Oleh : Ahmad Sastra
Militer merebut kendali pemerintahan Myanmar pada 1 Februari 2021 dengan kudeta setelah Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi memenangkan pemilu yang diklaim demokratis.
Melansir dari BBC, pihak angkatan bersenjata yang mendukung oposisi, menuntut pemungutan suara ulang dan mengklaim kemenangan yang terjadi sebagai penipuan. Akibatnya, sejumlah orang turun ke jalan di seluruh Myanmar untuk memprotes kudeta yang dilakukan oleh angkatan bersenjata.
Polisi menanggapi aksi demonstrasi itu dengan menembakkan meriam air, peluru karet dan peluru tajam. CNN melaporkan pada Minggu (28/2/2021) polisi Myanmar menembak mati sedikitnya dua pengunjuk rasa dan melukai beberapa lainnya. Unjuk rasa kali ini menjadi salah satu yang paling berdarah sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari.
Kelompok aktivis Asosiasi Pembantu Narapidana Politik (AAPP) mengatakan telah mendokumentasikan 854 orang yang telah ditangkap, didakwa, atau dihukum sejak kudeta 1 Februari hingga Sabtu (27/2/2021). Angka korban terbunuh akibat peluru tajam aparat keamanan nampaknya belum juga akan berakhir. Bahkan, nampak belum ada solusi jitu dalam penyelesaiakn krisis politik di Myanmar ini.
Kekuasaan di Myanmar saat ini diserahkan kepada panglima tertinggi Min Aung Hlaing. Ia adalah sosok yang selama ini memiliki pengaruh politik signifikan, berhasil mempertahankan kekuatan Tatmadaw (militer Myanmar) meskipun saat negara itu dalam transisi menuju demokrasi.
Kerunyaman pemerintah Myanmar akibat kudeta dan tuduhan kecurangan pemilu tentu saja tidak bisa melupakan peristiwa ketidakadilan terhadap muslim Rohingya dibawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi. Bukan hanya Myanmar, bahkan dunia belum ada tanda-tanda memperlakukan secara adil terhadap komunitas muslim pasca runtuhnya WTC di Amerika.
Hingga kini ratusan ribu muslim Rohingya masih berada di kamp-kamp pengungsian di Cox’s Bazar, Bangladesh. Bahkan secara bertahap sudah ada yang dipindahkan ke pulau-pulau tak berpenghuni di negara Bangladesh akibat tak lagi tertampung. Lebih ironis lagi, ada sejumlah pengungsi muslim Rohingya yang nekad menyerang lautan menuju negara lain untuk mencari keselamatan dan keberuntungan.
Sungguh ironis, di tengah spirit perlindungan atas hak asasi manusia, namun di berbagai negara justru banyak yang melakukan berbagai bentuk diskriminasi atas komunitas muslim dengan berbagai tuduhan keji. Lebih ironis lagi jika dunia justru diam tak bersuara, termasuk negeri-negeri muslim di dunia. Inilah petaka kemanusiaan yang memilukan.
Saling mengklaim demokratis antara pendukung pemerintahan yang sah dan militer yang melakukan kudeta adalah ironi sistem demokrasi itu sendiri. Demokrasi adalah sistem politik yang sarat kepentingan pragmatis dan kerap kali justru mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Jargon-jargon demokrasi untuk membela rakyat sering hanya sebagai dimanfaatkan oligarki untuk meraih kekuasaan semata.
Perebutan kekuasaan demi kepentingan individu dan sekelompok elit justru lebih dominan dibandingkan realisasi jargon kerakyatan yang seringkali mencuat saat kampanye pemilu. Paradoks demokrasi melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan bagi rakyat banyak. Kemiskinan di negeri-negeri demokrasi dan penindasan atas pemeluk agama tertentu menjadi indikator bahwa demokrasi secara genetik membawa persoalannya sendiri. Penindasan atas muslim Rohingya adalah wajah buruk demokrasi di Myanmar.
Fakta sejarah subyektifisme atas interpretasi demokrasi telah dimulai sejak zaman Yunani Romawi kuno (500 SM – 476 M), kemudian zaman abad pertengahan dari (476 M – 1500 M) dan zaman modern (1500 M – sekarang). Di setiap masa, demokrasi dirumuskan secara subyektif sesuai kepentingan kekuasaan. Pada zaman modern istilah demokrasi dirumuskan oleh Abraham Lincoln, yang didorong oleh fakta paham kebebasan di Amerika Serikat yang mempengaruhi Revolusi Perancis dan dirumuskan sebagai Egalite (persamaan), Fraternite (persaudaraan) dan Liberte (kemerdekaan).
Kudeta militer di Myanmar yang mengatasnamakan akan membentuk pemerintahan yang demokratis bukanlah solusi, sebab akan berbenturan dengan klaim pemilu demokratis yang dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi. Bagaimana mungkin dua kubu yang mengklaim dirinya demokratis lantas berseteru berebut kekuasaan, sementara kepada muslim Rohingya berbuat aniaya ?.
Adalah wajar jika berharap akan segera ditemukan solusi komprehensif atas krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar ini, meskipun nampaknya masih butuh waktu dan pengorbanan. Negeri-negeri muslim semestinya menyadari akan kondisi Myanmar dan mengambil kesempatan untuk menyemalatkan muslim Rohingya dan mengembalikan hak-hak sebagai warga negara. Namun demikian Myanmar belum ada tanda-tanda akan memperlakukan baik kepada umat Islam Rohingya.
Tak hanya sebatas muslim Rohingya yang mendapatkan perlakukan tak adil, semenjak tiadanya khilafah tahun 1924, umat Islam sedunia bercerai berai dan dalam kondisi terjajah di berbagai belahan negeri di dunia. Palestina yang merupakan tanah yang diberkahi Allah pun hingga kini masih dalam penjajahan Zionis Isreal.
Negeri-negeri muslim juga semestinya melakukan reorientasi politik agar apa yang terjadi di Myanmar tidak menimpanya. Sistem politik demokrasi mesti dievaluasi kembali secara fundamental menuju negeri-negeri muslim yang maju, makmur, bersatu dan mampu memimpin peradaban dunia. Sejarah peradaban Islam dengan tehaknya khilafah Islam mesti menjadi spirit dan pijakan untuk kembali diwujudkan di tengah krisis multidimensi dunia.
Islam secara normatif, Islam mengharamkan kudeta. Islam melakukan transformasi perubahan melalui dakwah yang damai. Proses kesadaran kolektif berbasis spiritual dan rasional telah mengantarkan politik Islam menjadi mercusuar peradaban agung selama 14 abad. Semoga kudeta Myanmar menjadi pemicu bagi dunia untuk melihat politik Islam sebagai alternatif solusi. Sebab dalam sejarah, Rasulullah adalah pelopor paling gemilang dalam soal resolusi konflik di jazirah Arab.
Jadi khilafah sebagai sistem pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara kaffah selain rasional juga merupakan kebutuhan dunia. Selain solusi atas krisis multidimensi dunia, khilafah juga merupakan refleksi keimanan seorang muslim. Memperjuangkan khilalah, insyaallah ibadah dan berpahala, sementara memperjuangkan tegaknya demokrasi sekuler liberal adalah bentuk kemaksiatan.
(AhmadSastra,KotaHujan,09/03/21 : 11.33 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad