana sumber hukumnya dari Allah dan RasulNya saja masih
sangat mungkin menyimpang, apalagi hakim di negara sekuler dimana hukumnya
bersumber dari manusia.
Ketidaktundukan terhadap nafsu itu salah satunya tercermin dalam lembaga peradilan yang di dalamnya terdapat keadilan seorang hakim. Lembaga peradilan Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan dalam berinteraksi dengan semua pihak yang berada dihadapannya. Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umat Islam untuk mewujudkan keadilan.
Dalam rangka merealisasikan keadilan tersebut melalui lembaga peradilan dibutuhkan peran seorang hakim. Jabatan ini sangat penting di dalam sebuah pemerintahan, bahkan dalam Islam ia menempati peringkat yang paling tinggi, dan fungsinya adalah memutuskan perselisihan di antara manusia dengan hukum-hukum syar’i yang diperoleh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Islam juga melarang kepada siapa saja yang memegang jabatan hakim untuk jauh dari kebenaran. Rasulullah dalam hadisnya bersabda, “Hakim itu ada tiga, dua hakim berada di neraka, dan satu hakim berada di surga.”
Pertama, hakim yang memberikan keputusan dengan tidak benar sementara ia mengetahui hal tersebut, maka ia berada di neraka. Kedua, hakim yang berada di neraka adalah hakim yang tidak tahu kemudian ia memutuskan hukum dengan ketidaktahuannya, sehingga ia menghancurkan hak orang lain, maka ia berada di neraka. Ketiga, hakim yang berada di surga itu ialah ia yang ia yang tahu dan memutuskan secara benar dengan ilmunya.”
Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang khalifah sangat berusaha dalam merealisasikan keadilan di tengah-tengah masyarakatnya. Untuk itu ia pun memiliki kriteria-kriteria utama seorang hakim seperti intelektualitas, ketakwa’an, keadilan, kesucian, kapabilitas dan kejujuran.
Menurut Ibnu Hajar, yang termuat dalam buku “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia” karya Prof. Raghib As-Sirjani mengisahkan tentang sebab apa yang membuat Umar Abdul Aziz memilih Ibnu Khadzamir Ash-Shan’ani sebagai hakim.
Ibnu Hajar sangat mengapresiasi keteladanan yang dilakukan oleh Ibnu Khadzamir dengan mengatakan, “Ibnu Khadzamir adalah orang non Arab pertama yang menjabat sebagai hakim di Mesir. Dan semenjak menjabat sebagai hakim, ia tidak pernah mau menerima satu dirham atau satu dinar pun.”
Hakim dalam Islam wajib memutuskan perkara berdasarkan hukum Allah dan RasulNya, sementara hakim dalam negara sekuler akan memutuskan perkara berdasarkan hukum buatan manusia. Di negeri ini hukum yang masih berlaku justru hukum buatan Belanda yang telah menjajah negeri ini. Bagaimana mungkin akan terwujud keadilan, jika pemegang palu pengadilan adalah mereka yang tidak taat kepada hukum Allah, sebaliknya malah taat kepada hukum buatan manusia ?.
Jadi, siapa pemegang palu pengadilan di negeri ini ?. Sekarang jawabannya jelas, maka pantaslah jika di negeri ini tidak pernah hadir keadilan hakiki, sebab hukum Allah dicampakkan.
(AhmadSastra,KotaHujan,22/03/21 : 07.44 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad